1. Awal Mula

18.2K 688 13
                                    

"Terima kasih, selamat siang."

Kata-kata pamungkas hampir tiap dosen yang menandakan kelas telah usai. Kumasukkan tempat pensilku ke dalam tas. Buku cetak dan buku catatan kutenteng saja, karena sudah pasti tidak akan muat di dalam tasku yang kecil. Belakangan ini aku merasa malas untuk memakai ransel ke kampus, yang penting tas slempang kecilku ini muat untuk dimasukkan tempat pensil, dompet, handphone, parfum, dan beberapa perintilan riasanku seperti lip gloss dan bedak.

Sejenak aku menghela nafas sambil memijit pelan pelipisku, kepalaku terasa sedikit pusing karena tayangan presentasi tadi. LCD kelas agak bermasalah sehingga segala sesuatu yang seharusnya berwarna putih berubah warna menjadi biru. Mataku rasanya pedas karena dipaksa untuk melihat tayangan yang warnanya sudah saling tabrak. Apalagi, membaca tulisan yang warnanya jadi tersaru dengan warna latarnya.

Kamu sudah bekerja dengan keras, mataku. Istirahat lah sehabis ini. Ah tidak, mari kita istirahat.

"Ding..ngiiinnn..!" Halimah, teman baikku yang biasa kupanggil Ima masuk ke dalam kelas setelah kembali dari kamar mandi. Ia menggosok-gosokkan kedua tangannya, benar-benar kedinginan.

Kelasku ini tidak terlalu lebar namun memiliki dua air conditioner yang masing-masing bagai naga yang menghembuskan nafas esnya sekuat tenaga, dingin! Kelasku bak kulkas raksasa, maka tidak heran kalau banyak teman-temanku yang bolak-balik ke kamar mandi sambil berlama-lama di sana, atau keluar kelas hanya sekadar ingin menghangatkan badan. Seperti Ima yang sengaja berlama-lama di kamar mandi. Sekembalinya ke kelas, malah sudah bubar.

"Masih ada waktu 20 menitan lagi nih Ka! Kita beli permen dulu apa?" Ima membuatku menolehkan kepala, tapi aku masih memijat-mijat pelipisku. Entah kenapa aku malah tetap duduk di kelas sambil menunggunya kembali dari kamar mandi. Pilihan bodoh.

"Yuk deh, gua beli apa ya, pusing masa." kataku sambil bangkit berdiris.

"Lu pusing kenapa Ka? Gara-gara itu LCD ya? Beli obat pusing gih."

"Gua cuma butuh keluar dari sini Ma. Yaudah yuk cau!" aku bangkit sambil menyelempangkan tasku di pundak, Ima mengikutiku. Kehangatan udara khas tropisnya Indonesia menyapa membuat senang. Akhirnya keluar juga dari kelas kulkas itu. Bahkan besi-besi pada kalung yang kupakai juga dingin. Dan kebodohan lainnya adalah, hari ini aku memakai blouse yang lengannya hanya seperempat. Lenganku rasanya membeku.

Gedung T ramai oleh mahasiswa yang kebanyakan baru selesai kelas, dan kebanyakan senior. Sebetulnya mahasiswa semester 2 sepertiku jarang mendapat kelas di gedung T. Karena di gedung ini rata-rata adalah lab dan ruang diskusi. Tapi Ima selalu senang kalau kami harus masuk kelas di gedung T, walaupun dinginnya minta ampun. Katanya, ia bisa melihat kakak senior jurusan lain yang kece-kece. Aku tidak pernah peduli soal kakak senior kece dan semacamnya. Atau mungkin belum?

"Ka, tali sepatu lu copot." rupanya Ima masih bisa menaruh perhatian untuk sepatuku selain melihat ke sekeliling dengan penuh binar.

"Biarin aja ah, udah mau sampe koperasi ini."

"Nanti jatoh lu!"

Ujung mataku menangkap tali sepatuku yang memang sudah klewar-klewer. Aku menolehkan kepala ke sana-sini untuk mencari tempat yang lebih sepi untukku membenahi tali sepatu ini. Sebelum aku betul-betul jatuh seperti yang disumpahi Ima.

"Eh maaf.." kataku saat tidak sengaja menyenggol mahasiswi dengan kotak berisi kue di tangannya. Lorong menuju pintu keluar yang membentuk bottle neck membuatnya jalan menuju pintu jadi lebih padat dari lorong lainnya.

"Aduh!!" langkahku berhenti karena aku menabrak seseorang, tak kuasa lagi aku memegang buku catatanku yang akhirnya tak bisa melawan gaya gravitasi pula.

"Wadooow!!" Ima menabrakku dari belakang, membuatnya menjadi tabrakan beruntun. Aku yakin matanya sibuk melihat kakak senior ganteng yang barusan melintas di sampingku. Bahkan aku yakin Ima tak sadar kalau aku pun baru saja menabrak seseorang.

"Sorry sorry." sosok didepanku menunduk mengambilkan bukuku yang terjatuh dan kemudian langsung berdiri tegak. Diberikannya buku catatanku yang terjatuh tadi.

"Iya gak papah kok, gua juga maaf." kataku, menerima buku catatanku sambil melingsir ke pinggir. Aku bisa ditabrak lagi kalau masih berada di tengah lorong.

"Kelas Ram?" tanya Ima yang berdiri di sampingku, rupanya mengenali orang yang kutabrak barusan. Membuatku tersadar kalau aku harus mendongak untuk bisa melihat wajahnya. Tingginya mungkin sekitar 168cm-an.

"Iyanih. Hehe, duluan ya. Maaf..eh..." sambil menyibakkan rambut yang menutupi matanya, ia melirik nama yang tertulis di atas buku catatanku.

Oh, ia berusaha mencari tahu namaku.

"Mika." dengan cepat aku menyodorkan tanganku. Mencoba menghindari kecanggungan.

"Rama." jawabnya sambil menyalami tanganku dengan mantab. kemudian ia berlalu. Di punggungnya tergantung sebuah case biola, dan sepertinya ia tidak membawa apa-apa lagi selain itu.

Aku mengernyitkan dahi, berusaha mengingat-ingat apakah di fakultasku ada jurusan musik atau semacamnya. Entah lah.

"Yuk" ajak Ima. Membuyarkan pikiranku.

"Ah iya, yuk" balasku sambil mengedikkan bahu soal si Rama tadi, membuntuti Ima menuju koperasi.

PhileoWhere stories live. Discover now