24. The Beginning II

Începe de la început
                                    

"Sama Papa?" suara Theo terdengar kering. Arial kembali mengangsurkan minuman buat pemuda itu. "Dia baik-baik aja? Serius?" Theo nggak tahu sekarang hari apa, udah berapa hari ia tertidur, dan udah berapa lama kejadian naas teresebut terjadi.

"Anthoni baik-baik aja, Theo, kamu nggak usah khawatir," bersamaan dengan terlucutnya kalimat tersebut, hati Arial tak pernah sekhawatir ini. Sahabatnya. Orang yang selama ini tidur satu ranjang dengannya. Orang yang selama ini selalu ceria. Selalu ceplas-ceplos. Orang yang nggak pernah terlihat sedih sedikit pun. Bagiamana ceritanya ia bisa sampai seperti itu? Menyayat perasaannya tanpa ampun. Mengganyang air matanya bukan main.

"Lo bisa cerita ke gue, bagaimana lo bisa ada di sana malam itu?" Arial bertanya setelah beberapa menit di antara keduanya terbebat senyap. "Karena jujur gue nggak sadar Anthoni keluar dari hotel tempat kami menginap. Gue terbangun, tahu-tahu Anthoni nggak ada. Gue kelabakan mencarinya. Gue keluar hotel guna mencari dia. Ke semua tempat, sampai gue menemukannya di gang dalam keadaan udah seperti itu dan lo tak sadarkan diri."

Theo menelan ludah. Mengingat-ingat. Dan jujur, itu adalah kenangan yang ingin ia hapus dari memori di kepalanya.

"Lo kemana seharian pergi sampai membuat Anthoni resah."

Theo tahu segala keresahan Anthoni. Ponselnya tak pernah berhenti berdering dari nama Anthoni. Andai aja ia segera menjawab panggilan Anthoni, nggak perlu menunggu dan menunda-nunda, semua pil pahit di ujung gang kala itu nggak akan pernah terjadi. Anthoni nggak akan dilecehkan. Ia nggak akan pernah ditusuk, meskipun jujur, mendapat luka tusuk seperti ini udah sering Theo alami.

"Kemarin itu adalah hari kematian nyokap gue," jeda sesaat, "gue selalu meluangkan waktu sehari penuh ke makam nyokap gue untuk mengenang hari-hari gue ama nyokap."

Preman berhati hello kitty rupanya. Arial nggak pernah tahu tentang hal itu. Yang jelas, ia menaruh simpati buat anak didik Anthoni tersebut.

"Lalu kok lo bisa ke tempat Anthoni dilecehkan?"

Dua tegukan ludah Theo sebelum ia menjawab. "Malam itu gue kebetulan baru pulang dari makam. Lalu Anthoni telepon. Gue angkat telepon ketika yang menjawab malah suara orang lelaki yang sedang mengancam. Gue kelabakan mencari keberadaan Anthoni. Gue lacak pakai GPS nomernya, dan alhasil gue ketemu di gang kecil itu," bulu-bulu di sekujur tubuh Theo merinding. Demi Tuhan Theo ingin menghapus kenangan buruk itu dari sana. Melukai Anthoni adalah cari paling ampuh menyakitinya. Dan sekarang, tak hanya perut Theo yang rasanya seperti terbelah, seluruh hatinya pun ikutan nelangsa.

"Gue ingin lo berjanji ama gue," Theo bersuara penuh keyakinan. Ia manatap Arial tegas.

"Apa?" Arial mengernyit. Tangannya terlepas dari genggaman tangan Theo. Menjauhkan diri. Melihat orang sakit mampu memberikan smirk itu bukan berita bagus. Theo memang masih SMA, tapi ia udah dua puluh tiga tahun. Seusianya. Arial nggak takut. Hanya waspada.

"Cukup sehari dalam setahun, lo boleh membawa kemana pun Anthoni pergi semau lo tanpa izin ke gue. Karena hari kematian nyokap gue adalah hari gue seharian penuh bercengkerama bareng beliau."

Arial memiliki orangtua lengkap. Mama ama papanya selalu mendukung setiap langkahnya. Namun, melihat bagaimana Theo memberikan perhatian penuh kepada ibunya yang udah meninggal, entah kenapa Arial merasa malu kepada dirinya sendiri. Ia belum pernah berada di titik dimana ia mengagungkan orangtuanya sedemikian tinggi, sebagaimana Theo menghargai dan menyayangi mendiang ibunya sebegitu dalam.

"Gue harus janji apa?" ada sedikit rasa kagum di dada Arial kepada pemuda itu. Rasa sayang Theo kepada ibunya patut menjadi contoh buat Arial.

"Jangan pernah sekali pun mengajak Anthoni pergi tanpa sepengetahuan gue! Jangan pernah membawa Anthoni keluar tanpa seizin gue! Satu hari dalam setahun lo boleh membawa kemana pun Anthoni pergi. Tapi dilain hari itu, gue larang lo mengajak Anthoni keluar tanpa izin dari gue!" Tegas. Tak bisa terbantah. Raut wajah dengan rahang yang mengeras itu tak mau satu ucapannya disanggah Arial.

Teach Me to Love as (Gay)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum