Empatbelas

2.1K 191 3
                                    

Carly's calling...

Samar kulihat nama Carly tertera di layar ponselku. Dengan kesadaran yang belum kudapatkan seluruhnya, kugesekkan jariku ke layar benda canggih itu lantas mengangkat telepon dari Carly.

"Kayla?" suaranya terdengar lemah, dan bergetar. Apa dia bermimpi buruk lagi? Batinku.

"Ya, Carl?" jawabku masih setengah mengantuk.

"A-apa aku m-mengganggu tidurmu?" aku mengernyit bingung karena suaranya yang benar-benar lirih. Aku mengangkat kepalaku dan meraih kesadaranku sepenuhnya. Carly menangis, aku tahu itu, tapi aku tidak tahu kenapa.

"Carly kau baik-baik saja?" tanyaku khawatir. Dan selanjutnya, yang kudengar hanyalah hembusan napas berat. "Carly?" sekali lagi aku bertanya memastikannya masih di sana.

"Tidak, Kay." Alarm panik di dalam tubuhku berdering secara naluriah. Aku memasang telingaku baik-baik saat kudengar suara isakannya yang semakin menjadi.

"Oh Carly apa yang sebenarnya terjadi padamu?" tanyaku halus. "Apa kau kedatangan mimpi buruk lagi?" Carly memang selalu meneleponku saat ia bermimpi buruk. Tidak perduli jam berapapun saat itu. Dia hanya takut, dan butuh seseorang untuk menemaninya, tapi karena jarak di antara kami yang tidak mendukung maka alat teknologi komunikasi pun yang bertindak.

"Maafkan aku, Kayla."

"Minta maaf? Minta maaf untuk apa?" aku menghela napas sekali lagi. Bertanya-tanya, sebenarnya apa yang tengah gadis di seberang telepon ini pikirkan? Apa yang terjadi padanya? Apa dia baik-baik saja? "Carl, beritahu aku."

"Kayla." Kembali, suaranya bergetar.

"Ya, Carly."

"Oh ya Tuhan!" kudengar suara teriakan di sana. Apa? Apa baru saja aku mendengar teriakan frustasi dari seorang Carliona Roberts? Uh! Yang benar saja! Dia tidak pernah bereaksi seperti ini. Bahkan dalam mimpi buruknya yang terburukpun tidak pernah. Ini membuatku semakin gusar.

"Carly. kau baik-baik saja, kan?"

"A-aku... aku akan pergi ke Paris, Kay." Dia berucap dengan suara normalnya, tapi tidak berhasil menutupi kelirihannya.

"Paris? Tunggu, pada jam 2 dini hari seperti ini?!" tanpa kusadari suaraku berubah menjadi sebuah pekikan.

Sekalipun aku tidak melihatnya, tapi dapat kupastikan kali ini dia tengah mengangguk.

"Ada apa?"

"Grandma meninggal..." ada jeda dalam ucapannya yang membuatku memilih untuk menunggu sebelum menanggapi. "Ini sungguh sangat mendadak, Kayla. Tidak ada yang tahu akan batas kehidupan seseorang kan? Aku terkejut, Kay, sungguh! Seharusnya aku berangkat ke Paris dua jam yang lalu saat nenekku masih ada di dunia ini. Setidaknya aku dapat menemaninya untuk yang terakhir kali. Kau tahu kan aku paling dekat dengannya dibanding dengan kedua orang tuaku sendiri." Lalu kudengar suara isakan Carly lagi, membuat mataku ikut memanas. Aku ingin memeluknya saat ini, sungguh! Menemaninya dan menghiburnya.

Aku menatap lurus ke tembok putih di kamarku. "A-aku... aku turut berduka, Carl. Aku sungguh minta maaf."

"Kau tidak perlu minta maaf, Kay. Akulah yang seharusnya meminta maaf padamu karena harus memberitahu hal ini pada jam tengah malam seperti ini dan mengganggu tidurmu."

"Oh, Carly, kau tidak harus berkata seperti itu. We are best friend, oke! I'll always be there whenever you need me. Just like you do to me too." Aku tersenyum pada diriku sendiri. Dan kembali mengingat-ingat bahwa kata-kata yang kuucapkan barusan memang benar. Dia selalu ada kapanpun aku membutuhkannya. Dan akupun juga harus melakukan hal demikian padanya. Kita sahabat. Dan hal itu tidak perlu kupertegas lagi.

HEART MILES (JB) ✔Where stories live. Discover now