12. Cobaan Terberat

17.4K 1.6K 268
                                    



Selamat malam. Saya dan ChristianJCB datang lagi. Chap ini gak aku edit, jadi kalo ada typo kasih tahu ya.

Selamat menikmati...

Salam kami

Malagoar & ChristianJCB

.

.

.

.

.

.

Suasana jadi sedikit awkward ketika Anthoni menyuarakan suara hatinya. Pelukan Om Patrick merenggang. Usapannya pada punggung Anthoni terhenti. Kemudian Om Patrick menggeser pantat menjauh. Melepas pelukan. Mengusap-usap kedua telapak tangan canggung, sembari melayangkan pandangannya ke arah lapangan sana.

Udara malam dingin menggigit. Berduaan, bahkan berpelukan dengan homo sedikit mesum seperti Anthoni bukan merupakan hal baik buat lelaki straight seperti Anthoni. Di matanya Anthoni hanyalah anak manja yang butuh kasih sayang dan perhatian. Lebih cocok dijadikan adek buat Theo daripada kaka. Ya ampun, lelaki cebol tak lebih dari 155 cm itu, dengan wajah unyu kayak marmut itu, mana cocok coba jadi kakak buat Theo yang notabene memiliki tubuh sereting dengan Hulk.

Om Patrick menggaruk tengkuk. Tersenyum garing. "Cuaca cerah, ya."

Lalu geluduk bergemuruh. Kilat berwarna putih keperakan berpendar di langit-langit malam. Lap-lap gitu. Angin semakin berembus. Menggesek-gesekkan daun-daun pohon sengon yang ada di atas mereka.

"Iya, Om," Anthoni ikutan nyengir. "Cerah banget cuacanya."

Geledek lagi. Lebih kencang. Anak-anak yang sedang latihan sepakbola pada membubarkan diri. Anthoni melirik Om Patrick yang masih memasang pose hari-ini-cuaca-cerah.

"Mungkin besok matahari akan bersinar terang."

Oh ayolah dua orang cerdas yang lagi dilanda keadaan awkward. Stop being stupid. Cuaca lagi nggak bagus. Lagi nggak cerah. Lagi nggak ada tanda-tanda besok matahari akan bersinar terang. Anthoni nyengir. Menambahkan bualan indah yang hanya mereka sendiri yang tahu maknanya.

"Iya, Om, cocok buat bercocok tanam."

Dasar homo suka tipu. Sedetik Anthoni mengucapkan kalimat indah penuh guna-guna itu, petir menyambar-nyambar, lalu hujan deras turun membasahi mereka. Anthoni dan Om Patrick menyudahi opera sabun yang sedang mereka peragakan. Lalu berlarian kembali ke kos-kosan.

Arial dan Theo menelisik tubuh mereka yang kuyup. Tatapan dua pemuda yang baru aja tauran itu menelanjangi. Menuntut sebuah penjelasan kenapa-kalian-berdua-basah-basahan?

Melihat Theo, Anthoni masih merasakan rasa sakit hati. Dia langsung menerobos ke kamar mandi. Mengambil handuk untuk mengeringkan rambut dan sekujur tubuh. Dalam hati merutuki nasibnya yang seolah terikat dengan takdir orang kaya tersebut.

Tadi pagi dia dicekik, dihempaskan, dibuat malu, ditolak karena gay, dan baru aja malam ini dia dihina-hina nggak manusiawi, dikatai berpenyakitan seperti apalah. Namun, dari segenap rasa sakit hati yang tertuang menggunung di haribaannya, semua seolah sirna begitu aja ketika Om Patrick menceritakan masa lalu Theo. Ah ... Anthoni emang mudah banget simpati.

Anthoni terpejam. Kedua tangannya mencekal sisi westafel. Dia menunduk. Air hujan di ujung rambutnya menetes-netes. Tubuhnya bergetar. Kilasan masa lalu berkelebat-kelebat. Enam tahun silam ... ya enam tahun silam merupakan awal dari semua kemalangan nasibnya. Bisa Anthoni rasakan kesakitan itu sejelas ia mengenali tiap lekuk tubuhnya. Bisa ia raba perih itu sejelas ia meraba kulit tubuhnya sendiri.

Teach Me to Love as (Gay)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang