13. Kontradiksi

Magsimula sa umpisa
                                    

Arial yang selalu pakai cangcut saat tidur itu menoleh ke arahnya. Jendulan selangkangannya tersentuh kulit tangannya. Anthoni membeliak. Melotot tajam. Sengaja ia gerakkan jemarinya di jendulan Arial, dan sensasinya ... wow. Keras, berteksture, berjendal-jendul. Ya Tuhaaan... cobaan seperti apa ini. Anthoni mencoba menggerakkan jemarinya lagi. Keringat bermunculan di pelipis. Bagus banget sih. Ah... darah Anthoni berdesir. Saat dia ingin sekali lagi menyentuh benda itu, Anthoni kicep. Jangan, Nak. Hapus pikiran itu. Hapus!

Ya ampun ini dilema. Dilema. Akhirnya malam itu, Anthoni terjaga. Menjaga gerik tubuhnya supaya nggak mendarat di landasan yang ingin banget dia jamah. Matanya melotot. Sampai pagi. Sampai merah semua dinding korneanya. Ngantuk berat. Dengan kepala yang nggak bisa ditegakkan lama-lama. Lalu ia bersin-bersin. Hidungnya beringus bening. Di kepala sangat pening.

"Mata lo kok merah?" Arial keluar dari kamar mandi. Biasanya, itu adalah hal yang paling Anthoni gandrungi. Lekukan tubuh Arial yang basah adalah berkah untuk dipandang. Tapi pagi ini, Anthoni nggak nafsu. Demam agaknya.

Dia hanya menggeleng untuk sesuatu hal yang nggak jelas. Lalu menidurkan kepala di atas meja belajar. Tak lama kemudian, Theo keluar dari kamar mandi setelah mandi kilat sesudah Arial tadi. Bertelanjang dada kayak Arial. Ah Anthoni mau melayang. Sekarang di kamar kosnya ada dua Adam sempurna memiliki tubuh menggiurkan dan sama-sama nggak pake baju. Coba kalau mereka nggak pakai sempak, pasti demam Anthoni akibat begadang bisa langsung sembuh. Ah Anthoni melantur.

"Theo," panggil Anthoni, menaikkan kepala. Theo tak menyahut, mengambil seragam di tumpukan almari. "Nanti pulang sekolah kamu langsung pulang. Ini hari pertama kamu les privat. Jangan sampe telat."

Tak ada jawaban. Theo memakai seragam. Main lempar handuk seenaknya, menampakkan bakpao rasa lain bersempak biru donker. Ah Anthoni lagi-lagi masih sakit, jadi dia nggak bersemangat dengan pemandangan ini. Ia hanya cemberut. Ucapannya tak ada yang disahut.

"Lo kalau diajak ngomong tuh jawab, donk. Punya mulut kan lo? Atau jangan-jangan lo bisu lagi, nggak bisa bicara!" Arial menyalak tiba-tiba. Melanggar bahu Theo gemas.

Theo menghardik tangan Arial. Menatap nyalang. Lalu menoleh ke arah Anthoni yang mengenaskan. Berharap bisa segera sembuh, supaya bisa menikmati panorama keajaiban yang Tuhan berikan kepadanya.

Jeda sesaat. Lalu dengan enggan, tiga anggukan kaku kepala Theo menyudahi debat pagi ini. Masih belum mau menjawab, Theo yang udah selesai berseragam, menyambar tas punggung. Tatapannya terlempar ke arah Anthoni dan Arial bergantian, lalu hengkang dari sana.

Arial buru-buru mendekati Anthoni, dasar matanya mengisyaratkan rasa bela sungkawa. Ia mengelus lembut surai beraroma strawberry Anthoni, kemudian berujar, "Kalau lo butuh bantuan, lo langsung hubungin gue. Ingat, mulai kemarin, hidup gue itu hidup lo. Milik gue itu milik lo. Lo nggak usah sungkan. Gue akan marah kalau lo nyembunyiin semuanya dari gue. Mengerti?"

"HATCIIIM!!" ingus Anthoni keluar lagi. Ia buru-buru meperin piyama kedodorannya untuk mengelap ingus. "Iya, Ial," sahutnya lesu. Menjatuhkan kembali kepala di atas meja.

"Apa gue nggak usah kuliah aja, ya? Lo sakit gini. Nggak tega gue ninggalinnya." Kening Arial mengernyit tajam.

Anthoni sontak mendengak. Menggeleng tegas. "Ial nggak boleh bolos di hari pertama kuliah. Ial harus masuk. Aku nggak apa-apa, kok. HATCHIIIM. Ial nggak usah khawatir. Cuma demam do―HATCHIIIM―ang kok." Anthoni kewalahan mengelap ingusnya.

Arial buru-buru mengambil tisu yang ada di kotak bergambar Keroppi kesukaan Anthoni. Mengelap lembut ingus Anthoni yang meleleh-leleh. Lalu kembali merengut. "Kaya gini dibilang nggak apa-apa? Gue nggak masuk kuliah. Oke? Kita ke dokter."

Teach Me to Love as (Gay)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon