Duapuluh

2.2K 195 12
                                    

Aku sudah tidak lagi bekerja di tempat Dylan. Aku tidak pernah bertemu dengan Jen lagi setelah hari itu. Rasa bersalah yang tidak beralasan membuatku demikian.

Sudah tiga hari ini aku tidak keluar kemanapun. Aku seperti tertelan bumi saja. Toh, tidak akan ada yang peduli.

Keluarga? Mereka sudah lama hilang dari hidupku. Terakhir kudengar, Mom ada di Spain, menjadi koki di sana. Sedangkan Papa di Asia, merintis bisnisnya di sana, tapi entah di negara mana. Yang kutahu, hidup mereka baik-baik saja tanpa kehadiranku. Mom sudah punya keluarganya sendiri, aku yakin dia bahagia. Papa pun sama.

Aku tidak pernah menunggu mereka kembali. Yang kutunggu adalah kapan mereka melupakanku. Mom dan Papa masih sering mengirimiku uang untuk sehari-hari. Yang artinya, mereka masih ingat denganku. Sekuat apapun kucoba untuk tidak peduli, nyatanya aku sangat peduli. Aku sangat kesepian.

Kehadiran Carly benar-benar adalah segalanya. Tapi sekarang, dia pun pergi. Dan aku menunggu waktu di mana dia juga akan melupakanku, dan di mana aku tidak akan melupakannya. Aku tidak akan bisa melupakan mereka.

Justin pun seperti benar-benar menghilang. Tidak ada kabar lagi darinya.

Apa ini benar-benar berakhir?

Jika ya, aku ingin menemuinya untuk yang terakhir kali.

Bolehkah?

Untuk yang terakhir kali! Setelah ini, aku berjanji akan mengakhiri semuanya! Aku benar-benar akan pergi. Sungguh, aku tidak bermaksud bunuh diri. Aku hanya... ingin benar-benar pergi. Mungkin memulai hidup baru.

Yang sekarang... benar-benar berantakan. Tidak adakah yang lebih menyedihkan dari ini? Manusia itu adalah makhluk sosial. Manusia selalu hidup bedampingan. Tapi kenapa aku selalu sendiri?

*

Bangkit dari ranjang, aku segera meraih mantel di lemari. Tujuanku adalah Justin.

Saat membuka pintu apartemen, aku di sambut oleh sebuket mawar berwarna kuning yang sama. Tiga hari ini, mereka selalu ada di depan pintuku setiap pagi. Entah siapa pengirimnya. Tidak pernah ada catatan apapun.

Mungkin saja Justin, dan aku berharap ini memang dia. Tapi dugaanku lebih menjurus pada Dylan. Mawar kuning berarti perkataan maaf. Maaf entah karena apa dan pada siapa. Aku tahu aku memang terlalu percaya diri, tapi biarlah aku menerka, sebelum membiarkannya terkuak sendiri.

Kuambil bunga tersebut, dan membawanya ke meja makan. Bunga yang sebelumnya kuganti dengan yang baru dan yang lama tidak kubuang. Kusimpan di samping vas.

Setelah itu, aku keluar dari apartemen. Keputusanku bulat untuk menemuinya.

Untuk yang terakhir kali.

***

Aku sampai di tempat di mana Justin biasa berkumpul dengan teman-temannya. Tempat ini adalah sebuah lapangan basket yang kecil. Tidak banyak yang tahu karena tempatnya diapit oleh gedung-gedung tinggi. Justin biasa berlatih basket ataupun skateboard di sini.

Aku bersembunyi di balik tembok, tempatku yang biasa. Dari sini, aku memang tidak terlalu mendapatkan penglihatan ke arah lapangan basket seperti yang kuinginkan. Jadi aku melangkah lebih dekat, mencoba mengenali figur Justin di antara lelaki yang lain. Tapi tidak satupun dari mereka yang kukenal. Bahkan teman-teman Justin yang biasa kulihat sekalipun.

"Hey!" aku terlonjak kaget, menoleh ke belakang, kulihat seorang lelaki dengan tubuh shirtless menatap ke arahku. Pelipisnya dibanjiri keringat, begitupun tubuhnya yang tanpa sengaja kulihat. Aku langsung mengangkat wajahku, fokus pada mata lelaki ini.

"Kau mencari Justin?" ekspresinya sungguh tidak terbaca. Dia menatapku dalam tepat di mata, membuatku sedikit risi ditatap seperti itu.

Aku mengangguk pelan.

"Dia tidak lagi di sini," katanya. Aku balas menatapnya bingung.

"Apa maksudmu?"

"Kayla..., kau menghancurkannya." Pria itu berbisik tajam. Ada kemarahan yang tersirat di matanya, membuatku semakin bingung saja.

Sebenarnya, apa yang terjadi? Apa maksud kedatangan dan perkataan pria ini?

"Apa terjadi sesuatu pada Justin?" tanyaku. Pria di depanku pasti menangkap kecemasan yang tersirat. Aku pun tidak tahu kenapa aku menjadi begitu takut untuk alasan yang belum pasti.

Dengan sekali anggukan, dia menarik tanganku dan membawaku pergi. Aku tidak meronta, aku tidak berpikir untuk melakukannya. Pasti terjadi sesuatu pada Justin, dan pria ini pasti tahu.

***

Tubuhku melemas. Lututku tidak lagi mampu menopangnya, hingga aku terjatuh di lantai, bersamaan dengan air mata yang mengalir begitu saja. Aku terdiam untuk beberapa saat, tubuhku bergetar setelah melihatnya. Jantungku serasa diremas-remas tangan semu, meronta meminta lepas dari belenggu rusuk. Aku menatap lantai pilu.

Ini semua pasti mimpi!

Yang terbaring kaku di sana,... bukanlah Justin!

***

HEART MILES (JB) ✔Where stories live. Discover now