-23-

2.3K 241 0
                                    

Aku seharusnya tidak perlu peduli dengan mereka, mereka bahkan tidak pernah peduli padaku dalam keadaan seburuk apapun. Lagipula, dengan mudah berita itu akan hilang dari waktu ke waktu. Semua orang punya pilihan, membully kedua saudara diva ku dan kehilangan ketenaran mereka atau tetap membully ku dan menjaga ketenaran mereka sendiri. Tentu mereka akan tetap memilih pilihan kedua dan menganggap berita tentang Maddi dan Sara adalah angin lalu.

Kami memakan pizza pepperoni dengan ditemani suara pertengkaran Maddi dan Dylan yang masih memuncak. Mom pergi ke rumah temannya untuk sebuah bisnis memasak, khususnya dalam masakan Asia klasik.

"Mereka tidak akan berhenti, benar?" Tanya Zach seraya mengunyah pizzanya. Aku mengangguk.

"Yeah, mereka seperti dumdum kemudian aw, kemudian dumdum dan aw." Ujar Nick sarkasme.

"Kau terlihat kurang bersemangat Zach." Kata Ariel, Zach hanya mendongakkan kepalanya kemudian kembali menunduk, "Ada apa?"

"Aku? Tidak ada, sungguh." Jawabnya masih menatap ke meja dengan taplak biru yang Mom bawa dari Ohio.

"Kau berbohong." Sangkal Hayley.

"Sudahlah."

Aku tak tahu apa yang terjadi pada Zach, namun sepertinya itu ada hubungannya dengan saudaranya atau sesuatu. Karena sikapnya mendadak berubah ketika kami membicarakan Maddi dan Sara. Hingga mereka semua pulang dan Zach nampaknya masih canggung.

"Hey." Sapaku pada Zach yang terakhir meninggalkan pagar, dia tidak membawa mobilnya dan lebih memilih untuk berjalan. Dia mendongak dan menatapku.

"Kau.. Maksudku apa kau tak apa?" Tanyaku canggung. Ia mengangguk dan tersenyum.

"Hari ini ulang tahun Ashley." Jawabnya dengan raut sedih, "Aku hanya berfikir tentangnya ketika mendengar Tayler meniduri kedua saudarimu."

"Maafkan aku." Ucapku pelan, dia kembali tersenyum dan menepuk-nepuk pelan tanganku yang masih menyentuh pagar.

"Terimakasih El. Kau tahu? Aku akan membawakan pekerjaan rumah Sejarahmu besok."

"Baiklah."
"Okay, bye El."
"Bye Zach."

                Masih terdengar jelas Maddi dan Dylan yang saling berargumen dengan televisi yang menyala. Dengan langkah gontai aku duduk dan menonton sesuatu yang bisa mengalihkan perhatianku dari perdebatan mereka. Jujur saja aku hanya takut terjadi sesuatu dengan Maddi, maksudku seperti kontak fisik yang melukainya.

"Biar kuperjelas aku tidak sadar!"
"Hey! Kau bisa saja menghindar!"
"Itu sebuah kecelakaan!"
"Kecelakaan fatal yang menjadi topik jalang-jalang itu!"
"Hentikan!"
"Aku akan pergi."

Terdengar Maddi terisak dan derap kaki menjauh dari ruangan ini, aku yakin Dylan benar-benar marah padanya. Dengan berita Maddi, karir Dylan di baseball juga akan berpengaruh.

"Aku tidak bermaksud." Isaknya lirih, aku menoleh mendapati Maddi duduk di lantai dengan memeluk kedua lututnya. Aku menghampirinya kemudian duduk di sampingnya.

"Sudahlah." Ucapku mengelus rambutnya pelan.

"Seharusnya aku tidak pergi ke pesta sialan itu! Seharusnya aku tidak pernah pergi ke pesta itu--"

"Dan menjadi another Ella? Konyol sekali. Itu hanya kecelakaan."

"Itu bukan kecelakaan, yang terjadi sebenarnya adalah aku memang pergi dengan Tayler selama di pesta karena Dyl meninggalkanku."

"Bukan salahmu kalau begitu."
"Salahku jika aku mengandung."
"Kau mengandung?!"
"Tidak, aku tak tahu."
"Apa?"

                 Dia hanya menggeleng kemudian mengambil sesuatu dari dalam bra nya. Kukira kulitnya memproduksi sesuatu, itu adalah morfin. Astaga, untuk apa dia mengkonsumsi morfin?

"Hey!" Cegahku, dia menatapku kesal.

"Jangan pura-pura bodoh, aku tahu nilai Sains mu selalu di atas rata-rata, jadi kau tahu harus melakukan apa bukan?" Sindirnya kemudian mengambil serbuk morfin yang berserakan di lantai dengan sebuah sedotan. Astaga.

                Aku tak tahu jika Maddi mengkonsumsi barang paling dilarang di rumah. Bahkan Dad melarang kami semua melakukan hubungan intim dan sejenisnya, hal itu biasanya menjadi pantangan untuk Maddi. Untukku, itu adalah hal wajar, lagipula siapa yang ingin melakukan hubungan tersebut dengan gadis besar dan aneh.

                  Dengan perlahan aku berjalan menuju ke kamar, kurasakan kakiku nyeri pada bagian betisnya. Tiba-tiba kepalaku terasa pusing, sangat pusing. Aku berusaha menjangkau dinding yang agak jauh dari tempat aku berdiri di tengah-tengah ruang keluarga. Kurasa ini karena aku masih tak bisa menerima makanan apapun.

- Maddi's Point of View -

Tyler benar, Dylan tidak seharusnya mencampakkanku. Di samping itu urusan baseball Dylan terlalu berlebihan. Setidaknya pesta adalah pesta, bukan salahku jika aku bosan dan memilih pergi dengan orang yang sedang berpesta, pesta sungguhan. Astaga, semoga rasa mual saat itu hanya karena salad Jade yang tidak enak, bukan karena adanya bayi di rahimku.

Rumah ini terasa lebih sepi daripada kuburan kota, Mom tidak kunjung kembali, itu bagus. Sedang Ella berada di kamarnya, dia tak mungkin pergi jauh kecuali sekolah bersama teman-teman bayinya. Acara televisi tidak ada yang menarik dua jam ini, dan ponselku hanya berisi umpatan ataupun sindiran. Sialan! Rasanya itu hanya sebuah romansa bodoh, namun mereka seperti gadis tua payah yang tidak mengerti kehidupan remaja.

"Sialan." Dengusku frustasi.

Kuambil laptopku yang berada di atas meja, tadinya akan kugunakan untuk memutar serial film di Netflix, namun secarik kertas menempel di layar membuatku penasaran. Fotoku dengan Dylan yang kami ambil di hari pertama kami berkencan. Kami berangkulan dengan canggung, tersenyum kaku dan sering salah tingkah saat kami saling menatap. Tanpa sadar aku tersenyum. Aku tak ingat pernah menaruh ini di sini.

Remember our first date? I felt like the luckiest person and my feeling would never be different until now. I fell deeper and realize heart has no basis.
-D

Aku merasa menjadi orang jahat, aku tak tahu ini semua rasanya salah. Aku tidak seharusnya mengencani Tyler saat aku berkencan dengan Dylan. Dan Dylan tidak seharusnya meninggalkanku. Aku tahu dia telah meninggalkan foto itu untuk mengingatkanku minggu depan adalah hari dimana foto itu diambil.

Kringg...

Suara telfon membuyarkan seluruh lamunanku, itu pasti Mom.

"Halo, kediaman Gilbert."
"Halo sayang, bagaimana keadaan dirumah?"
"Mom, kita pernah membahas apa guna ponsel bukan?"
"Mom tahu sayang, kau ingin makan malam apa?"
"Terserah kau saja Mommy."
"Apa Dylan masih di sana?"
"Um, dia sudah pergi tadi."
"Hubungan kalian baik saja bukan? Kau tidak perlu berbohong seperti kau selalu mengatakan dia berlatih--"

"Mom, hentikan. Kami tak apa."
"Terserah kau saja, namun Brennen akan datang besok."

Sepupu Brennen, dia lahir di Ohio saat itu ibunya kabur karena suaminya yang brutal. Dan kemudian dia tinggal di London, kami tidak pernah bertemu lagi.

"Baik."

SIZEWhere stories live. Discover now