30. Togetherness part 4

Start from the beginning
                                    

"Kenapa? Kok ngelirik aku kayak gitu?" Theo was-was. Sementara si anjing penuh dengan keajaiban itu, susah payah menahan hasrat ingin coli di tempat keramaian. Meskipun wajahnya terlihat sange bukan main, namun ia pendam hasrat menyalurkan isi tititnya yang ingin keluar dari biang.

"Kamu jangan elus-elus Oreo kayak gitu lagi, ya, Theo. Aku nggak suka!" Tegas suara Anthoni. Nggak bisa dibantah keinginannya. Kuat tekadnya. Sekeras baja maksud dan tujuannya.

"Kok gitu? Oreo kan anak kita? Jadi wajar dong, sebagai Bapak aku mengelus-elus dia?"

Picingan mata sipit Anthoni semakin tajam, membuat kelereng hitam indah itu nyaris tenggelam di balik kelopak matanya. Anthoni melirik kiri-kanan. Depan-belakang. Kemudian, ketika ia merasa tak ada orang yang hilir mudik di taman hiburan itu yang mencuri dengar suaranya, Anthoni berbisik di telinga Theo;

"Aku menduga anak kita homo, deh!"

Yang sedang menjadi objek bisik-bisik membuang muka. Mendecih. Ngilu di tititnya masih terasa, tapi ia lagi bete tingkat dewa dengan Maknya sendiri.

"Dan, dia berpotensi incest, Theo."

Anjing menyebalkan itu memutar mata sepuluh kali. Iya, itu sangat lebai. Tapi menghadapi Mak tiri yang mulutnya pedas seperti Anthoni, emang butuh melebaikan diri.

"Kamu ada-ada aja, An." Theo mengacak-acak rambut Anthoni. Mengajaknya pergi ke pusat taman hiburan. Membeli tiga es krim untuk dirinya, Anthoni, dan Oreo. Ketiganya lalu mencari tempat yang sepi dari para pengunjung.

"Aku nggak akan pernah melupakan tempat ini, An," begitu tetiba Theo berbicara ketika dia dan Anthoni untuk beberapa waktu lamanya dibebat dengan sunyi. Mereka selonjoran di atas rumput. Memperhatikan kawanan awan putih yang menghiasi langit siang. Oreo sedang duduk di antara keduanya. Menjilat-jilati es krim vanilla.

"Kenapa?" sudut bibir Anthoni belepotan es krim cokelat. Theo mengusapnya lembut sembari berujar;

"Karena di tempat ini, kamu udah mengembalikan kebersamaanku dengan Papa," Theo tersenyum. Tipis. Samar. Sebuah kebersamaan yang harus dibayar dengan sangat mahal. Yaitu: berpisah dengan Anthoni. Kenyataan itu mencubit ulu hati Theo. Ia pandangi wajah Anthoni yang bersinar penuh kebahagiaan. Ah ... sanggupkah jika ia harus mengutarakan isi hatinya, jika dua hari lagi ia akan berangkat ke Amerika?

"Sama-sama," Anthoni tersenyum ceria. Menjilat es krimnya lagi antusias. Kemudian tersipu. Dua belah pipinya bersemu merah muda. Matanya tenggelam di balik kelopak. "Aku senang jika Theo dan Om Patrick bisa akur," lagi, teruna kecil itu tersenyum. Bahagia. Tak ada beban sama sekali. Semua berjalan dengan indah. "Kan, nggak asik kalau satu keluarga tapi bermusuhan."

Theo mengusap kepala Anthoni. Mengangguk menyetujuinya. Kemudian menjilati es krimnya yang udah mulai meleleh.

"Es krimnya enak, ya, Theo. Kapan-kapan ajak aku ke sini lagi, ya?"

"Semaumu, An. Apa pun yang kamu inginkan aku pasti turuti."

"Makasi, Theo. Habis ini aku mau naik bianglala. Boleh, ya?

"Nanti kita main semua wahana di sini. Sampai kamu puas."

"Seriusan?"

"Serius."

"Bener semua wahana?"

"Iya, semuanya."

Anthoni tersenyum bahagia. Mengangguk antusias berkali-kali. Kemudian cepat-cepat menghabiskan es krimnya.

Setelah puas menghabiskan waktu dengan bermain berbagai macam wahana di sana, Theo mengajak Anthoni berkunjung ke sekolahannya. Ke kelas yang selama hampir enam tahun ini menjadi kelas tercintanya. Theo mengambil duduk di bangku paling pojok. Anthoni mengambil duduk di bangku tengah. Sementara Oreo melompat-lompat penuh kegembiraan di atas meja guru. Menggonggong liar. Bersemangat. Menatap Anthoni dan Theo bergantian. Hingga membuat kedua teruna itu tertawa bahagia dibuatnya.

Dari tempatnya duduk, Theo bisa melihat tawa sempurna seorang teruna bernama Anthoni. Sederhana. Lugu. Polos. Penuh kejujuran dan cinta. Theo nggak tahu, bagaimana takdir berbisik mengikat keduanya. Jujur, dulu sejak awal bertemu di toko DVD, Theo benci dengan Anthoni. Namun, semesta berkata lain. Ketika ia jabarkan kebenciannya tersebut, rasa asing yang tak pernah bersarang di hatinya menyelundup perlahan-lahan. Sangat tenang. Penuh sopan santun. Namun membawa dampak dahsyat. Luar biasa.

Ia ingat bagaimana dulu ia mencaci maki Anthoni. Mengata-ngatainya yang tidak-tidak. Dan sekarang, perasaan aneh yang sangat membuatnya nyaman itu, tak akan pernah membiarkan lidahnya melukai Anthoni.

Demi Tuhan, ia sangat ingin Anthoni bahagia. Ia ingin melihat Anthoni tersenyum. Ingin melihat Anthoni terus bersemangat.

Masih di pojokan, Theo memindai sempurna punggung kecil Anthoni yang bergerak-gerak ketika ia tertawa melihat tingkah Oreo di depan sana. Kemudian Theo mendesah. Sehari udah hampir ia lewati. Masih menyisakan satu hari lagi. Dan ia akan pergi meninggalkan Anthoni. Ya Tuhan, rasanya sangat menyakitkan. Theo nggak mungkin bisa bertahan tanpa melihat punggung itu, senyum itu, tawa itu, mata kejora itu. Terlalu indah. Tapi, sangat menyakitkan.

Sakit.

Sampai rasanya tak mampu bangkit dari rasa keterpurukan.

Theo berpaling. Melihat keluar jendela. Bertepatan dengan Anthoni yang menoleh ke arahnya. Lelaki kecil itu tersenyum. Siapa pun pasti tahu, jika senyum yang ditawarkan Anthoni adalah empedu paling pahit yang pernah ditawarkan kehidupan. Pemuda itu berbisik. Penuh pengharapan. Juga, setitik rasa putus asa;

"Jangan pernah tinggalin aku, Theo. Apa pun yang terjadi jangan pernah tinggalin aku," dalam bisikan itu, Anthoni masih tersenyum. Pun ketika Theo memaku wajahnya. Keduanya sama-sama saling tersenyum. Mengeja wajah orang paling berarti buat keduanya.

Theo bangkit. Mendekati Anthoni. Mengajaknya pulang.

"Pulang sekarang?" Anthoni merajuk. Masih belum ingin kebahagiaan ini berakhir. "Kamu nginap di kos, ya?"

"Aku harus pulang, An. Kamu tenang aja. Besok aku mengajak kamu ke tempat yang lebih indah lagi daripada hari ini?"

"Seriusan?"

"Iya. Kamu pasti senang deh. Kita pulang. Nanti kamu istirahat buat hari besok, ya?"

"Asiiik. Pasti. Pasti. Pasti." Mata itu berkejora indah.

Theo mendesah melihatnya, tempat terakhir dan terindah, An. Sekaligus pertemuan terakhir kita.

Begitu mereka sampai di depan kos-kosan Anthoni, Theo menahan tangan Anthoni yang ingin segera masuk ke kamar. Ia mengacak-acak rambut Anthoni. Mendekap pemuda mini tersebut. Mengelus punggungnya.

"Makasih untuk hari ini, An."

"Aku seharusnya yang makasih, Theo. Aku bahagia banget. Hari ini kita bisa jalan-jalan bareng. Semoga setiap hari kita bisa jalan bareng, ya?"

Theo mengembuskan napas panjang mendengar pernyataan Anthoni barusan. Ia melepas pelukannya. Kemudian memegang kedua pundak Anthoni.

"An, aku berjanji ama kamu, mulai sekarang aku mau serius untuk sekolah. Aku mau mengejar ketinggalan aku selama ini. Aku mau sungguh-sungguh belajar supaya aku bisa lulus dan bisa kerja. Aku berjanji, An, aku nggak akan malas-malasan lagi. Aku akan rajin belajar. Aku akan bawakan ijazah kelulusan SMA aku buat kamu dengan nilai memuaskan."

Anthoni tersenyum lebar mendengar janji Theo barusan. Ia mengelus lengan Theo. Mengacak-acak rambut Theo. "Kamu pasti bisa lulus, Theo. Bawakan nilai yang terbaik buatku."

"Aku janji, An. Namaku yang akan menjadi juara umumnya."

"Itu adalah hari yang paling membahagiakan buatku, Theo."

Theo tersenyum. Menarik tubuh Anthoni. Kemudian mengecup keningnya dalam. Ia jatuhkan kelopak matanya. Dan ia biarkan rasa asing yang sangat menenangkan itu bersenyawa dengan air mata yang entah sejak kapan jatuh. Ia salurkan gempita perasaannya yang ingar dengan perasaan sakit. Sakit. Siapa pun pasti tahu, kecupan Theo adalah cara paling ampuh untuk meredakan rasa sakit yang ia derita.

Ya Tuhan, tinggal sehari lagi, dan akan kutinggalkan semuanya. Semuanya. Termasuk Anthoni.

taZex

Teach Me to Love as (Gay)Where stories live. Discover now