End

24K 1.6K 829
                                    

Saya dedikasikan kepada Om ChristianJCB yang memiliki ide cerita luar biasa. Yang mengajari saya membuat cerita romantis. dan yang saya tunggu-tunggu oleh-olehnya.

Sebenarnya ini mau saya post Sabtu depan, tapi saya nggak enak ama yang punya cerita. Jadi, pulang kerja tadi saya langsung ketik cerita ini.

Mood saya sedang berantakan, makanya isinya gloomy-gloomy.

Selamat menikmati hidangan terakhir dari kami

Salam kami

Malagoar & ChristianJCB

.

.

.

.

Anthoni meringkuk di dalam kamar. Memeluk tubuhnya sendiri. Air matanya tak henti-hentinya mengalir. Bibirnya mengecupi kalung pemberian Theo tadi malam.

Tadi malam ....

Tadi malam ....

Adalah perpisahan paling menyedihkan yang pernah Anthoni lakukan. Ia sangat ingat bagaimana dari bibir itu Theo berjanji kepadanya bahwa ia akan segera pulang setelah satu musim. Kemudian memberikannya sebuah kalung pemberian dari mendiang Ibu tercinta.

Oh ...

Anthoni tak kuasa. Selama ini Anthoni hanya tahu bagaimana cara mencintai. Bagaimana cara berbagi kasih sayang. Anthoni belum pernah belajar melupakan. Anthoni belum pernah belajar menyembuhkan luka. Jika seperti ini kejadiannya, bagaimana dengan luka Anthoni? Harus seperti apa menyembuhkannya? Dengan cara apa supaya Anthoni bisa melupakannya?

Ah, pemuda imut tersebut kembali terisak. Air matanya berlomba-lomba dengan ingus yang membeleber. Kalung dari Theo berbentuk merpati yang terkalung di lehernya, ia kecupi sampai basah. Kedua mata Anthoni terpejam. Dadanya terasa sesak. Segala kebahagiaannya menguap. Menyisakan rasa sakit yang mengendap dan berakar kuat di sanubarinya. Nama Theo berkali-kali ia sebut dalam nada putus asa.

Yang dilakukan Anthoni tak lebih dari sekadar merasakan cinta. Cinta yang pada akhirnya berakhir. Terpisah jarak dan waktu. Anthoni takut. Takut jika di antara perbedaan yang membentang kuat itu, ia kehilangan cintanya. Ia kehilangan kepercayaannya.

Ah ... sekali lagi Anthoni terisak. Nama Theo ia sebut. Air mata ke mana-mana. Ingus bersusulan. "Theo ... hiks ... Theo ...."

"An...," Arial mengusap punggung Anthoni lembut. Menepuk-nepuknya pelan. "Sebentar lagi pesawat Theo akan terbang. Lo nggak mau ngantar Theo ke bandara?" ia melirik jam tangan. Cemas merambati nada bicaranya. "An, gue ama anak-anak berangkat ke bandara, mengantar Theo berangkat. Kalau lo mau, lo bisa ikut ama kami."

Dan melihat bagaimana punggung yang beberapa bulan ini menopang sempurna tubuhku pergi jauh ditelan langit meninggalkanku? Aku nggak bisa, Ial. Aku nggak kuat. Aku nggak akan tahan melihat Theo pergi. Anthoni menggeleng berkali-kali. Menyembunyikan wajahnya di bantal guling.

Arial menatap Oreo yang sedari tadi duduk termenung di samping Anthoni. Sebelah kaki Oreo terjulur, mengusap lengan Anthoni lembut berkali-kali. Manik mata cokelatnya terlihat sedih. Oreo kemudian mencondongkan tubuhnya, mengusap wajahnya di lengan Anthoni sambil meringik-ringik lirih berkali-kali.

"An, Theo bakal seneng banget kalau lo bakal datang. Dia pasti berharap lo datang di hari keberangkatannya ke Amerika. Coba lo datang, An. Kasih dukungan buat Theo."

Teruna mini tersebut kembali menggeleng. Terisak semakin liar. Ingusnya meluber. Air matanya menganak pinak. "Aku nggak bisa, Ial," ia sesenggukan. Kuncup hidungnya sampai memerah. "Aku nggak kuat melihat Theo pergi. Aku sakit, Ial. Theo udah menjadi bagian dariku. Aku nggak mau lihat Theo pergi. Aku nggak mau lihat dia. Biar dia pergi sendiri. Biar dia berangkat sendiri. Theo jahat. Theo jahat. Aku ditinggal sendirian. Theo jahat. Dia udah janji nggak ninggalin aku, Ial. Tapi pada akhirnya ia ninggalin aku juga."

Teach Me to Love as (Gay)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora