Duapuluh Satu

2.2K 204 3
                                    

Sampai kapan aku akan menunggu? Rasanya sungguh melelahkan menunggu dalam ketidakpastian. Tidakkah dia mengerti? Aku sakit di sini. Aku bahkan siap menggadaikan hidupku untuk berada di posisinya sekarang.

Ini belum berakhir. Lalu kapan? Kapan semua penderitaan ini berakhir?

Aku lelah menunggu. Aku lelah berharap

Rumah yang tidak pernah kumiliki, dan selalu kurindukan. Aku ingin pulang. Pulang padanya.

Iris emas yang kurindukan sudah lama hilang. Aku tidak bisa melihat pantulanku pada tatapan siapapun selain dirinya. Aku menatapnya terlalu dalam, hingga aku terjerat padanya. Dan sekarang, aku merindukannya. Kapan aku bisa melihatnya lagi, akupun tidak tahu. Semua ini masih terasa semu.

Justin ada di sini, tapi jiwanya entah ada di mana. Dia tidak kunjung membuka mata. Hanya dentingan alat-alat medis yang menopang kehidupannya yang hanya mampu kudengar. Justin pasti benci dalam keadaan seperti ini. Dia pasti merasakan sakitnya.

"Justin..." lirihku, "maafkan aku. Aku tidak mau tahu kebenarannya, karena apapun itu, sakit sekalipun, aku akan selalu di sini. Mencintaimu dengan segenap jiwa, menunggu kedatanganmu. Semustahil apapun itu, aku tidak akan berhenti berharap padamu.

"Maafkan aku karena pernah berpikir meninggalkanmu. Sesungguhnya aku tidak mau pergi, dan aku tidak mau ditinggalkan lagi. Jadi kumohon,... bangunlah. Aku tahu kau kuat, aku tahu kau bisa melakukannya. Kumohon Justin... bangunlah. Kumohon hilangkan kesengsaraan yang sekarang membelengguku. Aku mencintaimu... dan kau adalah satu-satunya. Jika aku menyusahkanmu lagi, jika memang benar aku adalah penyebab kau seperti ini, aku berjanji padamu, saat kau bangun nanti, akan kupastikan untuk menjauh sejauh mungkin darimu. Aku berjanji tidak akan membebanimu lagi. Aku janji... aku janji untuk pergi, jika memang itulah yang kau inginkan. Tapi untuk sekarang, Justin, kumohon bangunlah. Kau tidak akan pernah tahu seberharga apa hidupmu untuk orang-orang di sekitarmu." Aku menutup mata, mereda tangis sekalipun sia-sia. Kugenggam tangannya yang sedingin es dengan erat. Kuelus dan kucium dengan segenap cinta. Aku merindukan pria ini. Tidak adakah yang bisa kulakukan untuk membuatnya kembali seperti sedia kala?

Aku mencintainya, aku benar-benar mencintainya. Ingin kupeluk dan kucium dia sebelum kenyataan membawaku pada kepahitan yang sebenarnya. Padahal dia begitu dekat, tapi kenapa aku masih tidak bisa menggapainya?

Roy bilang (pria yang kutemui di lapangan basket empat hari yang lalu), Justin seperti ini karenaku.

Aku tidak tahu apa maksudnya. Bagaimana bisa semua ini karenaku? Aku bahkan tidak melakukan apapun. Apa mencintainya adalah sebuah kesalahan? Jika memang ya, maafkan aku, rasa ini tidak bisa kuhapus begitu saja, sekeras apapun kucoba.

Justin mengalami kecelakaan, di malam terakhir aku menemuinya. Roy bilang, saat itu luka Justin tidak begitu parah hingga dia dibolehkan pulang. Namun entah bagaimana jadinya, Justin tidak pulang selama berhari-hari setelah itu, dia hilang seperti ditelan bumi. Kemudian seminggu yang lalu, Justin menemui Roy. Roy tidak mau memberitahuku maksudnya, yang pasti, itu tentang diriku. Dan di malam yang sama, Justin mengalami kecelakaan lagi. Membuka luka lama, dan yang terparah adalah cedera di kepalanya.

Aku tidak mau memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi saat dia bangun nanti. Aku tidak pernah kuasa menahan tangis, tubuhku bergetar hebat setiap kali menerka-nerka.

Aku takut.

Duniaku seakan kosong seiring dengan dirinya yang juga tidak di sini. Sedang berjuang dalam hidup dan mati.

Justin akan bangun! Aku siap, akan selalu siap dengan resikonya. Toh, aku tidaklah begitu berarti dalam hidup Justin, kan? Kurasa, kali ini, aku lagi yang akan tersakiti... sendiri.

***

HEART MILES (JB) ✔Where stories live. Discover now