31. Almautu Haq

Beginne am Anfang
                                    

"Gampang lah," sahut Hamas cepat. "Kondisi Om Harun gimana?"

Terdengar helaan napas penat dari Hanun. Sepasang matanya melirik Hamas dan Saad bergantian.

"Ngga ngerti," Hanun mulai menangis lagi. "Gue kesian banget lihat Papa kayak gitu. Lo lihat sendiri kan. Napasnya susah banget."

Linangan air mata kembali menghiasi pipi Hanun, membuat Hamas jadi serba salah.

"Yah, maap, Kak," kata Hamas, panik.

Saad mengamati dua bersaudara sepupu ini baik-baik. Mendapati sosok Hamas yang kurang ajar dan meledak-ledak tiba-tiba saja lenyap, dan berganti jadi sosok adik yang perhatian dan penurut pada kakak perempuannya. Sepertinya kedewasaan dan cara bicara Hanun dan Fitri yang memengaruhi tingkah laku Hamas pada keduanya.

"Gue bingung, Mas..." Hanun menutup wajah dengan dua tangannya. "Gue takut..."

Hamas menepuk-nepuk lutut Hanun, "Sabar, Kak. Ada Allah..."

Saad melongo. Tapi sesaat kemudian dilihatnya Hamas menolehkan kepala ke arahnya dengan mulut komat-kamit seolah berkata; Gimana nih???

"Gue takut bokap gue pergi dengan napas naik turun begitu, Mas. Baru Jumat pagi gue ketemu bokap dan ke-gap habis nangis. Bokap bilang," Hanun menangis lagi. Tersedu sedan dilingkupi memorinya sendiri. Dan Hamas menarik Hanun dalam rangkulan, mengusap lembut pundak kiri Hanun. "Bokap bilang, gue habis nangis karena apa? Who made me cry? Dan gue malah sewot ditanya begitu. Sekarang kayak gini..."

"Sabar, Kak..."

Hamas menyikut Saad dengan siku kanannya karena Saad memang duduk tepat di sebelah Hamas.

Saad sendiri bingung mesti menanggapi apa. Ini kan urusan keluarga. Curhat pribadi pula.

"Ya ampun, gue alay banget. Nangis mana deket temen lo..." Hanun cengengesan, mengusir rasa kikuk.

"Bacain Yasin aja, Kak," kata Saad tiba-tiba. "Semoga Allah beri kemudahan, apa pun itu."

Hening mendera mereka. Hanun melempar pandang ke arah sang ayah yang tertidur dengan napas lumayan teratur.

"Gue Tilawah dulu deh," kata Hanun seraya menyeka air mata dengan punggung tangannya. "Lo berdua keberatan ngga kalau nunggu di luar?"

"Gapapa, kak," Hamas beranjak dari duduknya, diikuti Saad.

Dering ponsel Hanun membuat Hanun membelokkan langkahnya ke meja tinggi.

"Assalaamu'alaykum," kata Hanun. "Iya, Kapit. Masih ada. Sama temennya. Yah kok gitu? Ya udah deh, ngga apa."

"Kenapa lagi, Kak?" tanya Hamas, agak cemas.

"Si Kapit pulang, Fatih rewel. Gue bilang lo masih di sini. Dia minta lo stay di sini sampai besok pagi pada ke sini sih. Tapi ngga apa kok, Mas. Lo kalau mau pulang, ya pulang aja. Ngga usah begadang nemenin gue. Besok kuliah kan?"

Senyum lembut tercetak di wajah Hamas. Ditinjunya pelan pundak Hanun.

"Ya elah, Kak, lo kayak sama orang lain aja sih. Gue kan adek lo," katanya lembut. Sukses menghadirkan senyum senang di wajah Saad. "Lo tilawah, gue sama Saad cari makan dulu ye? Lo mau gue beliin apa?"

Meski berusaha menghadirkan senyuman balasan, Hanun menggeleng lemah, "Ngga usah. Gue makan roti juga cukup."

"Beneran?"

"Bener. Udah, gih, sana."

Hanun mendorong punggung Hamas, membuat Hamas melangkah maju menuju pintu. Dan Saad mengangguk sopan, berpamitan.
*****
.
.
.

[✓] HAMASSAAD Ukhayya HabibiWo Geschichten leben. Entdecke jetzt