"Oh iya, jam dua siang." Ucap Sheila, mengangguk. "Tapi.. siapa yang salah nyebutin waktu selain gue?"

Gerald tersenyum, mengangkat ponselnya lalu menggoyangkannya pelan. "Anya"

Sejenak, Sheila terdiam. Ia mencoba mencerna apa yang baru saja Gerald katakan hingga ia mengerjap dan rasa sesak langsung melingkupi dadanya. "Oh" Ia tersenyum sekilas pada Gerald lalu membalikkan tubunya, kali ini memunggungi Gerald.

Terjadi hening yang cukup lama hingga Sheila kembali bertanya dengan nada ragu, "Lo mutusin ikut ke London bareng gue, kan?"

Sheila menanti jawaban Gerald dengan cemas. Dalam hati, ia merapalkan doa apa saja supaya kali ini Gerald menjawab "Iya" atau apapun yang berbau persetujuan.

"Enggak, Shei. Gue gak bisa ninggalin rumah orang tua kandung gue. Karena cuma itu yang gue punya."

Untuk yang kedua kalinya selama satu jam, dada Sheila terasa sesak. Bulir air mata sudah menggenang di pelupuk matanya, namun Sheila mencoba menghalaunya dengan cara menggigit bibirnya agar Gerald tak curiga. "Ohh" Sahutnya lagi.

"Lo besok libur kan, Rald? Lo bisa nginep disini malam ini?"

"Maaf Shei." Jeda sejenak, "Gue ada janji besok pagi, jadi gue harus siap-siap lebih awal. Tapi sebelum jam dua siang gue pasti udah ada disini buat jemput lo."

Sheila mengangguk. Di hapusnya air mata yang keluar dengan ibu jarinya. Ia merasakan Gerald mendekat ke ranjangnya, sesaat setelah itu ia merasakan ranjangnya bergerak pelan. "Kapan rencananya lo pulang ke London?"

Sheila mengambil nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. "Setelah gue dengar pengumuman kelulusan lo. Jadi, lo harus belajar yang rajin, jangan sampai karena lo gak lulus gue jadi batal pergi dan gak ketemu Ayah di London." Ucap Sheila seraya membalikkan tubuhnya lalu menatap Gerald.

Gerald tersenyum, mengacak pelan puncak kepala Sheila gemas, "Iya cerewet."

"Dan lo jangan lupa, besok jemput gue tepat jam dua siang" Ucap Sheila dengan menekankan kata 'tepat'.

Gerald mengangguk, "Oke, adik kecil"

***

Gerald sudah berada di depan rumah Anya sejak setengah jam lalu. Ia tidak tahu kenapa ia terlalu bersemangat menjemput Anya hari ini. Hanya saja, ia ingin bersama gadis itu setiap harinya.

"Hal, Gerald." Sapa Anya begitu ia keluar dari pagar rumah. Gerald menegakkan tubuhnya.

"Baju hitam, celana hitam, sandal hitam. Lo mau kemana sebenarnya?" Tanya Gerald, menunjuk pakaian yang di kenakan Anya.

Anya terkekeh, lalu naik ke motor Gerald. "Maaf karena gak ngasi tau lo kemarin. Gue minta tolong anterin gue ngunjungin ibu.. di pemakaman."

Gerald mematung. Tangan dan kakinya lemas sehingga ia harus mendongkrak motornya.

"Lo kenapa, Ge?. Gu-gue minta maaf"

Gerald mengusap wajahnya gusar. Sekelebat bayangan Gerald kecil kembali berputar di otaknya. Bagaimana kejadian itu terjadi dalam hitungan detik.

Andai.. andai saja ia tidak nekat mengambil benda itu.

Andai saja bibi tidak datang saat ia memegang benda itu.

Andai dan andai.

Anya turun dari motor, membuat Gerald tersadar dan berdehem. "Lo kenapa turun, Nya?"

"Lo sakit?. Pusing?. mending--"

"Enggak. Gue gak kenapa. Naik gih." Gerald menunjuk jok belakangnya dengan dagu. Sementara Anya terdiam sejenak sebelum mengangguk ragu. "O-oke"

Di sepanjang jalan, setelah membeli satu buket rangkaian bunga di pinggir jalan, Gerald dan Anya terdiam. Hanya suara deru motor Gerald yang memenuhi gendang telinga mereka, bersama suara klakson kendaraan yang saling bersahutan. Sampai akhirnya Gerald angkat bicara. "Ibu lo meninggal karena apa?" Tanya Gerald kaku lalu menelan ludahnya.

Anya mendekatkan tubuhnya, "Gue gak pernah tau apa alasannya. Keluarga Ibu seolah nyembunyiin semuanya. Yang gue tau, ibu gue meninggal karena kecelakaan. Itu kejadiannya udah lama. Sekitar tujuh tahun yang lalu, mungkin?"

Gerald mengangguk canggung, "Gue turut berduka cita."

"Em.. Makasi, Rald."

Begitu mereka sampai di tempat tujuan, Gerald memarkirkan motornya di luar sementara Anya memasuki pemakaman lebih dulu.

"Nya, jalannya pelan-pelan." Seru Gerald saat Anya hampir terjerembab karena tersandung batu. Anya tersenyum, lalu kembali melangkah menuju makam ibunya.

Anya berjongkok di salah satu sisi tempat di mana ibunya beristirahat untuk selamanya. "Hai, bu. Apa kabar?" Tanya Anya sambil tersenyum getir.

Gerald memilih berdiri di belakang punggung Anya. Ia takut tangisnya akan tumpah dan Anya melihat semuanya.

Gerald sering kemari. Bahkan terlampau sering ke makam pengasuhnya hanya untuk meminta maaf dan menangis. Gerald yakin bibinya sangat membenci Gerald, sehingga Gerald berfikir untuk menjauhi Anya agar Bibi tidak bertambah benci padanya.

'Tapi sekarang? apa yang gue lakukan?' Tanyanya dalam hati seraya tersenyum masam.

Ia menatap punggung Anya sendu, hingga Anya berbalik dan melihat Gerald lalu tersenyum. "Bu, kenalin, ini Gerald. Dia teman aku. Aku.. aku suka sama Gerald"

***

YOUWhere stories live. Discover now