46. Obrolan dengan Ipat

Start from the beginning
                                    

"Ih ngga, maksud Ipat teh, Kak Hanun unyu..."

"Eeeh, kamu bisa-bisaan sebut unyu?" Hanun tergelak, menggulung lengan bajunya. "Kamu juga cantik. Banget. Pasti pacarnya banyak ya?"

Fatima tertawa. "A Saad bilang ngga boleh pacaran atuh, Kak," katanya. Keran masih belum terbuka. "Terus A Saad bilang, semua perempuan memang sangat cantik kalau ngga pakai jilbab."

"Hah?" Hanun terkejut sendiri mendengar penuturan Fatima. Sebab sepengetahuannya, Saad ini kan termasuk shalih. Ya ngga sih?

"Maksudnya teh gini, Kak," Fatima bergegas meralat ucapannya karena sepertinya Hanun salah paham. "Semua akhwat itu cantik sekali jika tanpa hijab, makanya akhwat diwajibkan berhijab di depan non mahram. Agar nanti, kecantikannya tersedia buat yang halal aja gitu."

Ada helaan napas lega di sisi Hanun begitu Fatima usai menjelaskan.

"Hampir aja suuzhan," celetuk Hanun. Keran di hadapannya mulai terbuka dengan skala kecil.

"Kak Hanun kayak A Saad," komentar Fatima lagi. "Kalau wudhu, airnya irit."

"Kan sunnah, Dek?" Hanun mematikan keran, menghadap Fatima yang mengurai senyum lembut.

"Iya sih, Kak. A Saad juga bilang begitu."

"Kalian dekat ya?"

"Maksudnya?"

"Akrab," jelas Hanun. "Kayak adik-kakak yang harmonis gitu?"

"Atuh ya harus dong, Kak. Kan saudara..."

"Iya sih," Hanun terdiam sejenak. "Enak ya punya abang. Aku punyanya kakak perempuan, dan sudah menikah. Pas dia menikah, aku nangis. Soalnya kami dulu dekat. Kayak sahabat. Kamu kalau Saad nikah, mungkin juga nangis kali ya?"

"Ipat malah ngarep Aa segera nikah," kata Fatima kemudian. "Biar Ipat punya kakak perempuan."

"Yeee, dulu juga aku ngarep kakak aku buruan nikah. Biar aku punya abang ipar. Pas nikah, ya tetep aja nangis."

Keduanya tertawa.

"Ya udah ah, kenapa bahas beginian. Yuk wudhu, buruan..."

Selesai berwudhu, Fatima membantu Hanun merapikan khimarnya. Lalu bergegas ke ruang shalat dan menunaikan Dhuha.

Hanun, biasanya shalat Dhuha hanya dua rakaat, dan dia melongo melihat Fatima melanjutkan rakaat selanjutnya setelah salam. Tidak mau kalah, Hanun ikutan melaksanakan yang dua rakaat lagi.

Fatima berdoa lama sekali sesudahnya.

"Kamu doa apa sih, Pat? Lama banget?"

"Doa Dhuha, Kak."

Keduanya merapikan lagi pakaian dan khimar mereka. Hanun menepuk kaus kakinya yang tertempel semacam gumpalan debu.

"Kata A Saad—"

"Abang lo semacam Google ya?"

"—doa bakda Dhuha itu dipersilakan untuk hajat satu hari. Utamanya, di pagi hari itu kita berdoa seperti doa yang Rasul munajatkan; Allaahumma inni as aluka 'ilman naafi'an, wa rizqan thayyiban, wa 'amalan mutaqobbalan..."

Hanun mengangguk, "Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amal yang diterima."

Dan keduanya melebarkan senyuman.

"Senang ya, Kak..." komentar Fatima dengan wajah cerah. "Itu doa duniawi yang bisa diminta di pagi hari. Biasanya Kak Hanun baca pas Dhuha juga?"

Hanun mengangguk lagi. "Pas Dhuha. Pas kelar Subuh juga."

[✓] HAMASSAAD Ukhayya HabibiWhere stories live. Discover now