Duapuluh Dua

2.2K 210 7
                                    

Sudah hampir sebulan lamanya, namun pria ini tidak kunjung menampakkan tanda-tanda kesadarannya. Yang mampu kulakukan hanya berdoa. Meminta pada Tuhan untuk memberinya kesempatan berjuang, sekalipun artinya aku harus menyerah.

Hidup Justin lebih berharga dari hidupku. Banyak orang yang akan merasa kehilangan kalau dia benar-benar pergi. Sedangkan tidak satupun orang yang akan peduli jika hal itu terjadi padaku. Aku tidak punya siapapun, ingat?

Aku menatap wajah pucat Justin sebentar sambil mengganti bunga mawar yang layu dengan yang baru. Dia benar-benar putih seperti kapas. Pipinya tirus, dihiasi luka lecet yang tidak kunjung mengering. Balutan perban di kepalanya semakin membuat dadaku nyeri.

Seharusnya aku yang berbaring di sana! Seharusnya aku saja. Karena memang, sebaiknya diriku yang terluka. Rasa sakitnya pasti tidaklah lebih sakit dari yang sekarang kurasakan.

Aku duduk kembali di kursiku. Kursi ini letaknya jauh dari ranjang Justin. Aku hanya... merasa enggan menduduki sofa yang tepat berada di samping ranjangnya. Jujur saja, aku baru tahu kalau Justin berasal dari keluarga terpandang. Beberapa hari yang lalu, orang tuanya datang kemari. Justin yang awalnya berada di kamar standar, sekarang berada di ruangan VVIP berkat permintaan orangtuanya. Roy bilang, kedua orang tua Justin terlalu sibuk, sehingga mereka lebih mempercayakan anaknya sendiri pada orang lain.

Ryan, Jack, Matthew dan yang lainnya sesekali datang menjenguk. Saat itu datang, aku tidak pernah berani menampakkan wajahku di hadapan mereka. Aku setia menunggu sampai mereka pergi, setelah itu, barulah aku berani menampakkan diri.

Rasa bersalah yang menghantui membuatku malu. Aku takut berhadapan dengan mereka. Akupun tidak tahu bagaimana aku harus bersikap di hadapan Justin nanti. Sanggupkah aku menahan diri untuk tidak memeluknya saat dia sadar nanti.

Suara ribut dari mesin pendetek jantung membuatku teralihkan dari lamunan. Aku bangkit dan menghampiri segera ranjang Justin. Menatap panik pada pria tersebut. Apa yang terjadi? Kenapa garis di monitor berjalan begitu cepat?

Aku baru saja hendak memencet tombol untuk memanggil dokter saat kudengar sebuah lenguhan samar.

Tanganku terulur dengan sendirinya menggenggam tangan dingin Justin. Kelopak matanya bergerak-gerak, tapi tidak kunjung terbuka.

"J-Just-Justin?" sebuah genggaman di tanganku mengerat, aku turut menggenggamnya lebih kuat dengan lembut.

Kuperhatikan wajahnya yang kian menampakkan raut berbeda.

"Justin," panggilku sekali lagi, "Justin aku di sini. Kau harus bangun! K-kau... kau harus balik menatapku. Justin..."

Mataku membulat saat kelopak mata itu perlahan terbuka, kemudian langsung menyipit. Aku menunggu dengan sabar, saat akhirnya lensa mata hitam dengan iris emas itu menatapku.

Cukup lama, hingga aku tidak sadar apakah waktu masih benar-benar berputar.

"Kayla."

Aku langsung tersedu. Kepala kutundukkan sambil membawa tangannya ke bibirku. Mengucap syukur pada Tuhan atas kehendaknya.

Kurasakan sebuah usapan di kepala, lantas aku kembali mendongak. Menatap Justin yang balas menatapku bingung.

Oh tidak! Kumohon jangan! Kemungkinan yang selama ini kupikirkan tidak akan terjadi, kan?

"Kali ini... kau tampak benar-benar nyata." Dia berbisik parau. Tangannya mengusap pipiku lembut, menghapus air mataku.

Aku tidak mampu berucap. Rasa bahagia yang membuncah di dada membuat lidahku kelu. Sekujur tubuhku merinding merasakan berjuta-juta volt kebahagiaan menyetrumku.

"Siapa kau sebenarnya?"

Pertanyaan itu... tidak mungkin Justin yang mengucapkannya, kan?

Aku tahu, aku tahu tidak banyak momen indah yang pernah kuukir bersamanya, tapi setiap detik yang kulewati bersama pria yang kucintai dengan tulus ini, adalah berharga. Mungkin baginya tidak begitu berharga. Mungkin juga itulah yang membuatku mudah untuk dilupakan.

Kutatap Justin dalam untuk beberapa saat, mencari sesuatu di kedalaman sana. Kemudian hatiku terasa mencelos begitu saja, tidak ada keraguan lagi. Lantas kusenyumi saja dia. Menutupi rasa sakit di dada.

***

HEART MILES (JB) ✔Where stories live. Discover now