Terbiasa

3.2K 371 1
                                    

Rama membantu membersihkan bulu-bulu yang menempel di baju dan celanaku sambil terkekeh kecil. Aku mendengus kesal sekaligus tersipu.

“Makasih loh Ram udah ngenalin aku ke Boy” ucapanku bernada sindiran. Ia terkekeh pelan.

“Disedot pake vacuum cleaner kali ya”

“MAKASIH” aku memukul lengannya. Ia terkekeh lagi. Daritadi belum ada tanda-tanda kehidupan lain selain Boy. “Eh…lagi gak ada siapa-siapa di rumah ya Ram?”

“Hah? Eh iya ya” katanya enteng sambil melihat ke sekeliling ruangan.

“Jangan-jangan dimakan sama Boy” celetukku konyol.

“Iya kali ya, Booyyy!!” Rama memanggil Boy dengan ekspresi datar.

“JANGAN DIPANGGIL LAGI!!” aku memukuli tangannya.

“Hehehe enggak kok, lagi pada pergi kayanya. Yuk ke dalem” ia menarik tanganku menuju entah kemana. Rumahnya bagai istana. Kami melewati Boy yang menonton kami berjalan dibalik pagar yang membatasinya. Sebetulnya ia bisa melompatinya kalau mau, tapi ia hanya duduk sambil memperhatikan kami dengan lidah menjulur.

Ia membawaku masuk ke sebuah ruangan. Aku tak bisa menahan rasa takjubku ketika ia membuka pintu. Bagaimana tidak, ruangan itu berisi berbagai macam alat musik. Aku melihat sebuah piano di ujung ruangan, berbagai macam gitar klasik dan elektrik yang terpajang rapi di samping piano itu. Ketika aku menoleh ke kiri, ada 3 buah biola berwarna putih, hitam, dan warna standar tergantung di dinding. Masih belum cukup, di sudut ruangan lainnya ada sebuah cello, contrabass, dan bass elektrik biasa bersandar dengan manisnya.

Aku memandang Rama yang terlihat biasa saja, tidak meresponku yang sangat terkesima dengan isi ruangan ini.

“Ayo masuk” Rama langsung duduk di atas sebuah sofa hitam dimana terdapat 3 biola tergantung di atasnya. Ia melepaskan case biola yang dibawanya dan meletakkannya di sampingnya.

“Ini punya lu semua Ram?? Astaga..” aku menggelengkan kepala dan duduk di sebelahnya.

“Itu cinta pertama gua, tapi entah kenapa sekarang lebih seneng sama yang sering gua bawa-bawa” katanya sambil menunjuk biola hitam yang tergantung tepat di atas kami. Ragam bahasa kami sepertinya kembali menjadi lo-gua.

“Astaga….” aku masih tak bisa berkata-kata. Rama tersenyum.

“Yah ini keluargaku, paling gak yang kuanggep keluarga…. ” katanya lirih. Aku tersenyum, memegang tangannya dengan lembut. Aku kehabisan kata-kataku, seolah surut entah kemana. Jantungku berdetak lebih kencang lagi ketika ia menyunggingkan senyum hangatnya saat mata kami bertemu.

Shit man gua mesti ngapain ini, rutukku merasa terjebak di dalam keheningan ini. Rama mengeluarkan biolanya, dan memainkan sebuah lagu yang tidak aku tahu namun terdengar….romantis… Apakah ini cara Rama menyampaikan apa yang ada di hati dan pikirannya? Aku hanyut ke dalam permainan biolanya, yang seakan menjadi pengganti segala ucap yang ingin dituturkan oleh Rama. Tanganku bergerak sendiri, mengambil handphoneku dan mem-videokan permainan Rama. Walau matanya terpejam ia tahu kalau permainannya sedang diabadikan, ia tersenyum. Senyum paling tulus yang pernah kulihat.

“Ram….” hanya itu yang terucap dari mulutku ketika ia berhenti bermain. Aku seperti melihat Rama yang baru, dengan penampilan barunya dan sikapnya yang tiba-tiba berubah seharian ini. Ia tersenyum lagi.

“Jangan dimasukin ke instagram dulu, entar ini rambut kena spoiler lagi ” katanya enteng seperti biasa, tapi ada sesuatu yang mebuatku tak bisa mengalikan pandanganku.

Aku mendekatinya perlahan, rasanya aku sedang berada di bawah kendali suatu kuasa yang tak kuketahui. Ia diam. Ketika aku memeluk tubuh kurusnya dan membenamkan kepalaku di lehernya ia tetap terdiam. Tidak membalas pelukanku atau yang lain juga. Nyaman. Rasanya aku tidak mau melepas pelukanku.

“Kamu ngantuk Ka?” tanyanya lembut, aku sengaja tidak menjawab, membiarkannya untuk tetap berpikir begitu. Selama ini aku selalu mengagumi seseorang tanpa memandang gender. Aku tidak peduli dengan orientasiku. Tapi terkadang masih ada perasaan bersalah ketika aku mengagumi seorang perempuan…seperti Rama contohnya.

Tapi jantungku tidak bisa berbohong, terbukti ia berdetak semakin cepat sekaligus membuatku merasakan hal-hal aneh lainnya seperti darahku yang mengalir lebih cepat, syarafku yang melemah, dan kurasa ada sesuatu yang bergejolak di perutku. Aku tak peduli. Rama mengusap punggungku perlahan seperti takut untuk melakukannya. Sepertinya ini pertama kali untuknya ada seseorang yang memeluk dan bersandar padanya dalam waktu yang cukup lama. Aku yakin kamu akan terbiasa Ram…

PhileoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang