30. Togetherness part 4

11.8K 1.1K 97
                                    


"Theo, kita mau kemana?" Anthoni berteriak dari balik pungung Theo. Tadi selepas mereka dari makam, Theo mengajak Anthoni pergi ke bengkel dulu. Mengasih motor bebeknya keranjang depan, sebagai tempat Oreo duduk.

Dan sekarang, anjing kecil itu tengah duduk seorang diri di dalam keranjang. Memakai helm kecil. Juga syal yang melingkar di lehernya. Biar nggak masuk angin kata Anthoni.

"Tenang aja, nanti kamu bakal suka, kok," Theo menjawab, ikutan berteriak. Ia menyalipi beberapa mobil dan motor yang menghalau jalannya. Lalu akhirnya mereka berhenti di taman bermain yang dulu Anthoni pernah mengajaknya ke sini bareng Om Patrick.

"Kok kita ke sini, sih, Theo?" Anthoni melongo. Membiarkan Theo membantunya melepas helm. Ia lalu mengambil Oreo yang sedari perjalanan tadi kebanyakan memejamkan mata, karena Theo kalau ngebut nggak kira-kira. "Kenapa di taman hiburan?"

Masih belum mau menjawab pertanyaan Anthoni, Theo menggenggam tangan Anthoni dan mengajaknya masuk bersama. Antri di pembelian tiket. Kemudian ikutan berhamburan dengan para penikmat taman hiburan lain.

"Karena tempat ini adalah tempat yang paling berharga buatku, An," remasan Theo di tangan Anthoni semakin kuat. Ia salurkan hangat tubuhnya di tubuh ringkih itu. Lalu, karena takut Anthoni kedinginan, Theo merangkul Anthoni. "Di tempat ini, aku pertama kali akur dengan bokap."

Hal tersebut juga nggak akan pernah Anthoni lupakan. Rasanya sangat bahagia ketika mereka bertiga berkumpul, tanpa harus ditingkahi dengan adegan menyayat hati belakangan ini. Hanya ada keindahan. Kebersamaan. Dan ... rasa asing yang mulai mengintip perlahan di sana.

"Theo, aku mau es krim."

"Rasa apa?"

"Cokelat," Anthoni berkedip imut. Kemudian memegang ujung keliman baju Theo. Berbisik sadis di sana. "Theo, anak kita jangan dikasih es krim. Nanti bengeknya kumat. Ia anjing kampung. Makan es krim bisa batuk-batuk."

Dan Anthoni harus waspada. Telinga Oreo itu, udah berevolusi setajam telinga kelelawar. Ia dengarlah desas-desus suara Anthoni. Apalagi bahasa bisik-bisiknya sampai membuat tiga orang di dekat mereka menoleh ingin tahu.

Oreo ngamuk. Sangat. Ia menggonggong keji. Menyalak kasar kepada Mak. Untuk urusan makanan, biarkan si anjing kecil jelek menjengkelkan itu durhaka sebentar kepada majikannya. Ia nggak mau dizalimi. Ia udah terbiasa makan sushi, lalu sekadar es krim yang sekelas rakyat jelata itu main mengatainnya bengeknya kumat? Penghinaan! Pelecehan selera! Pembullyan karakter.

Lagian ... DEMI TUHAN ... Oreo nggak pernah sakit bengek!

Kurang ajar kau Mak empon-empon.

Theo tergelak melihat tingkah marahnya Oreo. Ia menggaruk belakang telinga Oreo. Dan si anjing itu merinding dibuatnya. Ia melihat penuh rasa berdebaran kepada Theo. Mata cokelatnya mengerjap kejut. Sentuhan tangan Theo di belakang telinganya tadi seperti mengalirkan setrum bergiga-giga watt kepadanya.

Oreo mendusel dada Theo. Minta dielus lagi belakang telinganya. Dan ketika Theo kembali mengelus belakang telinga Oreo, anjing biadab itu meleleh seketika. Tubuhnya merinding sekujur-kujur. Yang lebih parah lagi, tititnya bangun. Innalillah. Anjing bogel belum sunat itu, horny gegara elusan dari Bapaknya.

"Tong, kamu kok ngaceng, sih?" itu pertanyaan paling membikin sakit telinga dan sakit hati yang baru aja keluar dari bibir Anthoni. Teruna kerabatnya kunyit-kunyitan itu menarik tubuh Oreo dari gendongan Theo. Wajahnya memerah. Napasnya naik turun cepat. "Kamu horny dielus Bapak kamu?"

Kening Theo ngetril. Kaget. Nggak percaya. Ada gitu, anjing yang bisa horny gegara sentuhan tangan manusia?

Anthoni melirik Theo tajam. Matanya mendelik dibuat menakutkan.

Teach Me to Love as (Gay)Where stories live. Discover now