Sixteenth

700 62 2
                                    

Gerald sangat terkejut sekaligus panik saat berbalik dan melihat Anya berdiri disana, menangis.

Gadis itu terlihat rapuh. Maka, Gerald menghampiri Anya, berniat menjelaskan semuanya.

Wajah Gerald di penuhi kecemasan. Kesakitan yang terpampang jelas di wajah gadis itu seolah menampar dirinya. "Nya, Gue gak bermaksud-"

Anya mengangkat telapak tangannya di depan wajah Gerald, "Lo gak bermaksud apa?! Lo mau bilang kalau lo gak bermaksud ngebunuh ibu gue?! itu yang lo mau bilang, hah?!"

Gerald menunduk, membenarkan semuanya. Bahwa ia memang pembunuh, dan pecundang.

"Gue benci lo, Gerald!, gue benci!.". Suara Anya melirih seiring dengan tubuhnya yang meluruh di lantai.

Gerald lantas bersimpuh di hadapan Anya, masih menahan air matanya untuk jatuh. "Maaf, Nya. Maaf."

"Kenapa lo bunuh ibu gue, Rald?. Apa salah ibu gue, ha?" Mata sendu Anya menatap Gerald penuh dengan kesakitan, penuh kebencian.

Dalam sekejap, Anya menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Menangis sejadi-jadinya.

Beberapa saat keduanya tidak bersuara. Hanya raungan Anya dan desiran angin yang terdengar di telinga Gerald. Setiap detiknya, Gerald merasakan kesakitan Anya bertambah dan ikut melukai relung hatinya. Seolah waktu sedang menikmati moment ini dan menertawakan takdir mereka.

Setelah berhasil menguasai diri, Gerald mendesah. Lantas ia menaikkan tatapannya dan menarik Anya dalam pelukannya.

Untuk sesaat, Anya berontak. Ia memukul, menarik, dan meremas bahu Gerald dengan sadisnya. Namun Gerald tidak peduli. Walaupun ia harus terluka dan mati di tangan gadis ini, sungguh ia tidak peduli.

"Maaf, Nya. Maaf." Rintih Gerald.

Seolah letih mendera Anya, gadis itu berhenti menangis. Selanjutnya, Anya memilih bersandar di bahu Gerald, menyembunyikan wajahnya di lekukan leher lelaki itu, dan memejamkan matanya.

Saat itu juga, satu bulir air mata Gerald meluncur dengan mulusnya. Mata dan wajahnya memerah, rahangnya mengeras dan pikirannya kalut. Dengan segenap rasa sayang yang telah tumbuh di hatinya, ia mengusap lembut puncak kepala Anya.

Selanjutnya, Gerald menangis diam-diam. Menumpahkan seluruh kesedihan dan penyesalannya selama ini.

***

Dara dan Sheila sedang berada di teras rumah Sarah saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.

Dara menggigit kukunya, alisnya menekuk karena berfikir. Sementara Sheila berjalan mondar mandir, sesekali menatap pintu rumah Sarah yang masih terbuka setengah.

"Coba lo hubungin Anya. Siapa tau mereka lagi keluar." Sarah muncul dari taman di samping rumah.

"Di taman gak ada?" Tanya Dara, kecemasan terlihat jelas di wajahnya.

Sarah menggeleng lemah. Sementara Sheila yang sempat berhenti , kali ini kembali berjalan mondar mandir.

"Terakhir gue ngeliat Anya di toilet. Tapi tadi pas gue cek , gue gak ngeliat siapa-siapa di sana." Jelas Dara untuk kesekian kalinya.

"Gak mungkin kan kalau Anya ke gudang di belakang toilet." Celetuk Sarah seraya duduk di kursi, di ikuti Dara.

Dara mengangguk membenarkan. Kemudian ia menoleh ke arah Sheila, "Lo terakhir ngeliat Gerald dimana, Shei?"

Sheila menoleh, "Gue terakhir ngeliat dia sama Gio, temen lama Gerald. Mereka bilang mau bicara berdua, jadi mereka pergi ninggalin gue di taman."

Mendengar itu, Dara kemudian merogoh ponsel di dalam tas slempangnya, "Kemungkinan Anya lagi sama Gerald itu kecil. Apa gue perlu telfon Ayah gue?"

Bersamaan dengan itu, Gerald muncul dari balik pintu rumah Sarah. Sementara Anya berada di gendongan Gerald, tangannya merangkul leher Gerald namun mata gadis itu terpejam.

Dara dengan sigap menghampiri keduanya, membuat Gerald menghentikan langkahnya.

"Anya kenapa?" Dara memperhatikan wajah sembab Anya dengan perasaan campur aduk. Sementara Sheila yang sudah berada di samping Dara kemudian bertanya dengan bingung, "Mata lo kenapa merah, Ge?"

"Ra, Anya boleh nginap di rumah lo?" Tanya Gerald dengan nada memohon, menganggap bahwa pertanyaan Sheila dan Dara hanyalah angin lalu.

Dara meneguk ludahnya begitu menatap Gerald. Di satu sisi, ia merasa takut akan tatapan Gerald saat mata cowok itu memerah, namun di sisi lain rasa simpatinya datang entah darimana melihat wajah Gerald yang terlihat kusut dan sedih.

Dara kemudian mengangguk. "Ayo bawa ke mobil gue."

Dara dan Gerald kemudian berjalan setelah pamit pada Sarah dengan Dara memimpin jalan di depan.

Gerald lupa, bahwa Sheila sedang berada di sekitarnya. Menatap dirinya dengan cemas dan khawatir.

Gerald terlalu lelah untuk peduli, bahwa Sheila saat ini sedang menunggu dirinya dan terus berharap bahwa Gerald baik-baik saja.

Sheila menatap kepergian Gerald. Dan kesadarannya kembali menyatu saat bahunya di sentuh oleh seseorang.

Sheila menoleh ke arah Sarah. "Lo gak ikut pulang bareng mereka?" Tanya Sarah.

Sheila tersenyum, jenis senyuman palsu yang di tunjukan saat seseorang berpura-pura bahwa dirinya baik-baik saja. "Gue bisa pulang sendiri. Gue naik taksi."

Karena tidak tau duduk perkara maupun hubungan antara Sheila dan Gerald, Sarah hanya mengangguk.

"Hati-hati,ya." Ucap Sarah begitu Sheila berjalan menjauh dan hilang di balik pagar rumahnya.

***

YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang