Eighteenth

644 60 10
                                    

"Gue bahkan udah nyuruh Pak Edi ngusir dia. Tapi emang dasar telinganya bebal, gak mempan walaupun udah di usir." Gerutu Dara. Cewek itu lalu menghempaskan tubuhnya ke ranjang.

Sementara Anya mendesah gusar di sela-sela pengamatannya dari balik kaca jendela. "Apa gue perlu keluar buat denger penjelasannya dia?"

"Umm.." Dara menghempaskan majalah yang sebelumnya ia baca. "Tapi sekarang lagi hujan, Nya. Nanti lo sakit."

Saat Anya memutuskan untuk menutup jendela dengan korden, Gerald menaikkan tatapannya. Membuat Anya menahan nafas karena pertama kali melihat wajah serapuh itu.

"Itu beneran Gerald?" Tanya Anya, otaknya seolah menolak kalau cowok itu benar-benar Gerald.

Dara bangun dari tidurnya, melangkah mendekati Anya dan berdiri di samping cewek itu. "Iya. Raut wajahnya udah kayak peminum kelas kakap." Cibir Dara.

"Gue mau nemuin dia." Putus Anya kemudian, tanpa perlu repot-repot mendengar pendapat Dara.

Begitu sampai di teras, Anya mengambil payung merah bunga-bunga di sudut garasi, lalu berlari kecil sambil membuka payung dan menaruhnya di atas kepala.

Saat Anya mendorong gerbang sebatas bahunya, ia melihat Gerald menunduk lesu, dengan tangan di masukkan ke saku celana jeans. Badannya sudah basah kuyup. Bahkan Anya dapat melihat baju kaos putih yang di kenakan Gerald di balik kemeja abu-abunya.

"Rald."

Saat Gerald menaikkan tatapannya, Anya tidak sadar bahwa ia sudah menahan nafasnya selama beberapa detik.

"Anya." Suara lirih Gerald membuat dada Anya tiba-tiba terserang sesak. Cewek itu hampir menjatuhkan payungnya, namun Gerald memegang tangkai payung itu dan menggiringnya hingga kembali berdiri tegap.

"Jangan sampai kehujanan." Sahut Gerald lembut. Tetes air hujan membuat bibir Gerald memutih dan sedikit bergetar.

Perlahan, Anya mendekatkan dirinya pada Gerald, berniat berbagi payungnya pada cowok itu. Anya mendongak untuk melihat wajah Gerald, sementara Gerald tersenyum tipis. setipis lembaran kertas HVS.

Anya terlambat untuk menyadari saat Gerald tiba-tiba menarik lengan Anya dan memeluknya. Membuat payung di tangan Anya terjatuh secara otomatis.

Lengan Gerald melingkari pinggang Anya, memeluk cewek itu secara posesif. Satu tangan Gerald menuntun Anya untuk bersandar di dadanya. Sementara kepala cowok itu berpangku di bahu Anya. Tak lupa ia memejamkan matanya.

"Maaf. Gue gak sengaja,Nya. Maaf."

Entah kenapa, rintihan Gerald terasa menyakitkan di gendang telinga Anya. Seolah tidak puas dengan rintihan, untuk pertama kalinya, Anya melihat cowok sebesar Gerald menangis.

***

Sheila melihat keluar jendela. Hari semakin gelap, beriringan dengan hujan di luar sana yang semakin deras.

Beberapa hari ini, ia dan Gerald tidak saling bicara. Hanya saling membantu dalam keheningan. Seperti saat Sheila menyiapkan Gerald sarapan, Sheila hanya menaruh sandwich di atas meja, dan Gerald makan tanpa berbasa basi ataupun mempermasalahkan sayur yang terlalu banyak dalam sandwichnya.

Sheila mendesah, lalu melirik ke arah jam dinding yang terletak di sudut kamar. Sudah jam sepuluh malam. Sekelebat pemikiran hinggap di kepalanya.

Maka, Sheila mengambil jaket yang tergantung di dinding kamar, memakainya sambil berjalan keluar rumah.

Di bawah payung berwarna biru dongker, Sheila berjalan. Sesekali melompat jika terdapat genangan air di sisi jalan. Ia berbelok saat sudah berada di pertigaan jalan. Mengambil jalur kanan dan berjalan beberapa lagi untuk berbelok ke kiri.

Saat ia masuk ke kompleks perumahan Graha Permai, mata Sheila memicing. Langkah kakinya teratur mendekati objek yang menyita perhatiannya.

"Gerald?" Tanya Sheila pada dirinya sendiri. Seketika ia mengencangkan pegangannya pada tangkai payung hingga buku-buku jarinya memutih.

Di bawah lampu jalan yang memancarkan sedikit cahaya kekuningan, Gerald di sana, memeluk Anya posesif seolah tidak ada yang bisa mengambil cewek itu dari Gerald. Beberapa detik, Sheila hanya terdiam, terpaku pada tempatnya berpijak. Hingga satu kesadaran dan tekad bulatnya hadir, cewek itu berlari setelah menghempaskan payung birunya hingga terpental ke bahu jalan.

Badannya sudah basah kuyup saat ia sampai di ruang tamu rumahnya. Sheila menangis, namun bukan tangisan yang bisa membuat bayi terbangun dari tidurnya. Ini jenis tangisan yang tertahan, dan terdengar pilu di saat bersamaan.

Sheila menggapai ponselnya yang berada di atas nakas. Lalu cewek itu duduk, bersandar pada nakas dengan kaki menekuk. Ia memencet beberapa tombol hingga panggilannya tersambung pada seseorang.

"Paa." Lirihnya.

"..."

"Aku pengen ke London. Dan Gerald harus ikut. Gimanapun caranya."

***

YOUHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin