"Eh seriusan si Saad ngomong begitu?" Hamas terbeliak. Dilihatnya Ipat mengangguk. "Lo disuruh kawin? Kan lo masih bocah?"

"Kata A Saad, Ipat sudah besar. Sudah baligh. Sudah harus bisa bertanggung jawab. Kalau suka sama lelaki dan tidak bisa mengendalikan, mendingan nikah saja sama lelaki itu. Begitu kata A Saad..."

"Lah gimana dah, masa tiap lo suka cowok, lo langsung minta dia nikahin lo kan konyol. Pacaran kan buat perkenalan dulu biar kaga kayak beli kucing dalam karung!" Hamas masih berusaha mematahkan apa yang diyakini Fatima.

Setan banget ini si Hamas...

"Kata A Saad—"

"Lo kayaknya ngefans banget sama Saad ye, Pat? Apa-apa kata dia mulu?"

"—kalau hati kita nyangkut ke seseorang, hal pertama yang kita lakukan adalah cerita ke Allah."

"Wah, beneran ngefans ini bocah sama abangnya..."

"Allah yang mahatahu isi hati kita, A..."

"Beneran sebelas-dua belas dih najong dah, kena tausyiah dadakan nih gue?"

"Bukan kitu atuh, A Hamas mah baperan," sela Fatima sambil tertawa-tawa. "Tapi kan sekalian ngobrol ya ngga apa-apa atuh nya, selingan..."

"Bokap lo pasti straight banget ye urusan agama?" kata Hamas lagi. "Ini berjilbab juga disuruh bokap ya?"

Fatima menggeleng, "Bukan atuh, A," katanya. "Tapi disuruh Allah. A Hamas juga shalat kan diperintah Allah? Bukan diperintah ayahnya?"

"I-iya sih," Hamas mengacak rambutnya sendiri. Meski seringnya dipaksa Saad gw mah, batin Hamas.

"Ini, A," Fatima menyerahkan seporsi kebab pada Hamas, yang langsung diterima Hamas dan membuka bungkusnya, memakannya dengan brutal. Dia melongo pada kunyahan pertama saat melihat Fatima memerhatikannya dengan takjub.

"Kok kaga dimakan?" Hamas merujuk pada kebab di tangan Fatima.

"Nanti, di rumah. Masa makan sambil berdiri? Kayak kambing..."

"Uhuk, uhuk!" Hamas terbatuk dan sibuk menguasai diri.

"Maaf, A, bukan maksud mau bilang A Hamas kayak kambing—eh, maksudnya... aduh kumaha ieu..."

"Gapapa. Gapapa," kata Hamas cepat. Dia bungkus lagi sisa kebab yang belum dimakan dan meminta Fatima untuk membawakannya di dalam plastik. "Kita ke Saad aja kuy."

Fatima berjalan sejajar dengan Hamas dan begitu heran kenapa banyak sekali orang memerhatikannya. Tapi wajahnya langsung semringah ketika melewati penjual tahu bulat.

"NISA!" panggil Fatima pada seorang gadis berhijab biru dongker. Dan yang dipanggil menoleh, ikut mengembangkan senyuman lebarnya.

"Eh, Ipat! Ke pasar malam juga? Tadi Nisa mau ajak Ipat tapi tidak enak hati sedang ada tamu," Nisa melirik Hamas dan melempar senyum sekilas. "Kamu jalan berduaan sama teman A Saad ya? Ih parah si Ipat! Bikin gosip nanti!" bisiknya gemas.

"Enak aja!" Fatima tak terima. "Ke sini dengan A Saad dan Kang Indra. Tuh, mereka di sana."

"A Indra ngapain ke sini? Tadi diajak katanya mau tidur! Sebel!" gerutu Nisa begitu melihat Indra mencoba satu kaus warna abu-abu.

"Yuk ke sana aja, Nis," ajak Ipat. Digandengnya lengan Nisa dan melangkah bersama menuju para kakak lelaki yang sedang sibuk memilih kaus.

"Ketemu Nisa, Pat?" tanya Saad begitu dilihatnya sang adik menghampiri.

"Iya, ternyata Nisa ke pasar malam duluan, A. Kirain tidur di rumah..."

"A Indra, kenapa Nisa teu diajak ke pasar malam? Jahat ih A Indra mah!"

[✓] HAMASSAAD Ukhayya HabibiWhere stories live. Discover now