《Twenty》

784 58 0
                                    

Proses tranfusi darah telah selesai dilaksanakan. Kebencianku pada Kak Sheren langsung sirna saat melihat kondisinya yang diambang pintu kematian. Untung saja aku termasuk golongan darah AB yang bisa membantunya. Dokter menceritakan kalau kecelakaan yang dialaminya itu cukup serius dan menyebabkan benturan parah pada bagian kepala. Ada juga pendarahan di dalam tubuhnya yang untungnya sudah diselamatkan melalui jalur operasi. Tetapi, syukurnya dia tak mengalami amnesia.

Wajahnya pucat, matanya tertutup rapat, dan tangannya sangat dingin. Aku berdoa supaya dia cepat sadar agar keluarganya tak terlarut dalam kesedihan terus menerus. Hati kecilku terenyuh melihat kondisinya yang terbaring lemas di ranjang ICU. Alat-alat kesehatan khas ruang ICU yang menurutku mengerikan itu dipasang di sekujur tubuhnya. Jantungnya masih berdetak walaupun tidak stabil, kadang naik dan turun. Itu masih normal asal jangan sampai grafiknya menunjukkan garis lurus. Semoga saja secepatnya dia bisa pulih dan sembuh total.

Untung saja kedatanganku tadi tidak terlambat. Itu semua terjadi hanya karena keegoisan yang menguasai diriku beberapa waktu terakhir. Kusesali perbuatan yang tidak baik itu dan juga aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Bahkan, aku hanyalah memikirkan kebahagiaan diri sendiri tanpa mau membantu orang lain yang sedang menderita. Betapa teganya aku ini dan betapa jahatnya diriku ini.

Rasa cemburulah yang mendominasi kemarahanku. Aku berprasangka buruk terhadap Kak Rafa kalau dia mencoba mengkhianatiku. Padahal, nyatanya tidak sama sekali. Wajar kalau dia khawatir pada Kak Sheren karena memang masa lalu itu tidak sepenuhnya bisa dilupakan. Sekarang, aku mencoba mengerti hal itu dan berusaha memakluminya agar hubungan kami kembali terjalin dengan baik.

☆♡☆♡☆

Kak Rafa denganku berjalan mengitari rumah sakit tempat Kak Sheren dirawat tanpa tujuan yang jelas. Tidak ada percakapan apa pun sedari tadi. Entah kenapa aku merasa canggung luar biasa. Sekarang, belum waktunya jam kunjungan. Jadi, kami memutuskan untuk menunggunya.

"Kenza," panggilnya.

"Apa?"

Dia menarikku untuk duduk di kursi tunggu yang terletak agak jauh dari keramaian. Aku mengikutinya dengan kening berkerut karena penasaran dengan apa yang akan dibicarakannya.

"Maafin aku, ya, udah maksa kamu kemarin malem. Terus tugas kamu gimana?"

Aku tersenyum menanggapinya. "Beres, kok. Kamu nggak perlu minta maaf, Raf. Harusnya yang salah itu aku karena egois."

"Enggak, kok. Kamu nggak salah. Lagi pula beberapa hari ini aku jarang punya waktu buat kamu. Gimana kalo besok kita hangout?" tawarnya yang membuat bibirku tertarik untuk tersenyum.

"Boleh-boleh. Besok libur juga, kan."

Kak Rafa menarik kepalaku untuk bersandar di bahunya. "Sebenernya...," kataku menggantung karena bingung harus menyampaikan atau tidak.

"Kenapa?" tanyanya khawatir.

"Kak Sheren lebih butuhin kamu. Aku rela kalo kamu sama dia."

Kupejamkan mataku karena takut oleh reaksinya. Aku sengaja bicara begitu untuk mengetahui kelanjutan hubungan kami secara pasti.

"Ngomong apa, sih? Nggak mungkinlah aku ngelepasin kamu gitu aja. Lagi pula aku sama Sheren cuma temen biasa, kok. Kamu itu terlalu berharga buat orang lain."

Bibirku bungkam. Kupikir dia akan memarahiku dan berakhir dengan memutuskanku. Ternyata bayangan burukku tidak menjadi kenyataan dan aku sangat bersyukur akan hal itu.

"Waktunya jam kunjungan. Yuk," ajakku seraya menarik tangannya.

Kak Rafa memasuki ruang rawat lebih dulu. Aku mengintipnya lewat celah pintu dengan pandangan nanar. Rasa sakit begitu menusuk hatiku dan menghujamnya dalam. Kenapa aku harus menyaksikan mereka? Kedua tanganku terkepal erat. Aku berusaha meredam emosi yang saat ini ingin kukeluarkan. Sebisa mungkin aku menahan bulir air mata agar tidak jatuh dan menimbulkan tangis.

The Force of First SightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang