《Nineteen》

795 64 0
                                    

Kali ini aku tidak bangun kesiangan seperti biasanya. Jadi, aku masih sempat untuk sarapan bersama keluargaku. Segelas susu dan roti cokelat sudah berada di hadapanku.

"Denger-denger Alzio balik lagi ke sini, ya?" tanya mama tiba-tiba.

Aku mengangguk. "Iya, Ma. Kenapa emangnya?"

"Entah kenapa mama lebih suka kalo kamu sama dia. Tapi, percuma aja soalnya kamu udah sama Rafa."

Susu cokelat yang kuminum hampir saja membuatku tersedak mendengar pendapat mama. "Aku sama Alzio deket sebatas temen aja, Ma."

Audy yang tadinya asyik dengan makanannya pun mendadak jadi ikut-ikutan berbicara, "Nah, aku juga mikirnya kayak gitu, Ma. Soalnya Alzio itu, kan, seumuran sama Kak Kenza. Jadi, menurutku lebih cocok ketimbang sama yang sekarang."

Aku mendengus mendengar pendapatnya yang tidak logis itu dan bermaksud menyindir hubunganku dengan Kak Rafa. "Bawel, deh. Itu menurut pemikiran kamu, Dy. Tapi, kan, ini masalah hati. Jadi, hanya Kakak yang bisa memilih untuk jatuh kepada siapa."

Papa berdeham mengingatkan. "Udah jangan berantem. Kamu nggak berangkat, Ken? Nanti terlambat, lho."

"Oke. Ma, Pa, aku berangkat dulu, ya."

Setelah berpamitan pada mereka aku langsung mengemudikan mobil menuju sekolah.

☆♡☆♡☆

SMA Starlight tampak sepi karena sekarang masih jam enam lebih sepuluh menit. Aku langsung menuju gedung IPS untuk menemui Kak Rafa.

Sekarang, aku sudah sampai di depan kelasnya. Aku bingung antara masuk atau tidak. Tapi, yang membuatku sedih adalah kemarin malam dia tak membalas line dan sampai sekarang pun belum dibaca olehnya.

Aku mengintip dari kaca jendela dan ternyata tidak ada Kak Rafa. Saat aku membalikkan badan, aku menubruk seseorang. Oh, betapa bodohnya aku ini.

"Sorry, nggak sengaja."

Tunggu! Dari postur tubuhnya dan aroma parfumnya, aku sangat mengenali itu. Dengan semangat aku mendongak untuk menatapnya. Aku tersenyum lebar dan dia hanya membalas dengan senyuman tipis.

"Kenapa kamu di sini?" tanyanya dengan wajah polos yang membuatku gemas.

"Jelas mau nyari kamulah," batinku kesal. Kenapa dia tidak peka sama sekali, sih?

Kutarik tangannya untuk menuju tempat duduk yang terletak di ujung koridor. Aku merasa jauh darinya walaupun kami duduk bersebelahan. Rasanya sangat hampa karena sikapnya yang tidak seperti biasanya.

"Kamu masih marah gara-gara Alzio?"

Kak Rafa menatapku dengan kedua alis yang bertautan. "Enggak, kok. Kenapa harus marah?"

Kemarin saat di kedai kopi dia langsung meninggalkanku. Aku jadi heran dengan sifatnya yang berubah-ubah tak menentu.

"Buktinya semalem kamu nggak jawab line dari aku. Kenapa, Raf?"

Dia tak menjawab selama beberapa detik serta terlihat ragu. "Kemarin aku ke rumah sakit. Sheren kecelakaan. Maaf nggak sempet ngabarin kamu," ucapnya lirih dengan menatap mataku lurus-lurus.

Dengan refleks, aku langsung mengalihkan pandanganku darinya. Perkataannya barusan bagaikan petir yang menyambar-nyambar di sekelilingku. Aku harus kuat menghadapi kenyataan bahwa dia masih peduli pada masa lalunya, tetapi nyatanya itu sangat menyakitkan.

Bahkan, seharusnya dia tahu kalau sekarang aku benar-benar membenci Kak Sheren. Dia belum tahu kejadian menakutkan yang terjadi tiga hari lalu begitu membekas dan tidak bisa hilang dari pikiranku. Aku berusaha mengenyahkan perbuatan jahat Kak Sheren, namun tetap saja hal itu melayang-layang di ingatanku. Jika saja Alzio tidak menyelamatkanku, bisa dipastikan nyawaku sudah melayang.

The Force of First SightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang