-31-

2.5K 244 0
                                    

Hari demi hari, minggu demi minggu pun berlalu hingga akhirnya beberapa bulan setelah kejadian naif tersebut terjadi, mereka belum juga bicara. Ella terlihat murung, dan Zach jarang pergi ke sekolah. Sebenarnya yang mereka risaukan adalah gengsi dan rasa takut kehilangan satu sama lain yang tidak bisa ditebas habis dengan kata maaf.

Dengan terburu-buru Ella menyambar kotak kardus di atas meja belajarnya, semua keluarganya sedang tidak dirumah untuk beberapa menit kedepan karena tetangga baru mereka yang ada di ujung jalan membuat pesta barbeque. Setidaknya ada cukup waktu untuk dirinya yang sedang kacau balau dan membuktikan bahwa malam itu hanyalah omong kosong belaka.

"APA! TIDAK MUNGKIN?!" Pekiknya melotot ketika melihat testpack itu berkata benar bahwa kini ada janin di rahimnya.

Ya, dia mengandung. Mengandung anak dari Zach. Dan kini pasti bayi itu sedih melihat kedua orang tua bodohnya saling berjauhan seperti hole pertama dan hole ke sembilan. Atau seperti gas station di tanah Texas.

                 Ella masih terduduk lesu di atas kloset marmer putihnya itu, dia tak tahu lagi apa yang harus dikatakan pada kedua orang tuanya. Atau setidaknya pada Zach, ayah dari bayi yang dikandungnya. Diraihnya ponsel yang tergeletak di samping gelas berisi air dan alat pengecek kehamilan yang dibelinya di 7eleven kemarin.

To: Zachary

Hey...

{deleted}

Jangan menghubunginya seperti ini. Pikirnya semakin kalang kabut ketika tiba-tiba telephone rumahnya berdering.

                 Setelah selesai mengumpulkan semua serpihan motivasinya untuk tetap hidup, dia berjalan gontai menuju telephone gantung berwarna merah dengan semua nomor telephone keluarga besarnya. Sudah tiga kali telephone itu berdering, ini yang keempat kali.

"Hello, Gilbert's house."
"Hey, Ella..."
"Zach.."

Seketika semuanya hening tidak bergeming termasuk dedaunan hijau di balik kaca jendelanya. Suara yang telah dirindukannya sejak saat itu, dan kini rasanya semua memori yang mati kembali bergejolak. Seraya menahan tangisnya, Ella hanya mengetuk-etuk meja mahoni kecilnya dengan isyarat dia menunggu.

"Um aku, um bagaimana kabarmu?"

                  Rasanya bahkan jutaan kali lebih menenangkan dibanding apapun. Suara Ella tertahan dengan isakannya yang ikut berlomba keluar.

"Isabella?"

Satu kali lagi maka dunianya bagai runtuh tak berbekas, dia menarik nafas panjang kemudian bicara.

"Yeah."
"Kau tak apa?"

"Aku baik, bagaimana denganmu?" Tanyanya gugup dengan suara bergetar.

"Aku yakin itu tidak. Bisa kita bicara?"

Ella terdiam, maksudnya semua terdiam termasuk ketukan jari telunjuknya yang kaku. Air matanya mulai tidak sabar untuk keluar dari ujung bola matanya yang menyorot sayu.

"Aku, aku merindukanmu."

Deg.

Tidak bisa ditahan lagi air matanya yang mengucur deras, ayah dari bayinya baru saja mengatakan kata-kata laknat yang tabu. Dadanya mulai naik turun dan pipinya memerah menahan amarah. Dia tidak bisa marah, ini juga salahnya. Menangis tidak akan mengulang semuanya dari awal, takdir telah ditulis, manusia telah menyanggupi. Semua tidak akan pernah kembali seperti sedia kala.

Persetan dengan kenangan lama.

"Kau menangis? Hanya tersisa satu blok lagi hingga aku dapat melihatmu."

SIZEWhere stories live. Discover now