-36-

2.7K 222 3
                                    

           Setelah menempuh perjalanan kira-kira setengah jam melewati kota kemudian jalan paving, dan perbukitan, kami akhirnya sampai di sebuah bukit yang cukup tinggi untuk melihat keadaan Virginia dari atas sini. Zach membawaku turun kemudian mendorongku ke puncak bukit, dari sini aku dapat melihat segala titik di Virginia. Mulai dari kota yang ada di Tenggara, hingga taman kecil yang selalu mengingatkanku akan masa kecilku dulu.

              Mataku berbinar-binar melihat betapa indahnya Virginia dari atas sini, disinari matahari yang mulai jingga. Tidak ada kata-kata yang pantas menggambarkan pemandangan seindah ini, benar-benar sangat luar biasa. Aku merasa semua masalahku sirna ketika aku melihat pemandangan seindah ini. Langit begitu jingga, dengan awan yang menggantung indah, menghiasi kota Virginia dari atas sini.

"Mungkin memang bukan aku satu-satunya pria yang telah mengajak kekasihnya melihat keindahan ini." Dia menarik nafas panjang, "Namun aku satu-satunya pria yang telah mengajak ibu dari anakku melihat ini." Lanjutnya, aku tersenyum, berusaha tidak terlihat begitu tertarik.

"Mungkin aku memang bukanlah pria romantis yang diidamkan seluruh wanita di dunia ini, tapi yakinilah, aku satu-satunya pria yang begitu mengidamkanmu hingga gila." Cercahnya lagi, tanpa melihat bayanganku di cermin saja aku sudah tahu bahwa telah ada semburat merah di kedua pipiku.

"Kau belum melihatnya saja." Elakku seraya tertawa kecil.

"Baiklah, kau akan merasakan cinta mereka tak akan pernah mengimbangiku. Entahlah aku merasa sebegitu kuatnya ketertarikan yang kau miliki." Paparnya, aku menatap sepasang manik mata berwarna biru tua yang telah menatap mataku lembut, aku suka ketika ada di momen seperti ini dengannya. Matanya selalu punya gambaran yang dalam, perasaan yang kuat, dan kesedihan yang amat perih.

             Kami hanya duduk, Zach duduk di atas rumput hijau berembun sedangkan aku tetap ada di kursi rodaku. Menatap betapa indahnya pemandangan ini, betapa menyenangkannya hal ini. Dan betapa berharganya momen ini untuk selalu kukenang bersamanya.

"Kalian indah." Gumamnya, "Kau dan Kaaau!" Serunya mengacungkan telunjuknya padaku, kemudian merentangkan kedua tangannya ke arah deretan bangunan kota yang nampak begitu jingga.

            Kami menunggu hingga matahari tenggelam di balik hamparan kota yang begitu luas, sungguh luar biasa. Zach mengambil posisi berdiri, aku mendongak dan hendak meluapkan protesku karena tidak menunggu matahari itu terbenam sempurna. Tanpa basa basi, pria itu mencium bibirku yang terbuka sedikit, aku membalasnya, kedua tanganku melingkar pada lehernya. Berharap peristiwa ini tak akan pernah berakhir.

Tak akan pernah berakhir.

              Kami berciuman dengan bermandian sinar jingga dari matahari yang begitu indahnya berusaha sembunyi di balik hiruk pikuk kota. Hingga akhirnya, sampailah pada titik gelap kota, Zach melepaskan bibirnya pelan dengan terengah-engah. Tangannya masih mengelus lembut pipiku, ujung hidungnya masih menempel pada ujung hidungku. Dan nafas hangat kami beradu, ia tertawa ringan. Aku pun begitu. Aku merasa sesuatu menetes pada pipiku, Ia menangis.

                Dadanya naik turun dengan cepat, dan matanya berair. Air matanya yang hangat meluncur di atas pipiku. Kutarik punggungnya mendekat, badannya bergetar, aku memeluknya erat.

"Tidak apa." Ucapku lirih, "Semua akan baik saja."

Astaga, siapa yang kau bohongi?

"Aku hanya ingin kau selalu di sini, di sampingku." Pintanya, aku mengangguk pelan.

            Zach menyeka air matanya yang terus meleleh, entah mengapa ketika dia ada di sekitarku aku jadi tahu kelemahannya. Malam semakin gelap, kami kembali ke rumah, namun sebelum itu kami mampir ke McDonald membeli dua burger keju dan dua coke.

             Zach memang tak pernah bersikap dramatis seolah-olah hidup ini adalah sebuah panggung sandiwara romansa. Dia memang tidak romantis, namun sikapnya selalu membuatku tertawa, dan kadang membuatku melupakan keadaanku yang sebenarnya. Tapi aku tahu dirinya begitu spesial, hanya satu di dunia.

            Aku ingat di ulang tahunku setahun yang lalu hidupku masih biasa-biasa saja, aku sudah mengenal Zach sebagai temanku, maksudku memanfatkanku mendapatkan nilai tinggi. Namun sayangnya, aku lebih suka kehidupanku yang biasa saja. Tanpa hadiah, tanpa pesta, dan tanpa kanker. Bulan depan adalah ulang tahunku yang ke 18, aku sangat berharap masih dapat merasakan tubuhku. Tidak bermaksud meramal sesuatu, namun aku mulai merasa tubuhku hilang satu per satu, kontrolku menjadi lebih kurang terhadap setiap partnya.

              Satu minggu pertama di musim panas kuhabiskan waktuku di atas kursi roda, kemudian dua minggu, masih sama. Sialan. Zach pergi dengan keluarganya beberapa hari, itu membuatku kesepian, begitu kesepian. Aku selalu menunggunya datang siang dan malam, namun tak ada yang datang kecuali Sara dan Maddi. Mereka hanya datang untuk bermain ular tangga, bodoh sekali.

"Hey! Unicorn itu milikku!" teriak Maddi ketika Sara memindahkan kepala Unicorn merah muda beberapa kotak ke depan. Sara hanya mendengus kesal.

"Ella, dimana Zach?" tanya Sara,

"Florida." jawabku singkat, kumatikan iPod yang ada di tangan kananku, kemudian melepaskan headset yang menempel di perutku. Kata Dr. Anne itu adalah salah satu terapi yang bagus untuk bayi dalam kandungan.

"Kurang dari dua bulan lagi adalah hari kelahirannya, jika aku benar." tebak Maddi, aku mengangguk setuju.

Seseorang menelfon. Zachary! Aku mengangkatnya, berusaha bersikap biasa saja.

"Hey." Sapaku,

"Hey Isabella. What's up?"

"Abi or Jason who we used to say has listened to classic music that you gave to me."

"Oh really? They were good, and how about you?"

"Definitely good. How was Florida?"

"My Mom ask about you the way too much. She bought Abi or Jason some stuff."

"She is pretty kind."

"Yeah, she does likes you."

"I hope so."

"You will be the best Mother ever."

"I hope that so."

"Okay, I love you. Meet you in 24 hours!"
"Okay."

SIZEWhere stories live. Discover now