Tenth

888 63 2
                                    

Seharusnya, malam ini Gerald berada di rumah, bersantai di sofa empuknya sambil menyesap cokelat hangat lalu tidur di kasur king sizenya dengan nyenyak dan aman.

Ya, seharusnya.

Gendang telinganya hampir saja meledak karena house musik yang memekakan telinga dan mendebarkan jantungnya, sementara matanya silau melihat lampu-lampu berkilauan seperti ada seseorang yang menaruh bohlam tepat di depan matanya sehingga matanya harus memicing mencari sosok Anya di tengah lautan manusia ini.

Namun dalam sekejap, tangan Gerald di tarik oleh seseorang menuju gerombolan orang-orang yang kurang kerjaan dengan mencoret-coret baju maupun wajah mereka menggunakan semprotan berisi cat, seperti saat pesta kelulusan.
Seiring dengan tubuhnya yang semakin di tarik ke dalam, warna-warna mencolok semakin gencar menempel di baju dan wajahnya.

Oh, shit!

Begitu genggaman mereka terlepas, seseorang yang ternyata Anya nyengir melihat tampang datar Gerald. "Ayo bersenang-senang, hanya malam ini" Pekik Anya di tengah kerasnya volume musik seraya menyodorkan semprotan kaleng berisi cat ke dada Gerald.

Gerald meraihnya, lalu memandangnya dengan sebelah alis terangkat. "Apa ini gas yang berbahaya untuk mata?"

Anya terkekeh. Namun belum sempat Anya menjawab, semprotan cat berwarna merah muda mengenai sebagian wajahnya, di iringi gelak tawa perempuan yang ia tak tau siapa.

Anya menunduk, membuat otak Gerald mengirimkan sinyal siaga satu.

"Mata lo gak kenapa-kenapa kan, Nya?. Udah gue bilang gas ini tu-" Gerald sedikit terperanjat saat Anya menaikkan tatapannya lalu nyengir, menampilkan deretan giginya yang sudah berwarna merah muda.

"Ayo mulai!!" Anya menyemprotkan cat berwarna biru tepat di wajah Gerald, membuat cowok itu terkesiap lalu mundur selangkah.

Gerald mencoba membuka matanya lalu berkedip. "Hey! apa ini embun es yang berwarna warni?" Gerald mencecap embun yang menempel pada sisi bibirnya yang membuat sebagian wajahnya dingin.

Anya menjulurkan lidahnya lalu bertingkah konyol dengan berjoget ala tarzan lalu menghilang di tengah kerumunan orang yang melakukan kegiatan sama seperti mereka.

Gerald tersenyum, menampilkan barisan gigi rapinya lalu menempelkan telapak tangannya di depan bibir, membentuk teropong lalu berteriak, "Awas lo, idiot!!"

Cowok itu berlari, mencari sosok Anya yang mungil membuat kepalanya harus menunduk dan pasrah saat rambutnya basah serta berwarna warni akibat di semprot orang yang bahkan ia tidak tahu wajahnya.

Di lihatnya punggung Anya yang terdiam, kepalanya menoleh kesana kemari. Gerald lalu terkikik, menepuk bahu Anya dari belakang dan menyemprotkan gas berwarna tepat di depan wajah Anya. "Muka lo warna warni, kayak badut. Hahaha" Ejeknya seraya menunjuk-nunjuk wajah Anya yang kini sudah berwarna warni tak berbentuk.

Untuk malam ini, Gerald tidak peduli apapun lagi. Ketidak sukaannya pada keramaian seolah hilang di gantikan oleh senyuman yang tiada henti terhias di bibir mereka berdua.

***

"Aku gak apa-apa, Pa"

"Jangan mencari banyak Alasan,Shei. Apakah kamu mau pengorbananmu selama ini sia-sia?"

Sheila berdecak, ia melirik selang infus yang terpasang di lengan kirinya. "Sheila takut kalau Gerald gak mau"

Seseorang di seberang telfon itu tampak mendesah, "Cepat selesaikan sekolahmu di Indonesia dan kembali ke London, bersama Gerald"

"Tapi pa-"

Sambungan telfon terputus, membuat Sheila berdecak lagi dan melempar handphonenya ke sembarang arah.

Ia memilih memikirkan masalah ini sambil tidur di ranjang rumah sakit sendirian. Sheila terbiasa dengan keadaannya yang selalu sendiri tanpa siapapun karena Ayah yang ia miliki satu-satunya mempunyai perusahaan besar di London dan harus menetap di sana.

Pandangan Sheila mengabur kala mengingat bagaimana raut wajah Gerald saat menceritakan sosok Anya padanya. Bagaimana rasa sakit yang terpancar dari mimik wajah Gerald karena harus berpura-pura benci pada Anya untuk waktu yang lama terasa menusuk hatinya.

Tapi saat Gerald memutuskan berhenti untuk melakoni drama ini, Sheila tidak lagi mengenal Gerald yang selama delapan tahun ini tumbuh dan hidup bersamanya.

Mungkin ini terdengar klise, tapi inilah kenyataannya. Bahwa Sheila yang menjadi satu-satunya orang yang tau apapun yang Gerald alami. Semenjak insiden Gerald membunuh pengasuhnya, Sheila lah yang Gerald butuhkan. Sheila yang menjadi tameng serta penghibur saat Gerald merasa terpuruk. Hingga akhirnya empat tahun yang lalu saat Ayah Sheila harus pindah ke London, Sheila memilih tinggal bersama Gerald dengan alasan Gerald yang akan mengurusnya.

Seperti halnya Sheila, Gerald pun telah di anggap anak oleh Ayah Sheila. Saat ayah Sheila menemukan Gerald menangis sendiri di teras rumah, pria tua yang merupakan tetangga sekaligus mitra kerja almarhum Ayah Gerald tu merasa iba lantas mengangkat Gerald sebagai anaknya yang otomatis menjadi kakak angkat Sheila.

Sheila melirik jam dinding di hadapannya. Sudah jam dua belas malam. Gerald tidak pernah pulang selarut ini sebelumnya.

Namun, belum genap satu menit Sheila memikirkan hal itu, pintu kamarnya terbuka, menampilkan sosok Gerald dengan wajah freshnya seperti habis mandi.

"Lo belum tidur, La?"

Sheila mengamati Gerald yang kini duduk di depan ranjangnya. "Belum. Lo habis mandi? wangi banget."

Gerald terkekeh, memainkan kunci motor di genggamannya, "Gue habis main sama Anya, ke festival--" Gerald berfikir, "Gue gak tau festival apa namanya. Yang jelas kita bisa nyemprotin gas embun berwarna sesuka hati kita. Tahun depan lo harus ikut, La. Dijamin seru!" Gerald mengacungkan satu jempolnya ke arah Sheila. Membuat Sheila terkejut tapi tak urung tersenyum.

"Kayaknya itu gak akan terwujud, deh. Emm.. setelah program homeschooling gue selesai dan gue tamat, papa nyuruh gue lanjutin pendidikan di London. Katanya, dia kangen sama gue dan lo, Ge" Sheila tersenyum, berusaha menyampaikan informasi ini secara halus agar Gerald tidak langsung menolak permintaan ayahnya.

"Maksud lo? Lo mau pindah ke London?. Gak.. lo gak boleh pindah, La!. Gue tau lo gak bisa hidup mewah dengan tinggal sama gue. Tapi gue akan usahain supaya lo tetap hidup layak tanpa lo harus pindah, La."

"Kita akan tetap sama-sama, Ge. Kita.. bakalan pindah ke London"

Gerald tercengang, tentu saja. Bayangan Anya seketika melingkupi fikirannya. Seolah belum percaya, Gerald menggeleng."Lo bercanda, kan?"

"Masa depan kita akan jauh lebih baik dengan sekolah di sana Ge. Hanya beberapa tahun, kita tidak akan menetap disana. Lo pun bisa berlibur ke Indonesia saat liburan musim panas. Lo masih bisa ketemu..Anya" Nafas Sheila terasa tertahan di tenggorokannya ketika menyebutkan nama Anya. Apakah dia cemburu?

Tanpa di sangka, Gerald beranjak dari ranjang Sheila dan pergi dari sana. Gerald tidak tau kutukan apa yang sedang menimpanya hingga ia mengalami nasib seperti sekarang. Semua kesedihan yang ia tanggung semenjak kedua orang tuanya meninggal kembali meluap ke permukaan. Gerald duduk di kursi yang berjajar rapi di koridor rumah sakit yang nampak lengang karena hari akan berganti. Ia menatap ke bawah, namun fikirannya berlarian entah kemana.

Sekarang, apa yang harus ia lakukan?

Gerald tau, hidupnya jauh dari kata mewah, rumah dan motornya adalah satu-satunya warisan yang orang tua Gerald tinggalkan untuknya. Mungkin opsi untuk pindah ke London dan menuntut ilmu di sana adalah opsi yang dulu akan Gerald setujui tanpa berfikir dua kali.

Tapi entah mengapa, meninggalkan seseorang yang ia cintai terasa begitu berat untuknya. Ia hanya ingin bersama Anya karena itu membuat jalan hidupnya terasa mudah.

***

a.n

Sumpah, ini drama banget.

YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang