Kagum

3.2K 373 3
                                    

"Satuuuu aja Ram” mas Hadi memohon pada Ram untuk memainkan satu lagu. Sialnya mas Hadi dan kawan-kawan juga akan menginap di rumahku untuk menggarap konsep peluncuran album mereka. Tadinya Rama ingin kutempatkan di kamar tamu. Tapi 2 kamar tamu sudah penuh terisi, satu kamar diisi oleh para lelaki dan satu kamar untuk Yanti. Sebetulnya Rama bisa saja sekamar dengan Yanti, tapi Yanti terlihat ragu-ragu.

“Ayodong Ram, satu aja, lullaby deh soalnya udah malem” pinta Yanti juga.

“Boleh gak Ka?” Rama berbalik dan bertanya kepadaku.

“Lah ngapa nanya gua? Main mah main aja” jawabku susah setengah mengantuk. Rama tersenyum, ia menuruti permintaan Yanti untuk memainkan lullaby. Ah sial, suara lembut biolanya seolah mengantarkanku untuk tidur. Mataku terasa semakin berat.

“Lu main buat Lumino gimana Ram?” tawar Fidel mendadak, semua orang menyetujuinya kecuali mas Hadi.

“Eh gini dulu, sorry ya Ram gua bukannya gak mau ngajak elu. Tapi mikirin dulu dong entar kedepannya kita gimana, dia gimana. Terus kalo dia juga ikut ngisi album berarti kita rombak semua dari awal dong? Persiapan kita udah 90% coy” papar mas Hadi panjang dengan suara cemprengnya yang selalu kutertawakan.

“Ya tau maksud gua kalo kita main live gitu loh” Fidel membenahi kata-katanya tadi.

“Biar live juga perlu latian. Kalo dia sibuk gimana?” sambung mas Hadi lagi.

“ Yaudah-yaudah itu udah deh, pokoknya kalo someday kita butuh lu, bisa kan ya Ram? Gua khawatirnya kakak gua ngajak elu karena pengen ngedeketin temen lu aja tuh” sindir Yanti, rupanya ia menangkap maksud lain dari ajakan Fidel. Rama tertawa kecil.

“Ya gua sih selow aja, yang penting waktunya bisa. Additional aja gak papah kok, gua gak suka terikat” Rama membereskan biolanya dan memasukkannya ke dalam case.

“Yah udahan? Ah gua baru mau nanya scale polka” Yogi, pemain lead gitar Lumino terlihat kecewa.

“Gampang Yog, gua kan juga nginep sini. Hehe”

Akhirnya setelah beberapa kata terakhir, Rama memasukkan mobilnya ke halaman rumahku dan mengambil pakaian di mobilnya. Ia menjelaskan padaku tadi kalau di mobilnya selalu ada 2 set pakaian ganti kalau-kalau ia menginap di suatu tempat secara tiba-tiba. Berarti ia memang sering menginap dimana-mana.

Rama keluar dari kamar mandi dengan kaos oblong dan celana basketnya. Aku memutuskan untuk mengajaknya tidur di kamarku saja. Toh kasurku cukup lebar untuk 2 orang dan kalaupun ia tidak mau, masih ada kasur gulung yang bisa kugelar.

“ Yuk” aku menggandeng tangannya. Tas kecil dan case biolanya sudah kumasukkan ke kamarku. Ia menurut-menurut saja ketika kusuruh duduk di kasurku. Aku merasa jantungku sedikit berdetak lebih kencang, rasa kantukku pun hilang. Apa ini?

“Eh gua tidur di luar juga gak papah kok…” katanya sambil memperhatikanku menutup lemari pakaianku.

“Entar lu gak istirahat Ram ngobrol mulu sama mereka”

“Emang kalo sama lu pasti bakal langsung tidur?” ia menyeringai lebar, sudah pasti kami akan mengobrol dulu sebelum akhirnya terlelap. Tapi ada beberapa bagian di dalam kalimatnya yang membuatku salah tingkah.

“Eh lu udah ngabarin orang rumah kalo lu nginep disini?” tanyaku karena baru teringat akan hal itu.

“Santai, biar alam yang ngasih tau”

“Dasar giting ” aku menolehkan badan. Ia hanya tersenyum ringan, paling tidak ia sudah tidak selunglai tadi.

“Ram… kok lu baik banget sih mau donorin darah lu buat Fiona?” aku duduk di sebelahnya.

“ Ya…mumpung bisa nolong kan” aku memandangi bekas ambil darah di lengan Rama.

“Walau lu gak kenal sama Fiona?”

“Kalo donor darah biasanya juga gak tau darahnya mau dikasih ke siapa kan” jawabnya enteng.

“Iya sih…. tadi diambil darahnya banyak?”

“Gak tau, gak ngeliatin” ia menyeringai, tapi hanya bisa kulihat sekilas karena poninya masih saja menutupi sebagian wajahnya

“Ram lu gak mau potong rambut atau apaaa gitu??”ujarku gemas.

“Emang udah pengen potong sih..” ia menyibak sedikit rambut belakang nya.

“Potong ngapa, poni gak usah ampe panjang nutupin muka gini. Terus yang belakangnya megar kaya singa. Gua ampe gak pernah liat muka lu tau gak ”

“Hah serius?” Rama melongo mendengar pernyataanku tadi.

“Sumpah. Potong gih, yang penting rapi Ram. Lu gak risih apa begitu?”

“Haduh abis gimana ya udah enak begini Ka, udah biasa aja” ia menyibakkan poninya, dan untuk pertama kalinya aku melihat wajahnya seutuhnya. Pipinya tirus dengan garis rahang yang tegas dan terlihat kokoh, hidungnya mancung, matanya berkilat menatapku.

“Ram…lu ada keturunan landa ya?” ucapku tanpa tersadar, Rama menyeringai lebar.

“Kakek gua sih Ka” katanya, aku mendekat dan merapihkan rambutnya.

“Besok potong rambut ya, gua temenin deh”

“Hah??!” Rama kaget, tapi seperti tidak ada tanda-tanda menolak.

“Serius…” kami terdiam, mata kami beradu. Tempo jantungku naik seketika.

“Eh..gua tidur di bawah boleh..?” Rama menunjuk gulungan kasur yang ada di pojokkan, dengan gelagapan aku mengiyakan. Tak lama lampu sudah dimatikan, aku tidur di atas kasur sementara Rama tidur di bawah beralaskan kasur gulung dengan posisi badan memunggungiku. Dalam gelap aku memperhatikannya. Ah… rasanya kekagumanku padanya tak hanya sekadar kekaguman biasa.

PhileoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang