7. Serangan Maut

20.3K 1.8K 156
                                    



Tenggorokan Anthoni terasa sakit. Napasnya seolah tercekik. Cengkeraman kuat tangan Theo pada leher Anthoni menyebabkan pemuda itu kesulitan bernapas. Dia menuruni tangga secepat mungkin. Melewati ruang tengah di mana Om Patrick terduduk lesu di sana. Saat Anthoni mau meninggalkan rumah megah tersebut, Om Patrick sudah terlebih dulu mencegahnya.

"Maaf, Om, tapi saya nggak bisa mengajar anak Om yang sudah melakukan kekerasan kepada saya," Anthoni terbatuk-batuk setelahnya. Memegangi leher dan mengurutnya kecil-kecil. Kedua mata hitam Anthoni berair. Ini sangat sakit, demi apa.

"Om mohon dengan sangat, Anthoni, Cuma kamu yang Om harapkan di sini. Sudah ratusan tutor nggak bisa menakhlukkan kenakalan anak Om. Om pusing. Om frustasi. Kamu lihat tadi, kan, bagaimana liarnya dia?" lihatlah itu Anthoni, mata cokelat Om Patrick yang kayak mata singa berpijar penuh pengharapan. Tidakkah kamu kasihan, Sayang? Laki-laki dewasa dan maskulin itu, yang perutnya kotak-kotak kayak roti sobek itu, benar-benar memohon kepadamu. Cuma kepadamu. Pemuda mini berhati rapuh.

Anthoni bergeming. Menggigit bibir bagian dalam. Kemudian membuang muka. Jangan sampai terayu dengan tampang imut menggemaskan kemasan jantan milik Om Patrick. Bahaya! Dia harus waspada!

"Maaf, Om!" Setelah sekian menit dia berdiam, suara cicitannya terdengar. Anthoni menghela napas panjang. "Anak Om sudah mencekik dan membanting tubuh saya. Saya nggak bisa menerima kelakuannya yang kasar kepada saya. Saya bisa saja melaporkan tindakan anak Om ke pihak berwajib karena telah melakukan penganiayaan dan tindakan nggak menyenangkan."

Padahal itu Cuma gertakan sambal. Pihak berwajib dia kata? Isi dompetnya aja hanya lembar struk-struk kasbon di toko dekat kos. Tadi dia khilaf berbicara seperti itu karena bayang-bayang wajah Elang mahasiswa hukum itu tiba-tiba menguntit anak matanya.

"Anak saya melakukan apa?" Om Patrick terlihat murka. Kedua tangannya mengepal. Ya ampun, ada apasih dengan orang haluan bule seperti dia? Bahkan dalam keadaan marah pun tampangnya semakin tambah hot.

Anthoni benar-benar nggak aman di rumah gedong itu. Keberadaan makhluk-makhluk ganteng di sana sangat menguras imajinasi liar Anthoni, sebagai humu mengenaskan yang tak pernah pacaran. Di saat teraniaya, dengan harga diri yang sudah dihempaskan siswa songong tadi pun, Anthoni masih bisa-bisanya berimajinasi main kuda-kudaan bareng Om Patrick.

"Kamu tidak perlu melaporkan anak Om ke pihak kepolisian. Om pastikan dengan kedua tangan Om inilah, anak setan itu akan mendekam di penjara."

Anak setan? Wahai laki-laki menggiurkan, sadarkah ucapan Om barusan sangat mengandung banyak makna? Maksudnya, Om ini jelmaan setan? Setan apa? Kok, cetakannya bisa ganteng seperti ini? Pasti vampire, ya? Kan, setan made in Indonesia nggak ada yang ganteng. Buluk dekil dan penuh kapas semua (dibaca: pocong). Ya ampun, pikiran Anthoni benar-benar nggak waras kayaknya.

Lalu, dengan berani-beraninya anthoni mencekal lengan kokoh Om Patrick di saat Om Patrick memutuskan mau ke kamar Theo―ini adegannya mirip banget kayak di sinetron-sinetron. Kemudian Anthoni menggeleng penuh derita―ini mirip sinema elektronik Derita Anak Tiri―dan menatap Om Patrick malas.

"Sudahlah, Om," begitu ucapan Anthoni, "nggak usah memermasalkan ini lebih panjang lagi. Saya mau mengajar anak Om kalau dia mau minta maaf kepada saya. Sebelum hal itu terjadi, maaf, saya nggak bisa mengajar anak Om." Anthoni menjatuhkan ultimatum. Dia kemudian berpamitan. Beranjak pergi, namun siapa menyangka, laki-laki mungil norak itu malah kembali mendapat serangan jantung tatkala Om Patrick memegang telapak tangannya.

Memegang telapak tanganya. Benar-benar memegang telapak tangannya secara harfiah. Permukaan telapak Om Patrick yang kasar, mengedut-kedutkan sisi sensitif Anthoni. Tubuh mininya seperti disengat aliran listrik tanpa ampun. Dia menegang. Dan kecambah luar biasa merana yang menggantung seorang diri di sana, bersorak penuh kedamaian.

Pemuda kampungan itu mematung beberapa saat. Lalu mati. Tewas. Dikubur. Tentu saja itu dalam imajinasi lebai bin nggak masuk akal Anthoni yang permukaan otaknya udah berjamur. Om Patrick menjatuhkan serangan kedua. Setelah tangan mungil Anthoni digenggam Om Patrick, laki-laki entah usia berapa puluh tahun tapi udah punya anak bongsor itu, menarik tubuh ringan Anthoni. Mendekatkan Anthoni dalam tubuhnya yang padat dan berkubikel.

Anthoni sangat syok. Hampir mimisan. Tubuhnya merapat sempurnya pada tubuh Om Patrick. Bisa dia rasakan perut kotak-kotak Om Patrick menyapa 'hay' pada dada terepesnya. Anthoni mendongak. Meneguk ludah. Om Patrick dalam keadaan sedekat ini adalah dewa Yunani.

Rambut kelimisnya yang ditata rapi. Selarik alis hitam tebal. Mata tajam berwarna cokelat menyala. Hidung bak perosotan. Dua lembar bibir tipis yang merekah. Rahang yang kokoh. Dahi lebar. Jambang tipis-tipis yang seolah mengundang Anthoni untuk mengajaknya bersalaman.

Oh, Anthoni terlena. Jatuh semakin dalam. Lalu terpejam. Membiarkan Om Patrick berkehendak suka cita. Dengan satu sentuhan tangan membangkitkan hormon testosteron, Om Patrick mengangkat dagu Anthoni. Kemudian secara kurang ajar, tangan besar dan kasar khas orang dewas itu membelai lembut permukaan leher Anthoni.

Dan itu sungguh-sungguh serangan. Kulit Anthoni meremang. Sentuhan tangan Om Patrick di lehernya sangat halus. Penuh perasaan. Seolah-olah leher Anthoni adalah kaca yang bisa pecah jika diinjak. Tubuh Anthoni merapat. Darahnya berdesir hebat. Kecambahnya membengkak sebesar burung parkit.

Dalam dekapan penuh kehangatan begini, Anthoni bisa mencium aroma deodorant yang dipakai Om Patrick. Juga wangi lembut parfum mahalnya.

"Maafkan anak Om yang telah mencekik kamu," suara berat Om Patrick bergetar di pipi Anthoni. Masih mengelus-elus leher putih mulus Anthoni, Om Patrick melanjutkan, "Tak seharusnya kulit sehalus ini mendapat perlakuan kurang menyenangkan."

Senggak menyenangkan apapun, jika hasil akhirnya bisa dielus-elus gini, Anthoni mah mau. Mau. Mau. Teksture kasar telapak tangan Om Patrick yang meraba leher Anthoni benar-benar mampu membuat Anthoni melayang. Dia hanya mampu berdiam diri. Menikmati tiap sentuhan yang akan selalu dikenal oleh bagian tubuhnya.

"Engh ...."

Lalu ... hal memalukan itu terjadi. Dunia seperti berhenti berputar. Lupa bagaimana caranya berotasi. Matahari seakan terbahak-bahak di bagian sana. Dan black hole menenggelamkan cowo unyil itu ke dalam haribaannya.

Tiba-tiba terdengar suara erangan lirih yang tersendat. Anthoni terkejut. Menjauhkan diri. Menutup mulut. Darah seolah dipompa ke wajahnya. Dia barusan merintih. Mengerang keenakan karena tak tahan mendapat sentuhan ini.

Memalukan. Tak tahu diri. Jalang.

Anthoni merutuk dalam hati. Dia menggeleng ketakutan. Air matanya jatuh bersusulan.

Kemudian Anthoni pergi. Sejauh mungkin. Melenyapkan diri. Supaya rasa malunya bisa hilang. Kalau bisa, setubuh-tubuhnya juga menghilang.

Oh ... ini benar-benar moment memalukan.

.

.

.

.

Hai-hai sayah ama Om ChristianJCB datang lagi, loh. Ada yang menanyakan kepada sayah, kenapa tiap chapternya pendek-pendek? Kan, sayah udah jelasin di awal jika ini adalah eksperimen pertama kali sayah dalam mengetik, yang belum pernah sayah lakukan sebelumnya. Chapternye memang sengaja diperpendek, berkisar seribuan words. Alasannya kenapa, karena sayah sedang menantang diri sayah sendiri dalam dunia tulis menulis. Uhuiiii

Yuk yuk vote, komen, kritik, saran, sumpah serapah yang membangun, curhatan, apa aja deh.

Hihihi...

Salam dari kami

Malagoar & ChristianJCB

:

:)

Teach Me to Love as (Gay)Where stories live. Discover now