Gerald terkejut saat Sheila menghampirinya dan mengalungkan tangan di lengan Gerald.

"Ayo. Temen-temen lo mana?" Tanya Sheila semangat, tatapannya menyapu seluruh isi ruangan.

"Gue gak--" Gerald sedikit terhuyung ke depan saat Sheila menarik lengannya menuju--

Tunggu. Menuju,Anya?

"Hai, Nya!" Sapa Sheila riang. Tangan gadis itu masih menggamit lengan Gerald posesif.

Anya yang sebelumnya terlihat bingung dengan keadaan sekitar,menoleh ke arah mereka. Sedetik kemudian, keterkejutan tampak sangat kentara dari raut wajahnya. Anya mengibaskan poninya ke belakang, berdehem dan melambaikan tangan kaku ke arah mereka.

"Ha-hay." Sapa Anya.

"Lo nyari siapa, Nya?" Tanya Sheila, raut wajah kemenangan sangat jelas terpancar dari wajahnya.

"Enggak. Gue gak nyari siapa-siapa." Tatapan Anya turun. menatap kedua kakinya yang beralas hells setinggi tiga cm.

Gerald dengan tangan kirinya yang bebas, merogoh ponsel di saku celananya. Mengetik sesuatu di sana tanpa melihat layar.

Dara, tolong lo ke halaman di pinggir kolam. Temenin Anya. Sekarang.

Send.

Gerald kembali memasukkan ponselnya diam-diam. Bertepatan dengan itu, Anya berbalik, membuat Gerald spontan memanggilnya agar Anya tetap disini setidaknya sampai Dara datang dan menemani Anya.

Perhatian Gerald teralihkan saat seseorang yang entah kapan berada di atas panggung menyapa dengan suara tingginya.

"Malam Guys!!. Pertama gue mau ngucapin terimakasih karena sudah datang ke acara ini. Dan.. ah! lo. Ya, lo!. yang pake baju pink." Gadis itu menunjuk tepat ke sekitar Anya, membuat Anya menunjuk dirinya sendiri dengan bingung.

"Silahkan ke ruang yang udah di siapin panitia untuk yang gak bawa pasangan. Di sana bakal ada game khusus untuk yang gak bawa pasangan malam ini."

Gerald menatap Anya dan gadis itu bergantian. Sementara Anya mengangguk kaku sebelum melangkah menuju tempat yang di peruntukkan untuknya.

Dalam langkahnya yang sedikit menghentak, Anya memutar bola mata jengah. Ia berulang kali mengumpat sampai ia bertemu dengan Dara di teras rumah.

"Lo mau kemana, Nya?" Tanya Dara bingung. Malam ini Dara memakai dress berwarna biru muda dengan kain tile di bagian belakang yang membuat punggung Dara terlihat transparan.

"Gue mau ke toilet. Gerah." Jawab Anya ketus. Bukan apa-apa, dengan dress-nya yang berwarna pink ini ia seperti di asingkan. Atau entahlah.

Anya menangkup air dengan kedua tangannya lalu membasuh wajahnya. Selanjutnya ia menghapus lipstik berwarna peach yang menempel di bibirnya dengan tissue. Lalu bercermin.

"Apa lo malu jalan sama gue?. Apa gue sejelek itu sampai lo malu jadi pasangan gue di ultah Sarah?" Gerutu Anya,seolah cermin itulah yang sepatutnya di salahkan atas kejadian malam ini.

Anya mendesah keras. Ia membalikkan tubuhnya, berniat ingin mengeringkan tangannya di hand dryer sampai satu suara yang tak asing terdengar olehnya.

"Apa lo bilang? Gue harus jadian sama Anya?. Apa lo fikir gue berhak jadian sama dia saat gue udah ngebunuh ibunya?"

Seketika kaki Anya seolah menjadi jelly. Langkahnya terlihat tertatih-tatih dan rapuh. Anya meneguk ludahnya beberapa kali. Fikirannya mengelak bahwa orang itu sedang membicarakan dirinya.

Perlahan, ia membuka pintu toilet yang menghubungkan Anya langsung dengan lorong sepi. Ia mengintip dari celah sempit. Seorang laki-laki menggunakan kemeja abu-abu dengan lengan di lipat sebatas siku sedang memunggunginya. Laki-laki itu terlihat familiar. Dari gestur tubuhnya, tinggi badannya, dan yang paling penting, suara beratnya.

Satu lelaki lagi menghadap ke arah pintu toilet, yang tak langsung menghadap pada Anya. 

Anya memutuskan untuk mendengar percakapan kedua lelaki itu secara diam-diam.

"gue bakalan jujur sama Anya besok. Setelah itu, keputusan ada di tangan dia. Kalau dia mau jeblosin gue ke penjara. silahkan. Sudah sepantasnya gue ada disana. Dan kalaupun dia benci sama gue. Gue gak kenapa. Setidaknya itu lebih baik di banding gue ngeliat dia sakit hati karena tingkah laku gue selama ini."

Ucapan lelaki itu membuat hati Anya seolah tersayat. Gadis itu memegang dadanya, sesekali meremas bajunya saat tangannya mulai gemetar.

Lelaki yang menghadap Anya nampak tersenyum sinis. "Lo pengecut. Dari dulu lo emang pengecut."

"Ya, gue pengecut. Gue gak berani bilang kalau gue suka sama Anya karena gue sadar kalau gue pembunuh. Gue gak berani bilang kalau gue udah ngebunuh ibunya karena gue gak mau Anya ngejauh. Gue cuma pengen Anya ada di zona gue,di sekeliling gue tanpa ada hubungan yang terikat. Apa gue egois?. Ah.. lo pasti mau bilang kalau gue serakah, egois."

Tepat saat lelaki yang berdiri menghadap Anya itu ingin membuka suara, tatapannya jatuh pada Anya yang kini sudah berdiri di sisi pintu dengan air mata yang menggenangi kedua pipinya.

Anya sesenggukan karena ia menahan tangisnya pecah. Tangannya yang gemetar memegang kusen pintu. Karena kalau tidak, ia yakin dirinya akan meluruh di lantai. Sementara tatapan gadis itu jatuh pada lelaki yang saat ini berbalik menghadapnya.

"Gerald." ucap Anya lirih

***


YOUWhere stories live. Discover now