Delapan

2.5K 204 0
                                    

Semalam adalah sempurna. Aku tidak bisa menepis semua bayang-bayang itu dari benakku hingga pagi menyingsing semuanya masih berputar dengan jelas. Carly tidak tahu akan hal ini. Dan aku sangat bersemangat untuk memberitahunya nanti.

Suara air mendidih di cerek membuyarkan semua lamunanku. Lantas akupun beranjak dari sofa menuju dapur dan mematikan kompor, kemudian menyeduh segelas teh di dalam cangkir. Susu di pagi hari memang selalu lebih bagus dari teh, tapi aku tidak begitu menyukai susu terlebih dengan aromanya yang sangat menyengat dan membuatku mual.

Aku membawa cangkirku dan selembar roti panggang ke ruang tamu. Memakannya sambil menikmati acara pagi di televisi.

Ponselku berdering. Aku meraih benda pintar itu di atas meja dan menyentuh tombol hujau di layarnya. Suara Carly yang mengucapkan selamat pagi langsung menginterupsi dari segalanya yang kudengar. Oh haruskah dia berteriak seperti itu? Tapi tidak lama, keantusiasan Carly langsung menular padaku. Kita tidak membicarakan banyak hal, kecuali rasa penasaran tentang apa yang terjadi padaku dan Justin semalam.

“Oh tidak tidak! Kayla, aku akan segera kesana dengan kecepatan penuh dan kau harus berjanji akan menceritakan semuanya secara detail! Kau mengerti?” aku sempat heran kenapa Carly sangat antusias dengan hal apapun yang menyangkut tentang diriku dan Justin. Dia adalah orang yang penuh dengan rasa penasaran. Aku tidak bisa membantunya akan hal itu. Tapi jujur, aku sangat bersyukur mempunyai sahabat seperti Carly. Dia adalah orang ketiga yang dari daftar orang yang kucintai. Pertama ibuku, kedua ayahku, ketiga Carly dan keempat Justin.

Bel apartemenku berbunyi, dengan sangat antusias aku meloncat dari sofa dan sedikit berlari menuju pintu.

“Carly!!!”

Pekikan dan suaraku menghilang begitu saja. Aku mengedip beberapa kali untuk memastikan bahwa apa yang kulihat adalah nyata. Justin berdiri di hadapanku dengan senyumannya yang selalu membuatku jatuh.

“Justin?” aku berbisik pada diriku sendiri.

“Ya, kenapa? Apa kau mengharapkan orang lain?” seketika itu juga senyuman di bibirnya menghilang membuatku mengutuk diriku sendiri dalam hati. Lantas akupun menggeleng cepat.

“Tidak, masuklah.” Dia masuk kedalam dan langsung menuju sofa di ruang tamu. Tanpa kusuruh pun dia sudah duduk di sana dengan memegang remot dan mengganti saluran televisi yang sedang menyala.

Aku tidak bisa berkomentar apapun karenanya. “Ingin minum sesuatu?”

“Ya. Sangat kebetulan aku sedang haus.” Jawabannya membuatku tersenyum. Tersenyum pada diriku sendiri yang sungguh tidak bisa kupercaya aku dapat melakukan hal seperti ini kepada Justin.

Aku kembali ke ruang tamu dan menemukan Justin masih duduk di sana sembari memerhatikanku berjalan ke arahnya. Aku sungguh tidak bisa menyembunyikan pipiku yang memerah karenanya.

“Ini, minumlah.” Aku manaruh gelas panjang berisikan air putih itu ke meja di depannya.

Justin menatap gelasnya, kemudian kembali beralih menatapku membuatku membalas tatapannya dengan tatapan seakan bertanya ‘apa?’

“Really? Just water?”  dia tampak tidak percaya.

“Ya,” jawabku sedikit ragu. Karena sungguh, apa yang sebenarnya pria ini hendak katakan?

Dia menggeram, kemudian berdiri dari tempatnya membuatku sedikit panik. “Aku benar-benar haus di sini, Kayla. Dan segelas air putih tidak akan cukup. Apa kau punya vodka? Bir?”

Aku memerhatikan Justin yang berjalan ke dapur dan membuka kulkasku. Menatap ke dalamnya beberapa saat kemudian beralih padaku lagi. “Tidak ada?” tanyanya.

Oh siapa dia pikir dirinya disini? Terakhir kali ku cek ini adalah asli apartemenku. Tapi untuk Justin, kupikir tidak apa. Tanpa menunggunya berkomentar lagi akupun segera berlari kekamar dan meraih mantel cokelatku kemudian memakainya. Aku membawa serta dompet dan ponselku saat aku keluar dari kamar. Memakai sepatu dengan sedikit terburu-buru.  Dan mengabaikan pandangan Justin yang kurasa terus menempel padaku.

“Apa yang kau lakukan?” Justin mendekatiku dengan gelas berisikan air putih ditangannya.

“Memakai sepatu?” aku kembali bertanya karena sungguh, tidakkah sudah sangat jelas di sini kalau aku sedang mencoba untuk memasang sepatuku yang entah sejak kapan menjadi sangat sesak.

“Aku tidak bodoh, Kayla.”

“Apa maksudmu?” aku bertanya setelah akhirnya berhasil memasang sempurna sepatuku.

“Kau tahu apa maksudku.” Justin maju beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Dan kini kami hanya berjarak beberapa inci. Oh aku akan berdoa semoga kejadian malam itu tidak terjadi lagi. Di sini. Di apartemenku. Ini benar-benar berbahaya.

Saat kurasakan napasnya yang dingin menyapu wajahku. Akupun tersadar. “Kau haus kan? Aku akan segera kembali,” kataku cepat. Berpaling darinya kemudian berjalan dengan tergesa menuju pintu. “Tunggu aku! Oke?!”  dan setelahnya aku benar-benar berada di luar apartemenku dengan Justin yang-entahlah – sejak kapan aku membiarkan orang asing berada seorang diri di dalam apartemenku?

Saat aku hendak berbalik saat itupun aku kembali tersadar. Justin, bukanlah orang asing. Dia adalah pria yang telah kukenal selama hampir lima tahun. Dan… ya! Dia bukan orang asing!

***

HEART MILES (JB) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang