Humanity

3.3K 343 4
                                    

"Halo, Mika? Lu dimana??? ” terdengar suara Ima dari seberang sana saat aku sedang membenahi kertas-kertas puisi yang berserakan.

“Halo bu Haji, baru mau pulang nih, kenapa?” bisa kupastikan Ima kesal kupanggil ‘bu Haji’.

“Ka, serius. Astaga.. Fiona kecelakaan!!” suara Ima terdengar panik dan tergesa-gesa. Aku mematung di tempatku berdiri, hanya berharap tadi aku salah dengar karena ruangan berisik dengan tepakan conga dan genjrengan gitar.

“Maa bentar Maaa ” aku berlari keluar ruangan “gimana gimana? Kok bisa sih???? Astaga…”

“Tadi gua sama dia jalan di trotoar, terus gak tau ada mobil tiba-tiba nerabas trotoar. Sebetulnya gua sama Fiona bisa ngehindar tapi Fiona kurang cepet, dia kena ujung pinggiran mobil terus nabrak tiang waktu kepental. Huhuhuhuhu” tangis Ima pecah, dengan tangan gemetar aku berusaha menenangkan diri agar bisa menenangkan Ima.

“Imaaa tenang dulu tenang dulu… Lu sekarang gimana? Fiona udah dibawa ke rumah sakit??” tanyaku dengan suara bergetar dan cukup keras, aku sendiri tidak menyadarinya.

“Ini gua di ambulans Kaaa, gua gak tau harus telpon siapa lagi…orang tuanya Fiona gak ada yang ngangkat. Huhuhuhuhu”

Kakiku rasanya sudah tidak sanggup menyangga tubuhku lagi, perlahan aku menyender pada tembok dan tubuhku merosot ke bawah secara perlahan.

“Rumah sakit mana Ma? Gua kesana sekarang.. Tetep coba telpon ortunya Fiona ya..”

“Iya..iya Ka…… Fiona berdarah banyak banget Ka….gua takut….huhuhuhu” tangis Ima semakin pecah. Badanku semakin lemas rasanya, tanpa bertanya aku tahu kalau Fiona dalam keadaan tak sadarkan diri. Itu artinya pendarahannya cukup banyak. “Ini ke RS Kasih, Ka… Huhuhuhu” sambung Ima di sela tangis nya yang sesenggukan. Aku mengangguk pelan walau aku tahu Ima tak akan bisa melihatnya. Sambungan telpon kami mati, aku tak bisa menguasai diriku dalam sesaat. Baru tadi sore Fiona mengingatkanku untuk menjaga kesehatan dan jangan sampai sakit, tapi kenapa malah dia yang… Ah…

“Yaudah ayo kita kesana” sesosok tubuh berjaket merah mendekapku dari samping untuk menenangkanku. Rama. Badanku lemas, sekadar mengangkat wajah saja aku tak sanggup. “Gua denger semua, ayo kita jalan” sambungnya lagi, perlahan-lahan memapahku untuk bangkit berdiri. Mas Hadi keluar dari markas dengan membawakan tasku. Nade, kak Gino, bang David, dan semua orang yang tadi berada di dalam markas telah berada di luar dengan wajah khawatir. Aku tak tahu bagaimana tapi mereka semua seolah ikut mendengar percakapanku dan Ima tadi.

Kabar buruk memang bisa datang kapan pun. Termasuk saat kita tidak pernah menginginkannya untuk datang.

***

“RS Kasihan ruang UGD?” tanya Rama pelan, ia mengendarai mobil dengan kecepatan yang cukup tinggi. Sedari tadi ia tidak berbicara satu patah pun sejak kami masuk ke mobil. Hanya saja ketika kami tertahan lampu merah, ia menengok ke arahku, seperti mengecek apakah aku baik-baik saja atau bagaimana.

“Iya….” balasku dengan suara tercekat dan hampir tak terdengar. Rama menggeber mobilnya dengan kecepatan lebih tinggi sampai hampir terlewat untuk memasuki pintu masuk ke rumah sakit.

“Pelan-pelan aja jangan keburu-buru” Rama memegang tanganku sesaat sebelum aku ingin membuka pintu mobil, aku mengangguk lemah. Ah boro-boro berlari atau apapun, kakiku saja terasa lemas. Rama menggandeng lenganku. Kami berjalan dengan perlahan menuju UGD.

“MIKA!!” teriak Ima ketika melihatku, ia berlari dari kursi tunggu dan memelukku dengan erat.

“Fiona gimana Ma…..?” tanyaku dengan lemas.

