-12-

2.7K 294 8
                                    

"Um tidak, aku tidak minum." Tolakku pelan, aku kembali memposisikan tubuhku dengan nyaman. Melihat kepala Blake dan Sara saling bersandar di bahu mereka.

"Ayolah Ella. Hanya sedikit. Oh dude, tidak ada pesta tanpa alkohol. Apalagi anggur mahal dari gudang Caniff, mereka punya ratusan yang semahal ini." Jelas Nick panjang lebar disertai anggukan yang lain. Ariel menyodorkan segelas cairan bening, aku memang bukan tipikal peminum, namun aku tahu sesendok saja tenggorokanku terkena sesuatu berbau alkohol maka dengan mudah aku mabuk.

"Ayolah Ella." Ujar salah seorang lagi di belakangku, aku menoleh sedikit terkejut kemudian melihat Hayley, Linsey, dan Charles. Mereka semua memakai pakaian modis dan make up bagus.

Aku mengambil gelas yang disodorkan oleh Ariel dan meminumnya. Tiba-tiba kepalaku pening dan tenggorokanku gatal, sedikit panas. Nick menepuk-nepuk punggungku seakan aku melakukan sesuatu yang patut dibanggakan. Baru satu tengguk alkohol yang meluncur bebas namun tepatnya seperti ratusan liter. Aku memijat-mijat kepalaku yang sakit dan pandanganku yang mulai buram. Baru kusadari seseorang menyentuh lenganku yang besar dengan lembut.

"Follow me El, pick it down." Pinta Zach masih menyentuh lenganku dengan raut tak bisa dibaca. Aku mengangguk kemudian perlahan berdiri dan mengikuti langkah kecil Zach yang pergi ke balkon di lantai tempat kami duduk.

            Kurasa Caniff punya beberapa balkon dan balkon inilah yang paling buruk. Tanamannya layu, kacanya tak pernah dibersihkan, dan entahlah pemandangannya tidak ada yang menarik. Hanya atap rendah rumah yang lain.

"Kau tak apa?" Tanya Zach membalikan badannya menghadapku yang berdiri canggung.

"Totally fine Zach." Jawabku sedikit salah tingkah.

"Kau perlu udara segar untuk segelas alkohol tadi." Sarannya kemudian bersandar pada tepi kaca, "Atau kau akan mual nantinya."

"Thank you Zach." Ucapku bergabung dengannya menatap ke langit hitam.

"For what?" Dia balik bertanya tanpa mengalihkan padangannya pada langit yang kosong.

"My first party." Jawabku merasa aneh, lagipula untuk apa aku berterimakasih sekarang.

"Tapi aku belum memberitahumu tentang semua yang seharusnya ada di pesta." Ujarnya sedikit tertawa.

Memangnya apa yang akan terjadi di pesta selain kau duduk dan minum? Atau berenang di kolam renang indoor mewah. Atau melihat orang yang kau suka berkencan dengan adikmu sendiri. Hayley benar, perasaan memang tidak bisa berbohong. Namun cinta bukan diperuntukkan untuk kaum sepertiku, lebih tepat diperuntukkan untuk kaum seperti Sara, Amathys, bahkan semua gadis kecuali aku.

"Beritahu aku." Pintaku canggung kemudian kami tertawa, jadi rasanya seperti ini berbincang berdua dengan seorang laki-laki di tempat sepi.

"Kau akan disuguhi semua minuman berbau alkohol ataupun soda, tidak makan makanan berat kecuali pizza, cari pria untuk dikencani saat itu dan di pesta itu juga, hal itu selalu berlangsung dadakan. Cobalah untuk pakai pakaian terbaik dan make up yang tidak terlalu tebal, jangan pernah pakai pakaian atau sepatu yang sama di setiap pesta. Ikuti semua dansa, klasik maupun tidak jelas. But the point is having some fun time." Jelasnya panjang lebar, aku mangut-mangut.

                   Kurasa aku tak akan ikut pesta keduaku atau selanjutnya. Mengingat pakaian yang kupunya terbatas, juga sepatuku. Aku tidak bisa mencari teman kencan. Dan make up menurutku sangat penting, jika dengan make up setipis mungkin itu sama saja dengan tidak ada teman. Wajahku akan cepat kembali seperti aslinya, juga dengan minyak.

"Itu mudah, dengar! Itu suara musik klasik. Kau mau berdansa?" Tawarnya menyodorkan telapak tangannya yang terbuka.

"Aku sangat kaku." Itu bukan sebuah penolakan, hanya keraguan.

"Kau hanya belum terbuka, aku sangat optimis."
"Kau optimis, dan aku kaku. Itu seperti kau adalah api dan aku adalah es."
"Masa bodoh tentang perandaian."

             Jadi inilah perasaan tersipu karena laki-laki. Jujur saja aku sangat jarang merasa seperti gadis normal dengan banyak laki-laki di sekitarnya. Itu benar karena selain aku memang tidak tahu cara berdansa, aku juga gugup. Tangan laki-laki terakhir yang kusentuh adalah saat aku berumur sepuluh tahun, saat karyawisata sekolah ke Nashville.

"Baiklah." Ucapku pelan kemudian menerima telapak tangan Zach.

              Dia menarik tanganku yang satunya ke atas bahunya, otomatis kami berdekatan, sangat dekat. Aku dapat melihat manik mata biru terangnya dengan jelas, terlihat warna merah di sekitar hidungnya yang sangat mancung bukan karena flu atau udara malam yang dingin. Itu sejenis faktor alami darinya. Zach beberapa senti lebih tinggi dibanding aku. Kami tertawa beberapa kali karena terlalu lama saling memandang. Aku merasakan tanganku bergetar, jantungku berdegup sangat kencang.

               Suasana sangat sunyi di luar sini, hanya terdengar suara musik samar, dan deru nafas kami yang berdekatan. Kami hanya bergerak ke kanan dan ke kiri dengan canggung. Aku tak pernah menyangka pada akhirnya akan ada laki-laki yang entah punya motivasi apa mengajakku berdansa di balkon pesta.

SIZETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang