"Gimana keadaan Om Harun, Kak?" tanya Hamas. Saad menangkupkan tangan ketika Fitri hendak mengajaknya berjabat tangan.

"Masih begitu. Di dalam ada Hanun. Gue ke kantin dulu ya, anak gue belum makan nih. Ayahnya Fatih lagi ke rumah, nganter nyokap biar istirahat."

"Iya, Kak. Ati-ati."

"Yuk," kata Fitri sopan, pada Saad yang kemudian mengangguk. Fitri menggegas langkah dengan sang putra dalam gendongan.

Sepeninggal Fitri dan Fatih, perlahan Hamas membuka pintu kamar, lalu melangkah dengan hati-hati bersama Saad.

Hening yang menyergap terhiasi dengan tarikan napas yang sulit dari suara seorang lelaki, plus tangisan seorang perempuan diiringi dengan kalimat yang terdengar samar.

Langkah kaki dua pemuda ini terhenti ketika pasang mata mereka menangkap pemandangan yang membuat hati seolah teriris sembilu.

Seorang perempuan berhijab kelabu, yang tak lain dan tak bukan adalah Hanun, duduk di kursi di sisi kanan ranjang rawat, menghadap seorang lelaki tua yang menarik napas sekuat tenaga dengan mata terpejam. Tangan Hanun menggenggam jemari sang ayah dengan sangat erat sekaligus penuh kasih sayang, menempel di pipi kanan Hanun. Meski diselingi tangis, tapi baik telinga Hamas maupun telinga Saad mampu menangkap kalimat yang dilantunkan Hanun berulang-ulang.

"Laa ilaaha illallaah... Laa ilaaha illallaah... Laa ilaaha illallaah..."

Hamas merasakan deru dalam dadanya, dan dia ingin sekali menghambur ke sana, memeluk kedua orang itu dan berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Namun lidahnya kelu dan kakinya terasa terpaku, dan dia tidak berani secuil pun merusak momen yang ada di depannya kini.

Sementara Saad, matanya mengerjap takjub memandangi punggung si gadis berhijab kelabu... yang tengah men-talqin sang ayah.

Menuntun pria yang gadis itu sayangi untuk mengucapkan kalimat syahadat. Pemandangan yang sungguh langka di zaman sekarang.

"Papa pasti bisa," kata Hanun, sama sekali tidak menyadari keberadaan dua pemuda di dekatnya. Fokusnya tertancap pada naik turun napas ayahnya semata. "Laa ilaaha illallaah... Laa ilaaha illallaah... Laa ilaaha illallaah..."
*****
.
.
.

Hanun adalah sepupu Hamas dari pihak ayah. Ayah Hanun dengan ayah Hamas adalah sepupu. Meski jauh, tapi mereka lumayan akrab, karena silaturahim yang sering terjalin.

Dan Hanun yang single, kerap meminta Hamas untuk menjadi partner-nya setiap kali pergi menghadiri hajatan pernikahan kawannya. Jadi Hamas tahu betul sosok Hanun yang kerap ceria dan lebay ngga jelas, tiba-tiba terlihat rapuh ketika men-talqin sang ayah.

Hamas juga mengikuti proses hijrah sepupunya tersebut. Hal yang selama prosesnya, membuat Hanun kerap larut dalam kesibukan baru dan membuat Hamas berbulan-bulan belakangan terabaikan dari ajakan menghadiri undangan. Beruntung ada Saad yang kemudian hadir dan mengubah segalanya menjadi lebih indah.

Jangan nyanyi bacanya ya.

Tapi Hamas mana paham talqin-talqin begitu.

"Lo berdua doang?" sapa Hanun begitu dilihatnya Hamas datang bersama Saad. "Saad ya? Gue tahu dari DP Hamas. Alay kan dia mah."

Saad menangkupkan tangan ke depan hidung selagi Hanun melakukan hal yang sama.

"Nih, Kak," Hamas mengeluarkan sebungkus plastik mininarket ke hadapan Hanun, yang langsung diterima dengan baik oleh Hanun.

"Thank you yak," kata Hanun, berusaha semringah meski sembab terlihat di matanya yang masih basah. "Lo berdua udah makan?"

[✓] HAMASSAAD Ukhayya HabibiWhere stories live. Discover now