6. Latihan Pertama

4.8K 424 7
                                    

Kupegang kertas teks puisiku; kisah rindu seorang anak akan ayahnya. Tiap kata rindu terdiksi dengan indah tapi lugu dalam tiap bait-baitnya. Buah karya Evi si seksi sibuk Seratan. Aku menyukai puisi, karena tak hanya memaksamu untuk mengasah olah rasa untuk memahaminya, tapi juga seolah mengajakmu menyelami dunia alam pikir si penulis. Seperti dengan cepat aku memahami kalau pada masa kecilnya Evi menghabiskan banyak malam menanti sang ayah pulang dari tugasnya sebagai tentara dan meninabobokannya. Sedikit banyak, puisi merupakan cerminan hati si penulisnya.

Sejujurnya, aku jarang membuat puisi, malah hampir tidak pernah. Aku tidak pernah menganggap diriku pintar dalam memilih kata atau menyamarkan sesuatu dalam bait-bait kata.

Merangkai kata bukan keahlianku, yang anehnya sulit dipercaya oleh orang-orang.

Mungkin memang aneh. Banyak yang memuji caraku mendeklamasi. Begitu menghayati dan sangat mendalam kata mereka. Kata-kata tak hanya terucap oleh bibir tapi juga terucap oleh gerak tubuhku.

Lagi-lagi, itu kata orang.

Aku hanya membiarkan tubuhku bergerak mengikuti getaran kata yang diciptakan oleh hatiku. Mengikuti arus membawa. Meski sebenarnya, aku tidak sebaik yang aku pikirkan, aku tidak sebaik yang orang-orang katakan.

Di dalam markas berukuran 5 x 7 m ini kami berkumpul. Hanya ada sedikit barang di ruangan ini. Seperti si lemari reyot yang untungnya masih kuat untuk menyimpan repetoar musikalisasi dan bundelan puisi, beberapa dus berisi properti, dan 1 meja serta beberapa kursi. Duduk lesehan di lantai yang beralaskan karpet yang sudah mulai usang menjadi keseharian kami di sini.

Kak Gino terliihat sedang berbincang dengan Rama, masalah teknis sepertinya. Sedangkan bersama Sarah dan Asri, kami sedang menyiapkan lembaran puisi kami masing-masing. Tak lama bang David, gitaris cabutan Seratan datang dengan muka mengantuknya, selalu. Di sudut lain ruangan ada laskar Pajang, para lelaki pembuat properti, yang sedang membuat gapura dari gabus.

Semuanya sibuk, pasti.

Bulan depan kami akan mengadakan pagelaran berjudul "Mengelilingi Dunia dalam Kata". Tiap dari kami akan mendeklamasikan puisi dengan ciri khas daerah atau negara tertentu. Aku sendiri membawakan puisi bernuansa Jawa, karena secara lengkapnya puisiku bercerita tentang seorang anak yang rindu ayahnya padahal ayahnya diculik oleh para koloni Belanda karena merupakan antek-antek Kraton. Asri membawakan puisi bernuansa Tionghoa, sedangkan Sarah membawakan puisi bernuansa Latin. Sedikit iri rasanya dengan Sarah, aku pasti akan senang kalau bisa mendeklamasikan puisi sambil memakai rok rumbai dan bolero ala penari flamenco.

"Yaudah, dicoba ya." kak Gino bangkit berdiri. Deklamator yang lain belum ada yang terlihat batang hidungnya sedangkan kemarin kami sudah sepakat untuk mulai latihan kalau semura orang sudah lengkap. Tapi tidak lucu juga kalau jadi banyak waktu terbuang karena harus menunggu orang-orang yang bahkan tidak berkabar.

"Lu ambil dari mana?" bang David bertanya pada Rama sambil memegang gitarnya, ambil nada dasar mungkin, tidak mungkin mengambil komputer kan?

" Ehmm...boleh liat puisinya dulu gak? " Rama mengambil lembaran puisi kak Gino, membacanya secara cepat dengan raut muka serius.

"Nuansanya arab-arab gitu deh, bisa gak?" tanya kak Gino, yang tapi lebih seperti meminta.

"Oke...gua coba ambil ujungnya. Bang, lu main ambience aja apa gimana?" Rama balik bertanya pada bang David sembari mengambil biolanya.

"Yaudah coba dulu deh." bang David mulai memetik gitarnya . Kak Gino berdiri tegak, mengambil nafas dan memejamkan mata.

"AKU HADIRKAN PUISI TENTANG CINTA DAN LUKA MASA LALU!!" hampir semua orang kaget, bukan karena suara kak Gino yang lantang dan menggetarkan ruangan, tapi karena alunan biola Rama yang seolah menyambar suara kak Gino dengan suara yang tak kalah tebal, tak kalah kuat.

Sarah dan Asri bahkan sampai menganga melihat permainan Rama yang mengimbangi kegarangan penghayatan kak Gino, mungkin aku juga. Bahkan bang David ikut terbawa suasana, terbukti petikan dan genjrengannya semakin menjadi. Rama mengisi sela-sela kosong kak Gino dengan scale-scale arab yang membuat seisi ruangan seolah pindah ke negara timur tengah, penuh dengan nada dan kata yang bergetar menggeber gendang telinga.

"Demikian lah, demikian lah..." kata-kata terakhir kak Gino kembali disambut dengan gesekan biola yang padat namun cepat dan genjrengan gitar yang kuat selama 4 ketukan lalu akhirnya berhenti bersamaan seolah mereka telah sering berlatih bersama sebelumnya.

"ANJING GILA LU RAM!!! Hahaha!" bang David mengajak Rama tos, begitu pula kak Gino. Semua orang yang di ruangan bertepuk tangan riuh setelah menghentikan kegiatan masing-masing sebelumnya. Semua orang terpesona dengan kolaborasi dadakan barusan.

"Gilaa semangat banget gua rasanya kebawa sama pancingan lu Ram!!" kak Gino menepuk-nepuk pundak Rama yang juga sedang tertawa.

"Cuma tadi ada pancingan gua yang gak berhasil bang, nih, yang bait ini enaknya agak turun dikit. Baru pas bagian ini naik lagi." Rama menunjuk baris-baris puisi pada kertas yang dipegang kak Gino.

Kak Gino tampak senang, kemudian meminta Rama untuk main polos saja di bagian depan, mulai bagian tertentu baru diisi dengan scale-scale arab. Aku tertegun, Rama yang selalu bersikap bagai orang mabuk dan berdandan ala berandalan tiba-tiba menjadi sangat serius dengan pembawaan yang tenang.

"Yaudah, Ka lanjut elu Ka."

"Hah? Aku kak??" kataku terkejut sambil menunjuk diriku sendiri.

"Iyee, udah buru." dengan ragu aku berdiri, Sarah dan Asri terlihat menyemangatiku. Setelah melihat kak Gino tadi, aku yakin Rama ingin melihat kertasku terlebih dahulu. Kusodorkan kertasku padanya, yang disambutnya dengan senyuman.

"Oke...ini mau nuansa yang kaya gimana?" tanya Rama tanpa mengalihkan pandangan dari kertasku.

"Jawa sih...yang sedih tapi mencekam gitu.."

"Mungkin gua ambil nada pentatonis aja ya... Bang, ambil apregio pentatonic dari B bisa gak? Abis 1 bar ganti ke F#, 1 bar ganti B lagi, gitu terus " pinta Rama pada bang David yang tidak berekspresi lain selain menganga bingung namun jemarinya memetik senar-senar dengan lembut. Perlahan-lahan Rama memasukkan gesekan biolanya dengan lembut, menimbulkan penuansaan Jawa yang kental. Rasanya seperti diiringi oleh gamelan.

Rama melihat ke arahku, wajahnya yang seolah berkata 'cukup gak?' membuatku mengangguk kikuk dan mulai menyuarakan puisiku. Pandanganku tak beralih dari Rama yang juga memandangku.

Sorot mata kami bertemu,

rasanya semua mengalir begitu saja hingga tanpa kusadari aku sedang membaca baris terakhir puisiku.

Tahu-tahu semua orang riuh bertepuk tangan. Aku seolah baru bangun dari tidur panjang akibat tersihir...

Tersihir entah oleh puisiku,

oleh suasana ini,

oleh musik yang mengiringiku,

atau oleh sorot mata Rama....

Tanggal  publikasi: 7 Juli 2016
Tanggal disunting: 28 Agustus 2018

PhileoWhere stories live. Discover now