2. Oh, Rama

8.3K 566 12
                                    

Sedang mengantri di koperasi, aku baru tersadar akan sesuatu.

"Lu kenal cowok tadi Ma?" tanyaku pada Ima, yang sedang membayar permen.

"Sepuluh ribu kurang tiga ribu kok cuma enam ribu ya?"

Sepertinya ia tidak mendengar pertanyaanku karena sedang sibuk menghitung kembaliannya. Untungnya pula ia menghitung kembaliannya saat kami masih di koperasi, bisa-bisa dia kesal sendiri karena harus kembali hanya untuk meminta kurangnya kembalian.

"Udah?" tanyaku, Ima mengangguk. "Lu kenal sama cowok yang tadi?" ulangku atas pertanyaanku yang belum terjawab tadi.

"Iya lah kenal! Kan lu juga kenal mas Ruri!"

Tadi aku kedinginan, tapi karena adanya kesalahpahaman dengan temanku ini aku langsung merasa hangat. Hangat, karena kesal ia tidak menangkap maksudku.

"Ma, yang gua tanyain itu adalaaaaahhhh, cowok, yang, tadi, nabrak, gua!" sengaja kueja kata-kataku karena takut Ima masih menyalahi 'cowok' yang kumaksud dengan 'cowok-cowok' yang tadi berseliweran di antara kami.

"Cowo?? Hahahahaha." sekarang Ima tertawa lepas dan membuatku bingung. Jangan-jangan dia salah tangkap lagi? "Kena jebakan betmen deh lu, hahaha."

Sementara Ima masih tertawa, aku berusaha mengingat-ingat lagi sosok orang yang menabrakku tadi. Namanya Rama. Kebanyakan dipakai untuk nama laki-laki. Rambutnya gondrong tanggung sekerah baju dengan poni menutupi sebagian wajahnya dengan tekstur setengah basah. Baru selesai keramas mungkin. Sedangkan postur badannya pun kurus dan tinggi.

"Lah masa cewe??" aku mempertanyakan hasil observasiku sendiri. Sebetulnya sambil menujukannya untuk Ima pula.

"Mampus lu ketipu sama Rama! Haha, dia cewe tau!"

"Haahh?? Demi apa??!!" ujarku tak percaya. Ima tertawa lagi sambil membuka bungkus permennya.

"Emang kaya cowo banget dia, tapi dia cewe. Sumpah, dia temen sekelas PKN gua. Nama lengkapnya Advena Candrama apaaa gitu." tukas Ima dengan mata berbinar dan semangat. Ah ia memang selalu bersemangat dalam menceritakan apapun.

"Oohhh...jurusan apa?"

"HI." jawab Ima singkat, seperti pertanyaanku tadi.

"Anak HI kenapa modelnya aneh-aneh semua sih--"

"Eh tapi kak Dewo nggak ya! Ganteng banget dia mah, hihihi." sela Ima cepat sambil senyam-senyum sendiri, kutoyor kepalanya. Ya, aku berteman dengan orang yang selalu hafal dengan semua laki-laki tampan di kampus, tapi tidak ada yang pernah membuatku merasa tertarik.

"Udah ah yuk masuk kelas, gua takut sama Bu Isti!" aku menarik tangan Ima untuk segera masuk ke dalam kelas.

Kelasku sekarang tidak sedingin kelas sebelumnya untung saja, sehingga aku tidak khawatir harus membeku seperti tadi. Tak lama bu Isti masuk dengan membawa absen. Beliau salah satu guru besar di kampusku. Walau sudah berumur, beliau selalu menjaga dan merawat tubuhnya sehingga selalu terlihat 20 tahun lebih muda dari umur aslinya. Namun bu Isti sangat tegas pada mahasiswanya masalah kedisiplinan, malah kadang tanpa pengampunan.

"Gendhis Jatmika" panggil bu Isti mendadak, jantungku rasanya langsung berhenti dalam seketika.

"Saya bu.." jawabku lirih. Hobi bu Isti untuk memanggil nama mahasiswanya secara acak juga jadi alasanku takut kepada beliau.

"Sudah baca materi kuliah hari ini?" tanya bu Isti dengan tegas. Semua mata tertuju padaku dengan tatapan kasihan.

"Sudah bu..." aku menegang sementara beberapa saat bu Isti tidak berucap apa-apa, perlahan kelas terasa lebih dingin dari kelasku yang bagai kulkas raksasa tadi.

"Siapa yang belum baca? Angkat tangan!" perlahan-lahan tangan-tangan dari mereka yang belum membaca materi kuliah hari ini mulai terangkat secara perlahan karena ragu dan takut. "Keluar kalian! Baca materi kuliah hari ini di luar!"

Aku menghela nafas dengan perasaan lega yang tak tergambarkan.

***

Ima sudah pulang duluan karena langsung dijemput oleh ayahnya. Aku berjalan menyusuri lorong bersama Fiona dan Yasmin menuju kantin, jelas-jelas kelas bu Isti yang menegangkan tadi menguras perut kami.

"Lu mau makan apa Ka?" tanya Yasmin yang bertubuh tambun namun terlihat lucu menggemaskan. Membuatnya sering menjadi korban digemasi orang-orang.

"Apa aja deh, laper bet gua!" aku mengelus-elus perutku.

"Ayam penyet enak kali ya... Gua belom makan siang nih" sambung Fiona.

"Ya kita-kita juga laper kali! Eh kursi kosong tuh!!! Sikat sikat!!" kata Yasmin heboh sambil setengah berlari menghampiri meja kosong yang ada di bagian pinggir kantin.

"Dasar gulungan lemper! Santai aja kali." aku dan Fiona menertawai cara Yasmin berlari tadi. Seolah dunia bergetar di setiap langkahnya di atas bumi ini.

Fiona meletakkan tasnya disamping Yasmin, aku menduduki kursi di depan Yasmin yang langsung menghampiri konter makanan.

"Fi gua nitip pesenin ayam penyet juga deh, gua di sini aja." gadis berbaju hijau terang itu membalasku dengan acungan jempol sambil berlalu menuju konter ayam penyet .

Indra pendengaranku menangkap suara yang halus samar-samar terdengar, kutajamkan lagi indra penengaranku. Makin lama suara itu makin terdengar berayun-ayun di telingaku, suara yang berasal dari gesekan senar...namun suara itu juga menggesek hatiku.

Aku menolehkan kepalaku ke kiri dan ke kanan mencoba mencari sumber suara itu. Tidak ada. Pegawai kantin pun tidak ada yang terlihat sedang menyetel lagu atau apa. Usahaku tak berbuah hasil, bahkan sampai Yasmin datang aku masih belum tahu sumber suara yang kuyakin suara biola itu.

"Kenape Ka? Nyari siape?" Yasmin mengaduk-aduk mie rebusnya sambil ikut menoleh ke kanan-kiri, menyebabkan rambutnya yang dikuncir kuda berkibas kesana kemari.

"Ada suara biola gitu...denger gak lu?" kataku coba meyakinkan kalau bukan aku saja yang mendengar suara itu. Berusaha meyakinkan pula aku tidak berpotensi memiliki bakat spiritual atau semacamnya.

"Oohhh, paling si Rama anak HI lagi main." jawab Yasmin santai.

Rama yang tadi kutabrak?

"Lu tau Rama?" secara reflek alam bawah sadarku mendorongku untuk bertanya.

"Cewe ganteng Ka, hihi. Dia suka duduk di bangku yang di bawah pohon mangga yang gede itu loh cuma buat main biola. Kerjaannya main biola mulu dia." aku membentuk mulutku seperti huruf 'o' saat mendengar penjelasan Yasmin.

"Gua masih sangsi loh dia cewe." Yasmin tertawa, reaksinya sama seperti Ima tadi.

"Eh udahan gosipnya! Makan dulu makan! Kurus entar lu pada!" Fiona memberikan piring berisi ayam penyet untukku. Sejenak setelah beberapa suapan Yasmin kembali berceloteh.

"Emang lu gak tau dia Ka? Dia sering diomongin kali soalnya kaya misterius gitu deh, sendirian mulu." kedua bola mata Yasmin terlihat nyalang, bagaikan kucing ketika melihat mangsanya.

"Oh ngomongin Rama ya???" Fiona akhirnya menemukan inti tema dari pembicaraanku dan Yasmin.

"Iya Fi, tadi gua gak sengaja nabrak dia di gedung T. Gua kira cowo, sumpah." aku menceritakan tabrakan tak sengaja tadi sambil mengikat rambutku, panas kantin mulai membuat gerah.

"Hahaha semua orang juga gitu Ka. Modelnya kaya berandalan gitu sih, tapi kalo udah main biola, duuhh melting dah gua!" Fiona memegangi dadanya sambil menggelengkan kepala.

Alunan biola dengan lagu yang tak kuketahui judulnya kembali sampai di telingaku.

"Tuh kan! Uuuuu." sambung Fiona lagi, sekarang ditambah memejamkan mata dan senyum lebar khas orang yang memuja idolanya.

Oh, Rama ya... Ya, ya, ya...

Tanggal publikasi: 5 Juli 2016
Tanggal penyuntingan: 27 Januari 2018

PhileoWhere stories live. Discover now