29. Togetherness part 3

Start from the beginning
                                    

Anthoni makin sangar, lah. Makin ngamuk, lah. Geram, karena cita-citanya disebut sebagai cowo ganteng tak Arial wujudkan, Anthoni meninju perut kotak-kotak Arial kasar. Tapi nyatanya, malah kepalan tinjunya yang kesakitan. Malah ia yang meringis karena nggak bisa menonjok lekukan-lekukan perut Arial yang terbentuk sempurna.

"Ial, kamu jahat!"

Dan sahabat sekos Anthoni itu kian mengakak kencang melihat kejengkelan Anthoni. Matanya sampai berair. Ini sumpah, Anthoni lucu banget. Bikin orang kena diabetes aja kalau dekat-dekat dengannya.

Anthoni menghampiri kardus kecil di dalam kamar tersebut. Menjumpai Oreo yang memicingkan matanya menatap Anthoni. Manusia bongsai itu jongkok. Mengangkat tubuh Oreo. Mengancam Oreo melalui picingan matanya. Sekarang Arial baru sadar, dapat pelajaran dari mana seringai dan picingan mata Oreo selama ini. Anthoni emang guru sekaligus Emak yang patut dicontoh.

"Tong, Mak kelihatan ganteng nggak?"

Dan pertanyaan itu sama aja menginjak-injak harga diri Oreo. Anjing jelek itu nggak sudi dipanggil Tong. For apa pun sake, ia anjing sekelas bangsawan. Yang seminggu dua kali makan sushi. Yang minumnya susu soya. Yang mandinya pakai sabun rasa melon. Yang sehabis mandi kudu dibubuhi minyak telon dan bedak bayi biar nggak masuk angin.

Memanggilnya Tong sama aja menjatuhkan harkat dan martabatnya. Oreo ngga suka itu.

Anjing itu berpaling. Mencebikkan bibir. Menutup mata. Ia nggak ingin menatap mata jelek Maknya yang seenak udelnya main mengganti nama Oreo menjadi nama Tong.

"Tong, tatap mata Mak, Mak terlihat ganteng nggak?" Anthoni geram.

Oreo pun tambah geram. Kuping Oreo panas donk main dipanggil-panggil pake sebutan buat rakyat jelata itu. Nggak maulah ia.

"Tong, buka mata kamu. Jangan jadi anak yang durhaka. Tatap mata Mak. Mak ganteng nggak?"

Oreo tak sudi membuka mata barang sekerjap pun. Kembalikan dulu panggilan Oreo, baru ia menoleh kepada Anthoni. Kedua kaki depan Oreo bersedekap. Memberikan pertahanan. Jangan sampai Mak tukang paksa itu bisa membujuknya. Atau merayunya.

"Tong, jangan bikin Mak marah."

Guk-guk itu masih bergeming. Di belakang mereka, Arial semakin santer tertawa. Ia mendekati Anthoni. Menepuk punggung Anthoni. Lalu berujar;

"Udah deh, An, kan udah gue bilang, kalau lo itu manis. Nggak ganteng. Anak semata wayang lo pun sampai nggak mau ngakuin kalau lo itu ganteng. Terima kenyataan napa sih? Iya nggak, Oreo?"

Ajaibnya, begitu nama Oreo disebut Pak Dhe Arial, mata si guk-guk langsung terbuka lebar. Manik cokelatnya mengerjap. Lidahnya terjulur-julur. Ia lalu menggonggong liar. Menyuarakan kebahagiaannya, akhirnya di dalam satu kamar ini ada juga yang waras yang memanggilnya Oreo. Bukan Tong. Demi Tuhan, Oreo bukan gentong. Tubuh Oreo sehat. Perutnya kotak-kotak karena sering latihan gym. Kakinya kuat, keseringan lari. Wajahnya maskulin. Dan mau menamainya Tong? Ngaca sana pria kerdil! Martabat Oreo jauh lebih tinggi daripada remahan upil di belahan bumi mana pun.

Anthoni semakin ngambek. Menatap jengkel ke arah Arial dan Oreo secara bergantian. Lalu Anthoni bangkit. Menyerahkan Oreo ke tangan Arial. Anthoni menyambar jaket Theo. Memakianya asal. Hendak keluar dari kamar kos ketika ia teringat sesuatu. Anthoni menghadapi Arial lagi. Masang tampang nggak suka lagi, lalu tatapan iris hitamnya jatuh ke wajah Oreo yang masih mengolok-oloknya.

"Kamu dengar ya, Tong, kamu lihat jaket yang aku pakai ini?"

Refleks kelereng Oreo bergulir ke jaket yang dipakai Anthoni.

"Masih ingat ini jaket siapa?"

Arial semakin menyangka dirinya nggak waras, ketika mendengar pertanyaan dari Anthoni tersebut, Oreo mengangguk lemas.

Teach Me to Love as (Gay)Where stories live. Discover now