Sebelas

2.2K 215 8
                                    

Aku sungguh tidak tahu apa yang sudah aku pikirkan saat kudapati diriku kini berjalan seorang diri di pinggiran jalan yang sepi. Remang-reman lampu jalan menerangi. Aku menangis semakin keras sehingga aku dapat mendengarnya sendiri. Bayang-bayang kejadian tadi berputar dengan jelas di kepalaku. Aku sungguh tidak mengira! Kukira dia tidak akan melakukannya setelah apa yang telah kita lakukan. Tunggu dulu, memangnya apa yang sudah aku dengannya lakukan? Sudah kubilang, aku bukan siapa-siapanya! Apakah dia lupa? Apa dia lupa aku juga berada di sana? Memberinya semangat sekaligus mengkhawatirkannya.

“Kayla!!!”

Aku diam. Diam mematung di tempatku setelah mendengar suara yang sangat familiar itu meneriaki namaku.

Setelah beberapa detik yang terasa seperti menit. Aku menoleh. Dugaanku benar! Justin berlari kearahku dan langsung memelukku.

Untuk sesaat aku terkejut. Tapi kehangatannya membalut dingin yang kurasakan sebelumnya. Rasa nyamanpun menjalariku. Aku tidak bisa menolak untuk tidak memejamkan mata untuk merasakan ini.

“Oh, Kayla! Aku sangat khawatir,” bisiknya di antara rambutku. Tanganku kuulurkan untuk membalas pelukannya, tapi sebelum itu terjadi, sekelebat potongan-potongan ingatan itu kembali menghempasku. Akupun tersadar dan mengurai pelukan Justin dengan sedikit kasar.

“Kayla?” aku merasakan tatapannya yang terasa membakarku. Tapi aku enggan membalas. Takut dia tahu apa yang kurasakan. “Kau seharusnya menungguku.” Dia kembali berucap, sedikit berbisik. Apa jika aku menunggu di sana dia akan tetap melakukannya? Karena tentu jika aku menunggu di tempatku seharusnya maka aku tidak akan melihat apa yang terjadi dengan mereka berdua. Oh aku sungguh menyesal telah mengikuti Matthew.

Aku tidak bisa berkata, dan memilih untuk berbalik. Hendak melanjutkan langkah, tapi dia menahanku.

“Kayla dengarkan aku dulu!”

“Aku ingin pulang Justin.” Aku menangis. Air mataku tidak lagi bisa kusembunyikan. Semuanya mengalir deras begitu saja. Dan aku membiarkannya.

Justin terdiam untuk beberapa saat. Aku tahu dia sedang menatapku.

“Kita akan pulang, tapi dengarkan aku dulu.” Nadanya berbicara sudah lebih biasa. Terkesan dingin, tapi juga lembut. Dan oh Sialan! Persetan dengan semua itu!

Aku diam tidak menjawab. Dan itu diambilnya sebagai jawaban ‘ya’.

”Lihat aku, Kay!” Akupun melihatnya. Aku selalu melihatnya. Menjadi orang pertama yang selalu memerhatikannya. Yang semua itu kulakukan tanpa henti dan bosan selama hampir lima tahun, tapi dia hanya tidak pernah menyadari. Tidakkah itu menyakitkan? Saat kini dia tahu aku sedang melihatnya. Membuat apa yang kulihat terasa lebih menyakitkan.

“Jawab aku, apa yang kau lihat di sana, hm?” dia bertanya dengan lembut. Membuatku tidak tega untuk marah padanya.

“Kau menjadi juara…”

“Lalu?”

“Teman-temanmu memberi semangat, dan…” aku tidak sanggup meneruskan kata-kataku. Akupun kembali menunduk.

“Damn it!” samar kudengar dia mengumpat. “Kau melihat semuanya!” pernyataannya tidak menggubrisku. “Katakan kau melihat semuanya, Kay!” dia meninggikan suaranya. Dan aku tidak mengerti kenapa dia menjadi marah seperti ini.

“Ya! Aku melihat semuanya, Justin!” aku selalu melihatmu bahkan di saat kau tidak menyadarinya. “Jadi kumohon… lepaskan aku. Aku benar-benar ingin pulang.” Aku berucap nada lirih dan pelan. Entah sejak kapan aku menjadi seperti ini. Tapi semua yang kulakukan saat ini terasa membaur dengan rasa sakit di hatiku.

Alih-alih melakukanya, Justin malah memelukku. Mengusap dengan lembut kepalaku. Mengaitkan jari jemarinya di sela rambutku. Dan akupun sudah benar-benar tidak bisa menahan. Aku menangis lagi, kali ini lebih lepas dari sebelumnya. Justin tidak mendorongku atau merasa jijik karena jaketnya basah karena air mataku. Samar dapat kudengar detak jantungnya yang berdetak cepat, tidak normal. Aku ingin tahu apa yang dirasakannya.

“Maaf.” Dia berbisik. “Aku terlalu senang sehingga melupakan keberadaanmu, dan kebiasaan lama susah dihilangkan,” lanjutnya. Percayalah! Ucapannya semakin membuatku sakit. Jadi, jika dia senang maka dia tidak akan mengingatku? Atau lebih gampangnya melupakanku. Dan dia akan terus melakukan itu karena sudah menjadi kebiasaannya?

Aku mengurai pelukannya. Air mata kuusap kasar dengan punggung tangan. Agar aku dapat melihatnya kembali dengan jelas.

“Justin, apa kau menyukaiku?”

***

P.S Sorry fot typo(s) and kegajeannya. Juga mungkin semakin membosankan dan tidak nge-feel sama sekali.

r e g a r d s,
Justin's Wifey

HEART MILES (JB) ✔Where stories live. Discover now