Lembar 4

3.3K 492 139
                                    

Kafetaria kepolisian Daejeon menjadi saksi bisu perbincangan serius antara So Ji dan detektif Han. Keduanya membahas perihal yang membuat ilmuwan itu bergegas meninggalkan putranya.

"Aku mendapatkannya dari orang kepercayaanku. Dia informan yang sama yang memberitahu lokasi Sehun diculik tujuh tahun silam," detektif Han menjeda sejenak bicaranya dan meneguk sisa kopi dalam gelas.

"Victor sudah tahu anakmu masih hidup, Ji. Tapi untungnya dia tak tahu keberadaannya. Kau harus menjaga jarak dengan Sehun mulai sekarang."

Han menatap penuh khawatir pada So Ji yang nampak terdiam dengan kerutan terlukis di dahi, menandakan seberapa berat sahabatnya itu berpikir.

"Aku tak bisa seperti ini terus, Han. Kenapa harus membawa Hunnie dalam masalah ini," keluh So Ji seraya memijat pangkal hidungnya pelan. Sungguh semua masalah ini membuat kepalanya pening.

"Dia memang penjahat berdarah dingin. Tak akan kubiarkan sehelai pun rambut Sehun-ku terjamah. Hah, semua ini hanya karna penemuanku."

"Kita akan bersama melindunginya dan juga penemuanmu," janji detektif Han pada So Ji.

"Tenanglah. Negara juga tak akan tinggal diam. Oya, gimana kabar keponakanku? Pasti sekarang ini dia tumbuh jadi remaja tampan yang mewarisi kecantikan ibunya," tanya Han mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Ia sangat tau dunia Sehun adalah hal yang akan mengembalikan mood sang ilmuwan kembali membaik.

"Han, dia tampan sepertiku, mana bisa seperti Haeni."

"Kau ini, Ji. Sehun itu mewarisi sebagian besar raut wajah istrimu-mata, bibir, dan kulit putihnya. Semua. Kau hanya menyumbang tinggi dan rahang tegasmu. Itu saja."

"Hei, kau lupa ya? hidung mancungnya dia dapat dariku," protes So Ji cepat.

Keduanya tertawa untuk perdebatan kecil yang nyatanya selalu mereka lakukan bila bicara mengenai Sehun.

"Aku sangat bersyukur Minah dan Chanyeol menjaganya dengan baik. Seandainya bisa kutukar penyakit laknat itu-"

"Sudahlah, Ji. Percayalah, Tuhan mengatur semua ini dan akan memberi akhir yang indah pada waktunya."

Detektif Han menepuk pundak So Ji lalu merangkulnya.

"Aiish, Han, Lepas! Aku tak ingin orang berpikir macam-macam tentang kita."

So Ji bergidik ngeri, menolak pelukan erat detektif Han. "Makanya cepatlah menikah. Kau terlalu tua untuk membujang seperti ini, Han."

"Aku akan menikah bila kau melakukannya juga, Ji."

Dan kedua orang dewasa itupun kembali tertawa menghabiskan kebersamaan dengan berbagi cerita.

.
.
.

"Boleh aku masuk?" Kai berdiri tepat di depan Sehun yang tengkurap di ranjang memainkan ponselnya.

"Kau kan sudah masuk sebelum kuijinkan," jawab Sehun ketus. Atensinya teralih pada Kai yang memilih duduk di sofa.

"Kemana saja kau?" tanya Sehun yang merubah posisinya menjadi duduk dan memandang dengan tatapan minta penjelasan.

Yang jadi masalah, sepulangnya dari rumah sakit tiga hari lalu, pemuda berkulit tan itu tak terlihat batang hidungnya. Sungguh, diluar kebiasaan seorang Kai yang tak pernah terlewat seharipun untuk setor wajah-kecuali sakit atau ada acara, tentunya. Entahlah, ada yang hilang rasanya. Mungkin ini yang namanya...

"Kangen ya," Kai menggoda.

Sehun memutar malas bola matanya dan menghela napas kasar- sengaja untuk menunjukkan kekesalannya. Sebenarnya hati kecilnya berkata 'iya' tapi terlalu gengsi untuk diucapkan.

"Temani aku, yuk," ajak Sehun tiba-tiba dan berlalu begitu saja keluar kamar tanpa menunggu persetujuan Kai.
.
.
.

Terik matahari menyengat kulit, tiga remaja berjalan beriringan.

"Mau kemana kita, Hun?" Chanyeol angkat bicara.

Sebenarnya ia malas bepergian ditengah cuaca yang tak bersahabat ini namun membiarkan adik dan sahabatnya pergi adalah kesalahan besar. Dengan terpaksa ia mengikuti ke mana Sehun melangkahkan kakinya. Namun yang membuat gemas remaja 19 tahun ini adalah pikiran si adik yang aneh. Alih-alih pergi ke game station atau mall, ABG labil ini lebih memilih untuk menikmati semilir angin dan katanya ingin sedikit mewarnai kulit putih pucatnya karena terkurung beberapa hari di rumah. Alasan yang 'gila'.

"Kita pulang saja, ya. Panas sekali disini. Lihat, kulit kakak bertambah hitam jadinya," bujuk Chanyeol sambil menunjukkan tangannya.

"Kakak memang sudah hitaman sejak embrio, kan?" sindir Sehun dengan wajah datar tanpa rasa bersalah telah melakukan body shaming.

Kai tergelak namun segera menutup mulutnya melihat tatapan bengis Chanyeol. Yah, kalau sudah begini terpaksa mengikuti acara 'JJS'-jalan jalan siang yang menyiksa.

Akhirnya ketiga remaja ini tiba di ujung jalan, di sebuah tanah lapang yang dipenuh pondasi dasar bangunan.

"Apa kita akan berjemur disini, Hun?" tanya Kai sarkas.

Sehun mengangkat bahu dan menjawab sekenanya. "Bila kau mau."

Kai mengacak rambutnya kesal. Sungguh bila tidak mengingat pemuda ini sahabat baiknya sejak tujuh tahun lalu ingin rasanya ia mengikat dan menjemur Sehun di tanah lapang biar kering menghitam seperti dendeng.

Ternyata cobaan ini belum seberapa. Rasa kesal bertambah level saat Sehun berkata tanpa dosa,

"Hmm, sepertinya aku salah jalan."

Chanyeol dan Kai-keduanya hanya mampu menghela napas, bersabar dengan tingkah yang termuda.

"Kita pulang saja. Panas ini tak baik buatmu," bujuk Chanyeol merangkul bahu adiknya.

Tak ada bantahan sebagai bentuk penolakan, dan ketiga nya pun berbalik pulang.

"BERHENTI."

Entah darimana datangnya, enam orang tak bersahabat mengepung ketiganya. Mereka segera merapatkan diri saling melindungi.

"Mau apa kalian?" tanya Chanyeol tegas.

Tak ada jawaban namun tatapan orang-orang itu memberi isyarat bahaya untuk ketiganya.

Salah seorang yang berperawakan paling tinggi memberi perintah pada lima lainnya.

"Bawa anak itu, CEPAT!"

Mereka bergerak serempak menyerang Chanyeol, Kai dan Sehun yang dengan gesit melakukan perlawanan-menangkis serangan yang bertubi-tubi menghujani mereka.

Seorang pria tersungkur mendapat tendangan Sehun yang telak mengenai dadanya. Dua lainnya pun bernasib sama, jatuh oleh pukulan Kai dan Chanyeol.

Tapi entah kenapa, gelar juara dan sabuk hitam Taekwondo yang pernah diraihnya seakan tak ada artinya buat Sehun. Seberapa pun kuat pukulannya pada lawan, mereka seakan kehilangan rasa sakit, mampu kembali berdiri dan meyerang walau terluka.
Lalu perlahan perasaan ringan dan mengedap merambati tubuh Sehun. Dunia dipenuhi kunang-kunang yang berkedip genit padanya. Dalam samar ia masih mendengar suara sarat kekhawatiran dari sang kakak.

"Hun! AWAS."



Masih bersambung
12122016~16092019

DEVIL BESIDE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang