28. Amnesia

2.6K 221 1
                                    

Aldric's point of view

| | | | |

"Saudari Nuragi mengalami penyakit Amnesia Retrograde, Bu, yang disebabkan benturan keras yang terjadi saat kecelakaan. Yang mana penderita akan melupakan semua masa lalunya. Tetapi, di sisi lain, Saudari Nuragi bisa membuat kenangan baru, walau ia tidak bisa mengingat yang lalu lalu. Sebenarnya bisa, tetapi harus melewati proses. Biarkan waktu berjalan. Biarkan ia teringat sendiri. Jangan dipaksa, atau ia malah jatuhnya akan pusing dan ia malah tersiksa sendiri. Saya turut bersedih, Bu."

Kata-kata itu masih terngiang-ngiang di kepalaku. Maafkan aku, Ma, tetapi tadi aku menguping pembicaraan Mama dan Dokter karena aku terlalu penasaran.

Ah, Tuhan. Kenapa pada akhirnya jadi pahit? Kenapa pada akhirnya Nuragi lupa dengan semua kenanganku dengannya? Bahkan mengenaliku saja tidak.

Tuhan, ini begitu berat.

Mengapa Tuhan memberikan ujian seberat ini pada umat-Nya? Pada ku? Mengapa?

Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Air mata daritadi masih setia meluncur dari kelopak mataku dan membuat sebuah genangan di mataku.

Mama tiba-tiba keluar dari kamar Nuragi, beliau berjalan mendekatiku.

"Al...," Mama mengelus punggungku.

Aku hanya menunduk dan masih menutup wajahku dengan tanganku. Kini, bibirku sedang tidak bisa berbicara. Air mataku lah yang berbicara kali ini.

"Aldric..., kamu harus kuat ya, Sayang? Dokter bilang Nuragi bisa kok inget semuanya, tapi perlahan, jangan dipaksa. Ya, Al..?"

Aku hanya mengangguk lemas.

"Masuk yuk? Siapa tau dia bisa inget sama kamu perlahan demi perlahan."

Aku pasrah, Mama membawaku masuk ke dalam kamar Nuragi.

Ah, Nuragi.....

Aku rindu sama kamu yang ceria.

Aku rindu sama kamu yang malu-malu.

Aku rindu sama senyum kamu.

Aku rindu kamu.

Nuragi sedang berada di atas tempat tidurnya sambil memakan makanan yang baru saja tadi diantar oleh pihak rumah sakit ke kamarnya. Ia terlihat makan dengan lahap. Mungkin karena sudah 3 bulan tidak pernah merasakan makan lagi mungkin, ya?

Aku mendekat ke Nuragi, lalu aku berdiri tepat di sebelahnya. Aku memandanginya dengan genangan air mata yang sudah siap pecah kapan saja.

"Hai, Ra," sapaku.

Nuragi menoleh, "Hai?"

"Makan kamu lahap. Laper ya?" Tanyaku.

Nuragi menaikkan kedua alisnya lalu mengangguk ragu.

"Gimana rasanya tidur 3 bulan? Enak gak?" Tanyaku agar aku dan dia tidak terasa sangat canggung.

Jujur saja, sejak aku masuk ke dalam kamar Nuragi beberapa detik lalu, tiba-tiba suasana kamar itu jadi canggung. Apalagi saat mata kami sempat bertatap selama sekitar 2 detik. Sangat canggung. Sangat.

"Enak, jadi ga sekolah," candanya.

Oh Tuhan, ia tertawa.

Walau tertawa pelan, ia tertawa. Aku mendengarnya, Tuhan. Aku mendengarnya!

Terima kasih, Tuhan.

"Tapi ga enak buat Mama kamu sama aku, nungguin kamu buat bangun, khawatir banget," kataku.

"Uh?" Nuragi terlihat bingung. "Makasih, ya, um..."

"Aldric," sambungku tiba-tiba.

"Aldric...," katanya.

Akhirnya, ia memanggil namaku.

Semoga ini menjadi langkah awal ia bisa mengingatku.

Semoga.

| | | | |

Tangerang, 7 Desember 2015

Lagi kangen orang, tiba-tiba jadi pengen nulis. Bwahaha, ga nyambung ya? Tapi gapapa deh.

Started By LINEWhere stories live. Discover now