24. The Beginning II

14.2K 1.3K 226
                                    

Saya dedikasikan kepada Om ChristianJCB yang udah sabar dengan kesensitifan saya hari ini. Dan udah sukses buat saya baper sesorean. Huhuhuhu.

Vote, komennya kami tunggu selalu.

Yang tidak berkenan dengan cerita ini, kalian bisa langsung meninggalkan lapak usang ini. Terima kasih

Selamat membaca

Salam dari kami

Malagoar & ChristianJCB
.

.

.

.

Mata Theo terasa berat ketika ia mencoba membukanya. Perlahan, garis-garis cahaya putih menyatroni iris cokelat pinus Theo. Pemuda itu mengerang. Perutnya terasa terbelah. Ia mengaduh. Lalu, satu persatu pemandangan bangsal rumah sakit melayang di netra Theo. Ia mengerjap. Menyeimbangkan singgungan cahaya yang yang menyorot kuat di mata Theo.

"Aw...," Theo mengerang ketika ia mencoba bergerak tapi perutnya seperti tercabik. Menghunjaminya dengan tusukan rasa sakit.

"Lo nggak apa-apa?" Arial mendekatinya. Terlihat tegang dan khawatir. "Apa yang lo rasakan?" Arial cemas. Memeriksa kondisi Theo meskipun Arial nggak tahu apa yang ingin ia periksa.

"Hauuus...," Theo merengek lemah. Perutnya benar-benar memberikan suntikan rasa sakit luar biasa.

Buru-buru Arial mengambilkan air putih di atas nakas. Mengarahkan moncong sedotan ke mulut Theo, dan pemuda tanggung itu meminumnya perlahan. Setelah sedikit menenangkan diri. Dan mengingat-ingat kejadian terakhir yang menimpanya, Theo melirik Arial yang setia menanti di samping bed tempatnya berbaring.

"Anthoni...." ada nada kesedihan di sana. Perasaan Theo tetiba ngilu luar biasa. Ingatannya terpelecat di malam paling mengerikan yang pernah ia alami sepanjang hidupnya. Melihat Anthoni yang ditelanjangi. Lalu, dilecehkan seperti itu rasanya Theo murka. Ia nggak ingin sesuatu yang buruk terjadi kepada Anthoni. Pertanyaannya adalah, dari sekian banyak manusia, kenapa harus Anthoni? Kenapa harus orang paling berharga buatnya?

Theo nggak tahu. Dadanya sakit. Apa pun yang menimpa paru-parunya, Theo yakin itu adalah sesuatu yang sangat kuat hingga membuatnya kesulitan bernapas.

Sejenak, bangsal tempatnya rawat inap, terlihat senyap. Theo sampai menoleh ke arah Arial untuk memastikan bahwa teman sekosnya tersebut masih di sana. Dan Theo nggak tahu, kenapa perubahan mimik Arial terlihat sangat drastis. Wajah itu pias. Bibirnya terlipat dalam. Theo baru menyadari jika ada kantung mata tebal yang tercipta di bawah kelopak mata Arial. Ada apa?

"Anthoni...."

Lagi, mendengar nama itu disebut, ekspresi Arial terlihat seperti orang pesakitan. Arial resah. Itu sangat terlihat. Kentara di wajah kurang tidurnya. Arial memegang tangan Theo. Menyebarkan gelenyar rasa hangat kepada anak didik sahabatnya tersebut.

"Baik...," bahkan Arial nggak pernah menyangsikan kata tersebut adalah produk dari pita suaranya. Ada getar di sana. Ada ketakutan luar biasa di sana. Arial meremas tangan Theo. "Baik," tak hanya ingin menenangkan Theo, dengan satu kata tersebut, Arial mencoba meredakan gemuruh dari perasaan sakit yang nggak pernah ia alami sebelumnya.

"Dia bersama Om Patrick," sekali lagi, berita yang udah Arial rapal berkali-kali di kepalanya tersebut, Arial usahakan mampu menenangkan perasaannya. Walaupun nyatanya, nggak pernah ada yang tahu dengan kebenaran berita tersebut. Kondisi terakhir yang Arial ketahui dari sosok Anthoni sungguh membuatnya....

Teach Me to Love as (Gay)Where stories live. Discover now