Latar Belakang

3.6K 352 5
                                    

Persiapan menuju pagelaran puisi kurang 2 minggu lagi, semua orang mulai sibuk mempublikasikan acara, menjual tiket, membuat properti, dan tentu saja berlatih. Untungnya aku tidak harus memegang tanggung jawab yang lain karena aku diharuskan tetap fokus menjadi penampil. Tapi terkadang aku membantu Nade, yang memiliki nama lengkap Nadia Dewanti, di bagian keseketariatan. Ketika ia sudah terlalu pusing membuat dan menyusun berbagai macam surat, aku yang menjadi kakinya untuk mengantarkan surat-surat lain yang sudah dibuat olehnya terlebih dahulu.

Selama 2 minggu ini pula kolaborasi semakin mantab, aku terpaksa mengajak mas Hadi untuk membantu menambahkan perkusi untuk iringan. Sepupuku itu walau secara wajah tidak meyakinkan, tapi kalau sudah menyanggupi ia akan sangat serius. Buktinya hampir segala macam perkusi mulai dari jimbe, conga, cajon bahkan kendang sunda dibawanya ke markas Seratan.

“Ka awas Ka” Nade yang sedang mengetik di laptopnya memperingatkanku untuk menyingkir karena mas Hadi masuk ke dalam markas sambil membawa 2 conga dibantu Rama. Dan tentunya Rama senang bukan kepalang bisa berkolaborasi secara perseorangan dengan sepupuku. Kalau mereka sedang bermain bersama, di dalam hati aku tertawa karena jiwa mereka bagai tertukar. Mas Hadi dengan rambut panjangnya yang selalu dirawat secara rutin malah menjadikannya terlihat cantik, kebalikan dari Rama yang rambut pendek berantakannya malah memberikan kesan tampan untuknya.

“Mau dibantuin?” tanyaku pada mas Hadi setelah ia menurunkan conga dari gendongannya.

“Telat lau” ia menjitak kepalaku lalu berjalan keluar markas, mungkin ingin merokok dulu seperti biasa.

Rama mengeluarkan biolanya seraya memanggilku.

“Ka, bisa nyinden gak?”

“Ram, untuk kesekian kalinya, gua bilang gua gak bisa nyinden” jawabku dengan sedikit penekanan di kata ‘gak bisa’ .

“Ya maksudnya coba dulu” katanya sambil bangkit berdiri dengan biola sudah siap dimainkan. Entah lah belakangan ini aku cukup sering berchatting ria dengan Rama, dan beberapa kali pula aku diantar pulang sampai ke rumah. Tentunya selama perjalanan pulang menuju rumahku banyak hal yang kami bahas. Aku semakin paham dengan Rama, penampilannya yang selalu berkesan asal menjadi simbol dari keliberalannya. Tapi kata liberal pun tidak cocok disematkan padanya karena ia masih anak ‘baik-baik’. Ia mengaku tak pernah merokok ataupun minum-minum. Sedangkan bermusik adalah hidupnya. Dari kecil ia sudah mahir memainkan gitar klasik, piano klasik, dan sempat pula belajar flute.

Katanya, biola adalah cinta sejatinya. Ia merasa lebih bisa berekspresi saat memainkan biola dibandingkan instrument lain. Ketika ia balik bertanya tentang diriku, aku bingung. Kisah hidupku rasanya tidak semenarik kisah hidup Rama yang berteman dengan musik karena hanya itu yang ia punya. Orang tuanya sibuk bekerja dan selalu menitipkannya pada neneknya.

Ibuku masih memiliki gelar Raden Ayu namun tidak pernah disematkan di depan namanya, sedangkan bapakku berasal dari keluarga yang memiliki usaha rumah makan yang memiliki beberapa cabang di pulau Jawa. Sehingga bapak sering sekali pergi keluar kota untuk menengok usahanya itu. Ibu dulu bekerja di perpustakaan sebuah departemen daerah di Semarang , saat bapak kebetulan sedang melakukan studi untuk resep-resep masakan nusantara, ibu membantu bapak menemukan apa yang ia cari. Tanpa tanggung-tanggung bapak melamar ibu yang mempesonanya dengan wawasan yang luas dan memboyong ibu ke Jakarta, membeli rumah yang sekarang kutinggali, dan tak lama lahir lah aku. Gendhis Jatmika Ayuningtyas yang selalu diajarkan untuk tetap hidup sederhana.

Rama terlihat sangat tertarik saat mengetahui nama panjangku, katanya sangat bernuansa Jawa dengan arti yang indah. Manusia yang manis dan cantik hatinya. Aku tak tahu ia serius atau tidak ketika mengatakan ingin membuat lagu hanya karena senang dengan namaku serta maknanya pula. Aku sendiri tidak bisa menebak latar belakang Rama ketika ia menyebutkan nama lengkapnya, Advena Candrama. Kalau melihat nama depannya, seharusnya ia beragama nasrani. Tapi aku tidak pernah tahu kapan ia pergi ke gereja, setidaknya. Atau seperti yang pernah ia sebutkan, bermusik adalah wadahnya bertemu Tuhan. Bermusik adalah sesuatu yang ia cintai lebih dari apapun. Tapi ia sangat menghargai alam semesta dan isinya. Keseimbangan hidup menciptakan ketenangan dalam hidup. Sejujurnya itu lah yang membuatku mengaguminya, kebebasan diri dan bagaimana caranya memandang dunia. Tapi tetap saja banyak yang belum kuketahui, bahkan aku belum pernah melihat wajahnya secara keseluruhan karena selalu tertutup oleh poninya.

Rama memintaku untuk mengikuti suara biolanya, sangat mendayu-dayu dan mencekat tenggorokanku.

“Ah susah ah Ram” tolakku ketika Rama memintaku untuk mencoba lagi

“Ih lu bisa tadi Ka! Coba lagi deh!” seru Nade yang sedaritadi memperhatikan kami latian.

“Tenggorokan gua sakit Nad!” keluhku.

“Ambil suara perut coba, jangan suara leher. Kaya gini” Rama mencontohkan perbedaan produksi suara leher dan suara perut, rasanya aku mengerti. Dengan ragu aku mencoba memperhatikan apa yang Rama contohkan.

“Ahh nice!!” puji Nade sambil bertepuk tangan. Rama mengangguk senang, baru aku akan mencoba lagi, mas Hadi masuk ke dalam ruangan.

“Bang masukin ketukan jawa dong” pinta Rama pada mas Hadi yang langsung duduk di balik kendang sundanya.

“Gua coba ya, pake kendang sunda soalnya” katanya, aku bahkan tak mengerti dimana bedanya.

Setelah beberapa kali percobaan dan arahan dari Rama, termasuk dimana aku harus memasukkan bagian sindenan itu, aku mulai mencoba mendeklamasikan puisiku dari awal. Entah rasanya setiap berdeklamasi dengan diiringi cabikan biola Rama, rasanya hatiku ikut tercabik, membuatku bersemangat melakukan ini semua hingga habis darahku tersisa.

PhileoOù les histoires vivent. Découvrez maintenant