“Mamanya udah dateng barusan…dia masih belom sadar Ka…” tangis Ima kembali pecah. Aku kembali memeluknya dengan gemetar. “Ini semua salah gua Ka..gua bego ngapain sih malem-malem ngajak dia cari makan jauh-jauh dari kostan…”

“Nggak Ma, udah Ma, bukan salah lu kok Ma….. Udah udah” aku menenangkan Ima yang menangis sesenggukan. Rama menggiring kami untuk duduk di kursi tunggu.

“Terus…terus…itu mobil bego….dia kabur Ka…dia kabur setelah liat Fiona terkapar…anjing bangsat setan!!” kuredam teriakan dan tangis Ima di dalam dekapanku. Aku sama marahnya dengan Ima setelah tahu Fiona menjadi korban tabrak lari. Tapi menangis dan mengumpatinya saja tidak akan menghasilkan apapun. Aku melihat ke arah Rama yang sedang memandang ke arahku dengan pandangan penuh keprihatinan.

Tahu-tahu sesosok wanita paruh baya dengan rambut keriting keluar dari UGD bersama seorang dokter yang masih mengenakan masker dan sarung tangan, wanita paruh baya tadi bisa langsung kukenali sebagai ibunda dari Fiona. Wajah mereka mirip….

“Dok…malam-malam gini saya harus cari dimana dok?? Rumah sakit betul-betul udah gak ada stok lagi dok??” kata ibunda Fiona dengan nada memelas, matanya merah dan sembab akibat menangis.

“Saya akan usahakan untuk telpon rumah sakit lain juga bu, tapi kalau misalnya ada yang bersedia menjadi pendonor sekarang akan lebih baik” jawab dokter itu sambil melepas maskernya.

“Tante…..kenapa tante..?” Ima bangkit berdiri dan menghampiri kedua orang itu dengan langkah gontai.

“Nak… Fiona butuh donor darah golongan A…rumah sakit lagi gak ada stok golongan darah A…” jelas ibunda Fiona dengan lirih. Aku dan Rama ikut bangkit berdiri menghampiri mereka.

“Tante..golongan darah saya O..bisa kepake kan?? Dokter.. bisa kan dok???” Ima yang masih dirundung perasaan bersalah seolah mulai kehilangan akal sehatnya. Pak Dokter menggeleng pelan.

“Nak..kamu temennya Fiona juga..? Tante minta tolong.. To..”

“Golongan darah saya A, dok” kata Rama mantab, memberikan secercah harapan untuk kami semua.

“Wah, kamu bersedia jadi pendonor mas?” tanya pak Dokter terdengar lega.

“Iya dok, ngomong-ngomong saya perempuan. Hehe” sempat-sempatnya Rama terkekeh kecil…namun terdengar hangat.

“Aduh makasih ya nak….makasiihh banyaakk… Tante gak bisa ngomong apa-apa lagi nak..” ibunda Fiona memegangi lengan Rama dengan gemetar.

“Iya tante, udah tante tenang aja sekarang..kita sama-sama berdoa untuk Fiona..” tak kusangka Rama bisa sehangat itu, dibalik sikapnya yang selalu terlihat tidak terlalu peduli dengan orang lain dan selalu terlihat individualis. Kemudian Rama masuk ke ruang UGD bersama pak dokter untuk mengurus hal-hal administratif sebelum transfusi darah. Aku, Ima, dan ibunda Fiona atau tante Reta duduk di ruang tunggu dengan perasaan sedikit lega.

Ima masih dengan sesenggukan mengatakan kalau Fiona mengalami kebocoran di kepala akibat menabrak tiang , itulah mengapa ia kehilangan banyak sekali darah. Sedangkan tante Reta yang sedang dalam perjalanan dinas menuju luar kota langsung membatalkan dinasnya dan secepat mungkin langsung menuju rumah sakit. Aku juga baru tahu kalau Fiona hanya tinggal bertiga dengan ibu dan kakaknya. Ayahnya sudah lama meninggal karena sakit.

“Tante gak mau kehilangan siapapun di keluarga tante lagi nak….” isak tante Reta sambil menggenggam tanganku dengan kuat. Aku terdiam, juga menggenggam tangan tante Reta. Tadi, sesaat sebelum Rama memasuki UGD, aku sempat beradu tatap dengannya. Wajahnya terlihat tulus dan berbeda seolah aku sedang melihat orang lain…atau nyawa lain dari Rama..sisi lain di luar sisi manusianya.

PhileoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang