Twelve

779 69 6
                                    

Di sepanjang perjalanan, keduanya terdiam. Terdiam dalam artian yang berbeda.

Anya terdiam karena dukanya, sementara Gerald terdiam karena ia menyadari kalau ia salah.

seharusnya, gue tetap menjaga jarak sama Anya. Kata-kata penyesalan itu terus terngiang di pikiran Gerald, membuatnya menambah kecepatan motor menjadi 80 km/jam. Berharap semuanya cepat selesai.

Sejenak, Gerald merasakan punggungnya di sentuh oleh sesuatu. Maka, ia menoleh ke samping.

"Lo udah baikan?" Tanya Gerald.

Anya mengangguk, membuat Gerald merasakan gesekan kecil di punggungnya."Eum. Gue pinjem punggung lo. Sebentar aja."

Mendengar isakan Anya, Gerald memutuskan untuk membelokkan motornya menuju taman.

lima belas menit berlalu. Mereka duduk di salah satu sudut taman, di atas rumput. Gerald menekuk kedua kakinya lalu memeluknya dengan kedua tangannya.

"Rald" Panggil Anya, masih menatap hamparan rumput luas dengan beberapa kelompok bunga yang memutari tugu d tengahnya.

Gerald menoleh dengan seulas senyum tipisnya,"Kenapa?"

"Lo pasti tau kalau gue dari dulu suka sama lo. Tapi sekarang gue mau ngasi tau ke lo kalau gue gak menuntut apapun. Ada di sini, duduk sama lo, ngobrol banyak bareng lo, itu udah lebih dari cukup."

Gerald terdiam dengan perasaan senang bercampur sakitnya. Rahangnya mengeras hingga menimbulkan bunyi gemeletuk.

Bagaimana Gerald bisa bahagia kalau faktanya ia telah menyakiti orang yang mencintainya?

Sejenak, Gerald menoleh ke sembarang arah, berusaha menghalau rasa sedihnya yang ingin keluar saat ini juga.

gue sayang sama lo bahkan saat lo belum menyadari kalau lo suka sama gue, Nya.

Setelah ia memantapkan hatinya, ia berbalik, berhadapan dengan Anya. Perlahan dengan rasa ragu yang masih menghantuinya, ia mengangkat tangan Anya, membawanya ke genggaman Gerald.

Manik mata cokelat milik Anya nampak bersinar. Rambut hitam sebahunya terbawa angin, sementara wajahnya terlihat kaget sekaligus merona merah.

Saat Anya berdeham gugup, Gerald mendengus lalu terkekeh, "Gue seneng liat lo gugup. Lucu, tau gak?"

***

"CUMA ITU DOANG?" Suara Dara yang tentu saja melengking, menggelegar memenuhi ruang kelas yang masih kosong. Anya menumpuk kedua tangannya di atas meja. "Iya. Dia cuma bilang, 'lo lucu, tau gak?'" Ucap Anya meniru ucapan Gerald. "Gue gak tau harus gimana" Tambahnya putus asa, menempelkan pipi kiri di tumpukan tangannya.

Tak lama, Anya mendengar seseorang mengobrol tak jauh dari mereka. Maka, ia menaikkan tatapannya menuju pintu kelas.

Gerald dan Sarah berdiri berhadapan di sana, dengan Gerald yang memegang sesuatu berbentuk persegi panjang. Entahlah.

"Eh, Anya! Dara!" Seru Sarah, melambaikan tangannya. Gadis berambut hitam sepinggang itu menghampiri Anya dan Dara, sementara Gerald menyusul di belakang.

"Dateng ya, Nya, Ra. Ke ultah gue yang ke 17 tahun." Sarah meletakkan dua undangan berwarna pink dengan aksen bunga yang di dominasi berwarna biru langit di atas meja, "Oh iya. Di sana udah tertulis, untuk yang bawa pasangan, warna kemeja cowo dan dress cewenya bebas. Kalau yang jomblo.." Sarah menatap Anya, Dara, dan Gerald bergantian, "Yang cowok wajib menggunakan kemeja warna pink dan bagi yang cewek wajib pake dress pink. Jelas?"

Gerald yang saat itu sedang menaruh tasnya di atas meja, kini berbalik untuk melihat Sarah dengan alis menukik. "Maksud lo? Gue harus make kemeja pink, gitu?." Suara Gerald naik beberapa oktaf.

"Gue juga gak mau. Mentang-mentang gue jomblo." Ucap Anya, seolah-olah Gerald sedang bertanya apa pendapatnya. Anya menyandarkan punggungnya di meja belakang, sementara Dara mengangguk dengan bibir mengerucut.

Sarah melirik Anya-Gerald bergantian, "Gue pikir kalian-"

"Bukan!" Sanggah Gerald, membuat ketiga gadis itu tersentak.

"Maksud gue, gue gak ada hubungan apa-apa sama Anya" Gerald duduk di bangkunya yang otomatis memunggungi Anya dan Dara.

Nyeeeeessss. Sakit, man.

"Tapi itu ketentuan, Rald. Kalau lo gak mau pake kemeja pink, mau gak mau lo harus bawa pasangan. Dan kebetulan.."

Gerald sedikit memiringkan tubuhnya untuk menghadap Sarah. "Kebetulan apa? kebetulan acaranya batal?"

"iiihh bukan." Sarah menghela nafas kesal, "kebetulan Anya sama Dara aja yang belum ada pasangan. Temen-temen di kelas ini udah dapet pasangan semua walaupun mereka gak pacaran." Sarah memelankan suaranya ketika mengucapkan kata 'pacaran' lalu meringis.

"Gue absen deh. Sibuk, Sar" Tawar Gerald, raut wajahnya menampakkan jelas kalau ia malas.

"Jahat lo" Cibir Sarah, memainkan sisa undangan yang berada di genggamannya.

"Sarah!. gue udah dapet pasangan." Dara tiba-tiba menyela. "Pasangan gue anak kelas sebelah." Dara menyengir seraya menunjuk kelas sebelah dengan telunjuknya.

Diam-diam, Anya tersenyum. Namun ia berusaha menyembunyikannya ketika ia tak sengaja melihat Gerald meliriknya. "Gue gak ada pilihan selain make cap jomblo ke sana, karena gue gak kenal siapapun untuk gue tawarin jadi pasangan gue. Sedihnya kamu, Nya. Yang sabar ya, Nak." Anya menggeleng-geleng dramatis seraya meletakkan buku paket Bahasa Indonesianya di atas meja.

Gerald menghela nafasnya. "Yaudah, kalau gitu-"

Deg! Detak jantung Anya tiba-tiba melaju lebih cepat dan keras. Perutnya merasa terlilit dan nafasnya tertahan. Ia menatap kosong bukunya sementara Dara sudah nyengir penuh makna.

"Demi menyelamatkan harga diri gue, gue ngajak pasangan."

Deg! Anya meneguk ludahnya dengan susah payah.

"Siapa?. Biar gue catat." Sarah sudah bersiap dengan kertas hvs dan pulpen di genggamannya.
"Sheila Rahayu. Tulis aja Sheila."

***

YOUWhere stories live. Discover now