Limabelas

2.1K 192 2
                                    

Tidak satupun dari kami berniat untuk membuka percakapaan. Justin sibuk menyetir dan aku sibuk bergulat dengan pikiranku sendiri. Memikirkan banyak hal dan aku tidak tahu terfokus pada yang mana. Membuatku hanya terdiam membisu dengan tatapan kosong menatap keluar kaca jendela mobil ini yang terasa berhenti, saat kulihat ke depan mendapati lampu merah aku kembali menengadahkan kepalaku ke samping. Dipinggiran jalan kulihat segerombolan remaja yang tengah tertawa. Wajah mereka tampak berseri-seri. Jika boleh jujur aku tidak pernah melakukan hal semacam itu. Hangout di malam hari bersama teman-teman gadisku maupun pria. Aku lebih memilih menutup diri. Mereka menganggapku membosankan jadi aku tidak punya teman. Kecuali Carly. Tapi well, pada akhirnya dia juga pergi. Membosankan memang sudah menjadi sebagian dari diriku. Mereka tidak hanya menduga, itu semua kenyataan.

Justin berdehem pelan seraya kembali menjalankan mobilnya. Aku menoleh.

"Kau yakin baik-baik saja, Kay?" tanyanya melirik padaku sebentar.

Sebagai jawaban aku tersenyum sekalipun dia tidak melihatnya. "Ya," jawabku singkat kemudian menunduk.

Setelahnya, keheningan kembali membentang panjang. Apa ini hanya perasaanku saja atau Justin memang sengaja mengemudikan mobilnya dengan pelan? Karena sungguh, entah kenapa aku benar-benar ingin istirahat. Aku lelah dan juga besok aku harus bangun pagi-pagi untuk kembali bekerja.

Kurasakan kembali mobil ini yang berhenti. Tidak perlu menengadah aku tahu pasti lampu merah. Tapi saat kudengar suara pintu yang dibanting cukup keras membuatku sadar, dan mengok kekiri kekanan mendapati lingkungan yang sudah sangat aku hafal. Kulihat Justin berjalan memutar dan sampai di pintuku kemudian membukanya.

Aku tersenyum. "Terimakasih," gumamku padanya kemudian menurunkan kakiku yang hanya terbalut jeans dan boot. Kemudian Justin membanting pelan pintu mobilnya.

"Kayla." Dia menatapku cukup lama.

"Ya?" jawabku dengan nada biasa yang kubuat. Kuharap dia tidak menyadarinya.

"Maafkan aku," katanya kemudian melangkah satu langkah lebih mendekat. Dia menyelipkan rambutku yang sedikit berantakan ke belakang telingaku. Matanya kembali menelisik wajahku. Dia seakan ingin mengatakan sesuatu dan aku menunggu untuk itu. Tapi tidak ada apapun yang keluar dari mulutnya setelah itu. Kami saling menatap dalam keheningan untuk beberapa saat.

Menyadari sesuatu, aku kembali tersenyum. "Kau tidak perlu minta maaf," kataku.

"Kau membuatku tidak tega untuk melakukannya." Justin bergumam dengan senyum kecut. Kemudian ia sedikit maju ke depan untuk mencium keningku.

Tanpa kusadari, aku menghapus jarak yang tersisa dengan memeluk pinggang Justin. Wajahku berada di dadanya sehingga dapat kydengar dengan jelas suara detak jantung Justin yang menghentak-hentak seperti seseorang yang telah melakukan olahraga panjang.

"Tidak apa." Justin berucap lembut. Tangan kirinya berada di punggungku dan sebelahnya sedang mengusap rambutku yang terurai berantakan begitu saja.

Aku heran kenapa pria ini tidak mendorongku. Sudah sangat jelas air mataku akan membuat jaketnya kotor, basah, yang menjadi menjijikkan.

Alih-alih melakukan apa yang ada di benakku. Justin malah semakin mengeratkan pelukannya. Dagunya berada di puncak kepalaku dan matanya terpejam. Suara tangisanku terdengar bersamaan dengan detak jantungnya yang menggila.

"I'll let you go! I'll make you forget so I can do the same..."

***

HEART MILES (JB) ✔Where stories live. Discover now