2 - Menutupi Kegelisahan

Mulai dari awal
                                    

Metta tau, perkataan apapun yang ia keluarkan tidak akan membuatnya terbebas dari hukuman. Ia hanya merasa perlu membuka kebenaran karena memang ia tidaklah salah. Ia justru sedang menegakkan keadilan disini. Masih untung dia meurungkan niatnya mematahkan salah satu kaki Rio tadi.

"Apakah kamu pernah memikirkan jika hal yang terjadi padamu mungkin saja akibat dari perbuatanmu sendiri?"

Did she say that?

"Saya sudah dengar keributan yang kamu buat tempo hari di lorong utama sekolah ini."

Okay, bring it up!

"Saya tidak peduli apakah masalah ini bersangkutan atau tidak. Saya tidak mau tau apa yang sudah terjadi dibelakang. Apa yang saya permasalahkan sekarang adalah yang terjadi tepat di depan mata saya tadi saat kamu memukuli Rio dikelasnya."

Metta hampir saja tertawa. Tentu saja orang seperti Bu Selfi tidak akan peduli. Untuk apa dia capek capek mengurusi siswa bermasalah seperti dirinya. Metta bahkan berani bertaruh jika ia di panggil kesini semata karena tugasnya sebagai guru BP. Tidak lebih untuk terlihat jika ia berguna disekolah ini.

"Saya akan memberikan skors selama 3 hari untuk kamu." Ucap Bu Selfi pada akhirnya dengan dagu terangkat tanda final kekuasaannya akan Metta, "Tapi itu hanya untuk sementara. Kita akan kembali bicara jika Rio sudah keluar dari rumah sakit. Berharaplah agar keluarga Rio tidak menuntut apapun."

Metta hanya mengangkat bahu acuh. Sekalipun keluarga Rio penyumbang terbesar dana bantuan di sekolah ini tidak membuat Metta takut sedikit pun. Ia justru sudah memikirkan akan kembali menghajar cowok itu saat dia sudah keluar dari rumah sakit nanti.

Setelah mengangguk sekedarnya Metta lalu berdiri. Tanpa ucapan basa basi ia berbalik menuju pintu. Bu Selfi yang melihat tingkah Metta menggelengkan kepala. Ia tidak habis pikir dengan ketidakpedulian cewek itu terhadap hukuman yang ia beri.

Saat Metta sudah mencapai pintu keluar, Bu Selfi kembali menahannya.

"Gunakan waktu skors kamu untuk merenung. Kamu tentu punya pilihan dari setiap apa yang terjadi dalam hidup kamu."

Metta lalu menutup pintu ruang BP dan mendengus. Wanita itu tidak seharusnya bersikap maha tau tentang hidupnya. Tidak ada yang bisa mengerti tentang pilihan apa saja yang ada dalam hidup Metta. Ia kemudian berbalik menuju kelas setelah sebelumnya berhasil menendang pot tanaman kesukaan Bu Selfi masuk ke got.

***

Ketika sampai di apartemen, Metta langsung membanting dirinya diatas tempat tidur. Dengan satu tangan ia memijit pangkal hidung sembari menendang lepas sepatunya asal. Ia merasakan pening dikepalanya saat ini. Berputar layaknya tornado yang menghisapnya.

Saat sendiri seperti ini biasanya Metta akan diganggu perasaan kosong dan hampa. Ia berlangganan menjadi bodoh dan perenung hanya karena kesendiriannya. Bukan karena apartemen ini terlalu luas, melainkan rasa hampa yang sudah bercokol lama didalam diri Metta itu disebabkan oleh hal lain.

Namun kali ini berbeda. Kepala yang ditumbuhi rambut berwarna coklat gelap itu dipenuhi oleh kilas balik kejadian dimalam ia hampir saja celaka.

Hampir.

Metta bangkit dan mengambil air di meja samping. Kemudian melepaskan baju seragam hingga menyisakan dirinya hanya mengenakan tanktop putih. Masih duduk diatas tempat tidur, Metta menggumpal asal baju itu lalu melemparkannya ke keranjang di sudut kamar. Baju seragam itu berhasil masuk. Tepat di atas pakaian kotor yang ia kenakan waktu menghadiri sebuah pesta ulang tahun. Mengingatkannya kembali ke malam itu. Lagi, membuat Metta mengerang frustasi lalu mengacak rambutnya.

SIN [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang