"Oh iya satu lagi, dia suka alunan piano, tapi sayangnya dia nggak bisa main piano." sambungnya lagi dengan memberikan senyum diakhir pembicaraanya.

Kali ini aku tidak bisa membohongi fikiranku lagi, sejak awal dia menceritakan tentang Rayya, segala fikiran negatifku keluar begitu saja.

Bagaimana dia bisa mengetahui kalau Rayya senang mendengarkan alunan piano ? Bahkan aku sendiri tidak pernah mengetahui hal itu, siapa dia ? Apa dia pernah menjadi orang yang spesial di hidup Rayya ? Tapi setahu aku hanya Fadil orang yang terdekat dengannya.

"Wow ternyata lo benar penganggum Rayya ya !" Jawabku tanpa banyak bicara yang bertele-tele.

pria itu tersenyum ke arahku, bukan lebih tepatnya ke arah cewek-cewek yang sedang duduk di halte sekolah, cowok playboy. Terlintas di fikiranku, pria itu sepertinya cowok playboy, sepertinya untuk apa juga aku cemburu, bukannya cowok playboy selalu punya taktik untuk mendapatkan cewek idamannya, jadi wajar saja jika cowok yang ada di hadapanku ini, mengetahui semua tentang Rayya.

"Tentu, gue sih berharap Rayya bisa sadar, bahwa dia punya penganggum berat." Cowok itu menoleh kearah pintu gerbang, "tuh Rayya muncul, gue duluan ya." Jawabnya sambil pergi berlalu dengan sepedah motornya yang mirip dengan yang Fadil pakai, hanya saja beda warna.

Aku langsung menoleh ke arah Rayya, sepertinya dia merasa terkejut dengan kehadiranku, aku tersenyum memandangnya, Rayya pun kembali tersenyum, lalu berbicara ke Fadil dan kedua sahabatnya, entah apa yang dibicarakannya, yang jelas semua sahabatnya mengangguk setelah Rayya menunjukan jempolnya, dan mereka semua pergi kearah parkiran, tidak lupa Fadil memberikan lambaian tangannya kearahku, lalu pergi bersama salah satu sahabat Rayya.

"Jho kok nggak kasih tahu aku kalo mau datang ?" Sapanya.

Aku terkekeh, "memang kalo mau jemput pacar harus bilang-bilang ya ?"

Rayya tersenyum, "nggak sih, tapi hari ini aku mau langsung ke toko gaun untuk ketemu kak Verra." Jawabnya dengan wajah yang tertunduk, aku tahu Rayya pasti merasa bersalah jika aku sudah menunggunya lama, tapi justru dia malah mau bertemu dengan seseorang.

"kalo gitu aku antar." Jawabku, sambil menyuruhnya untuk masuk mobil.

Di dalam mobil Rayya terdiam, entah apa yang dia fikirkan, tapi dari wajahnya Rayya terlihat murung. Andai saja aku bisa membaca fikiran, mungkin aku tidak perlu menanyakan apa yang sedang terjadi dengannya.

"Kamu kenapa Aya ?" Tanyaku.

Rayya menoleh kearahku dan menggelengkan kepalanya.

"Kasian deh Dinda, dia baru saja melihat pacarnya bergandengan tangan dan berpelukan, walau dia tidak melihat secara langsung." Tanyanya.

Aku tersenyum, ingin rasanya aku menjawab bahwa hari ini aku pun merasa hal yang sama dengan Dinda, hanya saja bedanya cowok itu yang berbicara langsung kepadaku, walau aku tidak tahu pasti apa Rayya pernah bergandengan tangan apa tidak dengannya, yang jelas aku yakin itu tidak pernah.

"Terus kok kamu yang murung gitu ?" Sahutku.

"Ya aku kasian jika sahabat aku di perlakukan seperti itu, gimana kalo kamu ngerasain di posisi Dinda, apa yang kamu lakuin ?" Rayya berbicara dengan seriusnya sampai dia tidak sadar ponselnya sejak tadi berdering.

"Kak Verra berisik deh, sebentar !" Rayya bergurau kesal, dan langsung mengangakat ponselnya yang sejak tadi berbunyi, aku fikir dia tidak mengetahui bahwa ponselnya berdering.

Cinta Beda RasaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora