Sembilan

2.3K 208 2
                                    

Akupun sampai pada sebuah toko yang terletak tidak terlalu jauh dari apartemenku. Dengan tergesa, aku masuk ke dalamnya dan langsung menuju lemari pendingin minuman.

“Vodka vodka vodka…” hanya untuk mengingat apa yang harus kubeli. Karena sungguh, Justin ada di apartemenku saat ini, menungguku kembali.

Menungguku kembali? Oh tunggu!

Aku kembali berdiri tegak. Berpikir akan hal itu membuatku merasa… entahlah. Seperti memiliki hubungan lebih dari sekedar seorang yang yang saling mengenal mungkin. Ini adalah hal yang telah aku impikan sejak pertama kali kusadari aku menyukainya. Tapi bukan berarti ini baru pertama kali aku membelikannya sekaleng vodka. Telah kulakukan sebelumnya saat  kita masih di Senior High School. Sering malah. Oh dia sangat tampan saat itu, sekalipun berkeringat.

Aku mengambil lima kaleng vodka yang kini memenuhi kendali kedua tanganku membuatku harus menutup lemari pendinginnya dengan lutut. Aku berbalik dan mendapati diriku membeku dengan terkejut. Mata hazel Justin menatap kearahku entah sejak kapan dia berada di sana, tepat di belakangku.

Dia mengambil tiga kaleng vodka di tangan kananku dan menggeserku untuk mengembalikan ketiganya kedalam lemari pendingin. Raut wajahnya dingin dan aku bisa menebak dia sedang kesal.

“Justin seharusnya kau menungguku,” kataku sambil mengikuti langkahnya di belakang menuju meja kasir. Dia diam tidak menjawab pertanyaanku. Kemudian dia merogoh saku celananya, tapi aku segera menahannya. “Biar aku yang bayar,” kataku cepat, tapi lagi-lagi tidak dihiraukan.

Aku berjalan di trotoar, dengan Justin di sampingku. Juga kecanggungan yang menyelimuti kami. Ah kurasa hanya aku yang merasa canggung di sini.

“Berhentilah bersikap bodoh.” Suaranya yang akhirnya kudengar langsung membuatku menoleh padanya. Dia tidak menatapku melainkah ke sesuatu di depannya.

“Aku tidak bersikap bodoh,” belaku pada diri sendiri. Karena hey! Siapa yang bersikap bodoh disini? Dia atau aku? Karena sudah sangat jelas aku menyuruhnya menunggu dan dia tidak melakukannya? Tunggu! Aku tidak boleh mengatai Justin bodoh! Tidak akan pernah. Dia tidak pernah bersikap bodoh! Jadi pastilah diriku.

“Ya, kau baru saja melakukannya. Masih selalu sama seperti dulu.”

“Maaf?” ucapannya sontak membuatku menoleh dengan tanda tanya di benakku. ‘Masih sama seperti dulu?’ oh kejutan apa lagi ini!

“Kau bertindak seolah aku tidak tahu siapa kau sebelumnya.” Dia menoleh padaku dengan senyuman di bibirnya.

“Memangnya kau tahu?” tanyaku.

“Gadis kutu buku yang sama yang memberiku minuman setiap sehabis latihan.”

Ya Tuhan! Bagaimana dia bisa tahu?! Aku bahkan tidak berpikir dia akan mengingatnya karena sudah sangat lama! Dua tahun yang lalu mungkin.

“Kau mengingatnya,” pernyataanku sendiri membuatku tersipu malu. Aku menunduk untuk menyembunyikan wajahku yang memerah. Menatap pada kaleng yang sedang kupegang erat dengan kedua tanganku.

“Bagaimana aku bisa lupa saat kau melakukannya setiap hari,” sahutnya semakin membuatku memanas. Oh jika saja aku tahu sejak dulu mungkin aku tidak perlu menunggunya selama ini.

“Jadi… apa dulu kau tahu namaku?” kali ini aku berani mendongak dengan senyum harap yang menghiasi wajahku seperti orang bodoh.

“Tidak.” Sontak aku kembali cemberut setelah mendengar jawabannya. Dia tersenyum, tapi tidak menatap kearahku. “Aku tidak pandai mengingat nama seseorang jika aku tidak tertarik kepadanya.”

Seharusnya aku kesal. Tapi alih-alih merasa seperti itu, aku malah tersenyum girang. Yang dulu tidak penting. Dia mengingat namaku sekarang yang artinya dia tertarik padaku sekarang.

“Jangan senyum-senyum seperti itu.”

“Aku tidak bisa untuk tidak selalu tersenyum berada di sekitarmu.” Justin langsung menghentikan langkahnya saat aku selesai berbicara. Dia menatapku dengan tatapan yang sulit kumengerti. Seakan tengah mencari-cari kebohongan di mataku, tapi aku jujur dan tulus mengatakannya. Tidakkah itu terpancar jelas?

“Sebegitu sukanya kah kau padaku?” Justin masih menatapku.

Aku memberengut karena pertanyaannya. Aku tidak hanya menyukaimu! Aku mencintaimu! Batinku berteriak frustasi. Tapi kemudian, dengan yakin aku mengangguk. Apa aku salah saat melihat reaksi Justin barusan yang seakan… entahlah. Sedikit terkejut mungkin. Dia diam untuk beberapa detik lamanya kemudian mengalihkan pandangannya dan kembali melangkah.

Hening menginterupsi di antara kami walau sebenarnya bising kendaraan dan pejalan kaki lainnya lebih menginterupsi. Justin meminum vodkanya. Cairan yang mengalir ke tenggorokannya itu membuat jakunnya bergerak meneguk. Oh dia benar-benar seksi. Dan aku tidak bisa untuk tidak memujanya seperti itu setiap hari.

Gedung apartemen tempatku tinggal sudah terlihat di ujung jalan. Aku perhatikan Justin yang tampak tidak ada tanda-tanda untuk memulai pembicaraan. Kenapa jadi seperti ini?! Aku hendak bertanya sesuatu yang sedari tadi ingin kutanyakan dan hampir kulupakan.

“Justin… ngomong-ngomong, kau tidak datang menemuiku hanya untuk menghilangkan rasa hausmu, kan?” aku bertanya dengan pelan dan hati-hati. Takut dia akan tersinggung.

Dia terkekeh, “Tentu tidak, Kay. Aku datang untuk mengajakmu menonton adu balap malam ini, kau mau, kan?”

Dengan cepat akupun mengagguk yakin. “Ya, aku akan datang.” Justin tersenyum padaku dan aku bersumpah akan membayar berapapun untuk mengabadikan senyuman itu.

“Baiklah, aku akan jemput kau malam ini,”

Tanpa kusadari, kita telah sampai di halaman depan gedung apartemen. Dalam hati aku berharap dia akan tinggal, “Apa kau akan tinggal?”

“Tidak, ada sesuatu yang harus aku urus.” Justin kembali tersenyum.

“Sesuatu seperti apa?” oh aku sungguh sangat tidak rela jika dia pergi secepat ini.

“Sesuatu yang berurusan dengan adu balap nanti malam.”

Oh! “Baiklah, kurasa sudah saatnya kau pergi,” kataku yang sebenarnya tidak kulakukan dengan sungguh-sungguh, tapi berhasil membuat raut Justin berubah sedih (?) cemberut (?).

“Tega sekali. Kau mengusirku?” dia berkata dengan humor. Pura-pura memasang raut sedih.

Aku terkekeh karenanya, “Percayalah Justin aku sangat ingin menyeretmu ke dalam saat ini dan menyiapkanmu makan malam, dan…” aku berhenti, tidak tahu apa yang harus kukatakan lagi. Tapi saat aku melihat seringaian Justin aku langsung bisa menduga pikirannya.

“Dan…?” sahutnya, semakin menggodaku dan semakin membuat wajahku memanas karena malu.

“Tidak ada! Pulanglah!” sahutku cepat dan berbalik meninggalkannya masuk ke dalam gedung apartemenku. Saat mendengar deru motor melaju kencang akupun tahu Justin sudah benar-benar pergi. Dan sekalipun begitu, dengan bodohnya senyuman di bibir ini terasa permanen.

***

HEART MILES (JB) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang