Fajar mengarahkan mereka ke ruang staf di bagian dalam masjid. Ada Bima dan satu orang lain di sana.

Satu pria bertubuh tinggi dan agak besar, berahang tegas, mengenakan celana denim hitam dan kaus pendek berwarna putih dengan gambar di bagian dada. Ada beberapa tato menghiasi tangannya dan anting-anting di telinganya.

Darah Hamas sempat melesat ke kepala begitu menyadari siapa yang sedang bersama Bima.

Pun ketika si pria tersebut mendongakkan wajah begitu menyadari kehadiran orang lain di ruangan ini. Keningnya mengernyit dan delikannya terlihat jelas terarah pada Hamas.

Namun hanya sesaat, karena pemuda tersebut memilih mengalihkan pandangan kembali kepada Bima yang duduk bersila di dekatnya, di atas permadani tebal di sana.

"Assalaamu'alaykum," sapa Saad, menghampiri Bima, berjabat tangan dan saling tepuk punggung. "Ada apa, Bim?" tanyanya usai mendapat balasan salam.

"Ini, Ad," Bima menunjuk pemuda yang masih terdiam itu dengan lima jarinya. "Saudara kita sedang butuh bantuan."

Fajar keluar dan menutup pintu setelah mendapati Hamas menolak untuk diajak keluar ruangan. Maka jadilah mereka berempat di sana.

Saad melempar senyum sopan dan mengulurkan tangan pada si pria asing, dan tangan mereka bergenggaman erat sekejapan. Mau tak mau, Hamas melakukan hal yang sama.

"Namanya Jevin, dan dia ke sini untuk bertanya..." Bima menjeda kalimat, melirik Saad dan Jevin bergantian, "boleh ngga shalat dengan tato begitu?"

Saad refleks melirik pada lukisan yang orang-orang bilang adalah seni. Matanya mengerjap pelan dan berganti memandang Bima.

Jevin terlihat terkekeh, "This is a simple question," katanya. "Saya ngga ngerti kenapa Anda harus bertanya pada yang lain padahal Anda ketua kepengurusan masjid."

Bima menampilkan wajah yang seolah bertanya; dari mana ente tahu ane ketua pengurus masjid?

"Benar, saya ketuanya. Tapi Saad punya lebih banyak pandangan dan ilmu dari saya, Mas Jevin..."

"Hm, begini..." Saad menengahi. "Bukan bermaksud tidak sopan, tapi kita sebaiknya kembali ke inti masalah. Shalat dengan tato. Begitu, Kang?"

Hamas membiarkan rahangnya tetap berdiam pada tempatnya, meski dia benci sekali melihat betapa arogannya seorang Jevin. Tapi tidak juga menemukan alasan kenapa Jevin bisa tersesat ke masjid ini dan berada di ruangan yang sekarang, bertanya perihal apakah boleh shalat dengan kondisi tubuh bertato.

"Menggunakan tato hukumya haram, dan terdapat larangan khusus dari Nabi Shallallaahu 'Alayhi Wasallam. Dari Abu Juhaifah radhiyallaahu 'anhu, beliau mengatakan, Nabi Shallallaahu 'Alayhi Wasallam melaknat orang yang mentato dan yang minta diberi tato," jelas Saad.

"He told me that," kata Jevin sambil menunjuk Bima. "Jadi intinya gue ngga bisa shalat. Kalaupun shalat, shalat gue ngga diterima. Ya kan?"

Hamas sebal sekali melihatnya. Maksudnya, tunggu Saad selesai menjelaskan kan bisa?

"Karena itu, kewajiban orang yang memiliki tato di tubuhnya, dia harus bertaubat kepada Allah, memohon ampunan dan menyesali perbuatannya. Kemudian berusaha menghilangkan tato yang menempel di badannya, selama tidak memberatkan dirinya," jelas Saad lebih lanjut. "Namun, jika upaya menghilangkan tato ini membahayakan dirinya atau terlalu memberatkan dirinya maka cukup bertaubat dengan penuh penyesalan dan insya Allah shalatnya sah."

[✓] HAMASSAAD Ukhayya HabibiМесто, где живут истории. Откройте их для себя