#51 Kune Kune

11.4K 923 22
                                    

Twister/angin puyuh adalah sebuah urban legend yang berasal dari Jepang mengenai sebuah penampakan misterius yang terkadang terlihat di pedesaan. Orang Jepang memanggilnya "kune kune" yang artinya sesuatu yang berkelok-kelok, bergoyang atau berputar dan bergulung. Mereka berkata, jangan pernah kamu melihat secara langsung ke arahnya, atau ia akan membuatmu gila.

Kune kune digambarkan seperti sesuatu yang berwarna putih tak diketahui bentuknya namun terlihat berbelok-belok, bergerak maju dan mundur di kejauhan. Tak ada yang tahu persis seperti apa ia terlihat karena siapapun yang melihatnya telah kehilangan akal mereka. Seorang pria Jepang menceritakan pertemuannya dengan sang angin puyuh (kune kune) ketika ia masih kecil.

Ketika aku masih kecil, orang tuaku membawa kakak laki-lakiku dan aku untuk mengunjungi kakek dan nenekku. Kami tak terlalu sering bertemu nenek karena ia tinggal jauh di luar pedesaan, Akita. Segera setelah kami tiba dirumah kakek-nenek kami, kakakku dan aku pergi keluar untuk bermain. Udara jauh lebih segar dan lebih bersih daripada di kota. Kami berjalan melewati persawahan, menikmati ruang yang terbuka lebar. Matahari sudah naik di atas langit dan tak ada angin. Rasa panas mulai menyesakkan dan setelah beberapa saat, aku mulai lelah. Kemudian, kakakku berhenti tiba-tiba. Dia sedang menatap sesuatu di kejauhan.

"Kau sedang melihat apa?" tanyaku.

"Sesuatu di sana," jawabnya.

Sawah terbentang sejauh mata memandang dan di sana benar-benar sepi. Aku memicingkan mataku, tapi aku tidak bisa mengetahui benda apa itu. Jauh di sana, di seberang sawah, ada sesuatu yang putih, seukuran manusia. Ia bergerak dan menggeliat seolah-olah ia berkibar tertiup angin.

"Mungkin itu adalah orang-orangan sawah," jawabku.

"Itu bukan orang-orangan sawah," jawab kakakku. "Orang-orangan sawah tidak bergerak seperti itu."

"Mungkin itu sebuah seprai," kataku.

"Bukan, itu bukan sebuah seprai," jawabnya.

"Tidak ada rumah lain di sekitar sini. Lagipula, di sini tidak ada angin tapi ia tetap bergerak dan menggeliat. Benda apa sih itu?"

Aku punya perasaan aneh dan tidak enak pada perutku. Kakakku berlari pulang ke rumah dan ketika ia kembali, ia membawa sepasang teropong.

"Oh! Boleh aku lihat?" tanyaku, dengan semangat.

Aku hendak mengambil teropong tersebut, namun ia mendorongku kembali.

"Tidak, aku duluan!" katanya sambil tertawa kecil. "Aku yang lebih tua. Kau boleh melihatnya ketika aku selesai."

Segera setelah kakakku menempatkan teropong di matanya, aku menyadari ekspresinya mendadak berubah. Wajahnya menjadi pucat dan ia berkeringat. Dia menjatuhkan teropongnya ke tanah dan aku dapat melihat ketakutan di matanya.

"Apa itu?" tanyaku gugup.

"Ada itu... Ada itu... Ada itu..."

Itu bukan suara kakakku. Tanpa banyak bicara, ia berbalik dan mulai berjalan kembali ke rumah. Sesuatu terasa tidak benar. Dengan tangan gemetar, aku membungkuk dan mengambil teropong, namun aku terlalu takut untuk melihatnya melalui benda ini. Di kejauhan, objek putih itu masih berputar dan bergulung. Saat itu, kakekku datang berlarian.

"Apa yang kau lakukan dengan teropong itu?" tanyanya.

"Tak ada," jawabku. "Hanya melihat-lihat benda putih di seberang sana."

"Apa?!" teriaknya. "Kau tidak seharusnya melihatnya." Ia merebut teropong tersebut dari genggamanku. "Apa kau melihatnya?" tanyanya marah. "Apa kau melihatnya lewat teropong ini?"

"Tidak," kataku dengan suara lemah. "Belum..."

Kakekku menghela nafas lega.

"Bagus," katanya. "Itu bagus..."

Tanpa tahu kenapa, aku dikirim kembali ke rumah. Ketika aku berjalan masuk ke dapur, semua orang sedang menangis. Kakakku sedang berguling-guling di bawah, tertawa seperti orang gila. Dia berbaring dan tubuhnya menggeliat dan berputar... seperti benda putih di kejauhan tadi. Aku tak dapat memahami apa yang sedang terjadi. Mengerikan melihatnya seperti itu. Aku menangis. Dia bukan kakakku lagi. Dia telah benar-benar kehilangan akalnya. Hari berikutnya, orang tuaku memutuskan untuk membawa kami pulang. Nenek dan kakekku berdiri di teras mereka, melambai sedih pada kami ketika mobil berjalan. Aku duduk di kursi belakang bersama kakakku, menyapu air mata di mataku. Kakakku masih tetap tertawa seperti pasien rumah sakit jiwa. Mereka mengikatnya supaya dapat menghentikannya bergerak-gerak. Mimik wajahnya menunjukkan sebuah senyuman yang lebar. Ia terlihat sedang bahagia, namun ketika aku melihat matanya, aku menyadari bahwa ia sedang menangis. Pipinya basah oleh air mata tapi ia tetap tertawa dan tertawa... Ayahku menepi ke pinggir jalan dan keluar dari mobil. Ia membawa teropong itu keluar dan dengan marah melemparnya ke jalanan. Lalu, tanpa berkata apa pun, ia kembali ke dalam mobil dan terus mengemudi.
***

Pria Jepang lainnya menceritakan pengalamannya dengan sang Angin Puyuh (Kune Kune) ketika ia masih anak-anak.

Ketika aku masih seorang bocah kecil, aku tinggal di sebuah kota kecil di pinggir laut prefektur di Chiba. Suatu sore, pamanku membawaku untuk berjalan-jalan di pantai. Ketika kami sedang berjalan-jalan, aku melihat ke laut dan melihat sesuatu yang putih di kejauhan. Benda itu panjang dan bergoyang maju-mundur. Aku bertanya-tanya apakah itu.

"Benda apa itu yang ada di laut?" Aku menanyai pamanku.

Dia menatapnya dan aku melihat matanya menjadi lebar dan wajahnya berubah pucat. Ada ketakutan di matanya. Dia tak dapat berhenti menatapnya.

"Larilah untuk hidupmu!" T
teriaknya panik.

Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi aku takut, jadi aku berlari pulang ke rumah dan memberitahu kakekku. Dia menjadi pucat.

"Itu Kune Kune," katanya. "Kau beruntung bisa menjauh darinya. Kau tidak boleh melihat langsung ke arahnya. Dimana pamanmu?"

"Dia masih di tepi laut." jawabku, suaraku bergetar."

Aku harus menyelamatkan putraku," ujar kakekku dan dia pergi secepat mungkin menuju tepi laut.

Aku mengikuti dekat di belakangnya dengan cemas dan ketakutan. Dari kejauhan, aku bisa melihat pamanku masih berdiri di pantai. Seolah-olah ia membeku di tempatnya berdiri, menatap benda putih yang berkelok-kelok jauh di laut sana. Kakekku mematahkan salah satu ranting pohon dan menghampiri pamanku, menggumamkan semacam doa-doa. Ia menjaga matanya tetap melihat ke bawah, berhati-hati untuk tidak menatap benda putih tersebut. Kakekku berhasil menyeret pamanku pergi dan membawanya pulang. Meskipun pamanku diselamatkan, ia menderita penyakit kejiwaan selama sisa hidupnya. Semenjak hal itu terjadi, dia telah keluar masuk rumah sakit jiwa berkali-kali. Dia tak pernah sama lagi semenjak itu.
***

Woaaa, 200 follower + 4K vote! You're amazing.
Makasih lho ya atas support-nya. Dan minta tolong lagi boleeeh? Do'akan daku ya, lagi UAS nih. Udah semester 5, dah tuwak. Bentar lagi KKN, lanjut skripsi, terus wisuda. Ada yang mau nggandeng nggak paa wisuda? Nanti bayar bensin deh. Wkwk.
Candaaaa!

Urban Legend Jepang [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang