2.0

11.3K 868 14
                                    

Aku menghirup udara yang baru saja kuhembuskan. Lalu kuisap perlahan, dan membuangnya lagi. Asap itu keluar setelah aku menghembuskan nafas. Dan setelahnya, aku menekankan ujung rokok pada asbak.

Sebenarnya aku takut jika aku terkena penyakit atau semacamnya karena merokok, tapi, ini adalah cara terbaik untuk meluapkan segalanya. Tidak ada teman ataupun pacar, hanya mempunyai sepeda dan pohon di hidupku tidaklah cukup. Dan rokok adalah tempat aku mencurahkan semuanya. Tidak perlu mengatakan masalahku, hanya meluapkannya.

Aku tidak masuk sekolah hari ini, bukan berarti aku takut pada Aiden ataupun Emma. Namun karena omongan Papah kemarin, membuatku merasa tidak enak dengan Mamah.

**

"Kalian setuju kalau saya mengundang pacar saya untuk mengunjungi kalian?" pertanyaan yang singkat tetapi mampu membuatku terdiam sejenak

"Terserah kau saja, itu 100 persen keputusanmu." ucap Mamah lalu meninggalkan meja makan.

Papah menghela nafas lelah, lalu pandangannya menuju ke arahku. Menunggu jawaban yang akan kuberikan.

"Kalau itu mau Papah, yaudah. Kunjungi aja sesuka dia. Tapi .. jangan undang pacar baru Papah kesini dulu." jelasku. "Jangan paksa Mamah buat nemuin perempuan itu juga." sambungku.

"Terimakasih nak." ucapnya seraya tersenyum.

**

Setelah rokoknya benar-benar mati, aku beranjak dari sofa kamar dan membuka jendela.

"Tetangga baru?" kataku pelan saat melihat rumah kosong di sebelah sudah terisi.

Terlihat dari sini, bahwa ada empat truk pikap yang dibelakangnya terisi oleh berbagai macam furnitur. Para pekerjanya dengan segera turun dari truk dan memulai pekerjaannya. Membawa barang-barang itu ke dalam rumah kosong tersebut.

Setelahnya mobil sedan berwarna hitam memasuki pekarangan rumah itu. Lalu aku melihat seorang pria --berusia seperti Papah dan satu orang anak perempuan berusia 6 tahun, kurasa.

Wajah pria itu, terlihat sangat familiar bagiku. Tapi seingatku, aku belum pernah menemuinya.

Dan omong-omong, mungkin hal yang cukup berat untuk seorang pria sepertinya mengurusi anak perempuan seorang diri. Apalagi, diusia 5-8 tahun. Aku salut dengan pria itu, dia benar-benar menyayangi putrinya, terbukti dengan senyuman yang tidak pernah ia lepas saat berhadapan dengan putrinya.

Aku menutup jendela kamarku, lalu pergi menuju lantai bawah untuk mengambil makan. Menyadari Mamah sedang duduk di meja makan seraya memakan nasi goreng, aku menyapanya. Ia tersenyum kecil.

"Papah pulang jam berapa tadi?" tanyaku.

"Gak lama pas kita ninggalin dia sendiri," jawabnya.

Aku memperhatikan raut wajahnya yang lesu, "kalo gak suka Papah punya pacar, kenapa gak coba bilang .." kataku hati-hati.

Ia menggeleng, "itu haknya. Lagipula, kami berdua sudah sah bercerai, Sky."

"Mau makan?" tawarnya, aku mengangguk. Baru saja ia bangun untuk mengambilkanku lauk, aku mencegahnya.

"Sereal aja," jelasku seraya menunjukkannya kotak serealku.

"Yasudah." katanya kembali menyuap makanannya.

Pada suapanku yang kelima, suara bel berbunyi. Aku mendesah nafas kesal, masalahnya aku sudah malas membukakan pintu jika aku sedang makan.

"Buka pintunya dulu sana." perintahnya lembut.

"Iya." jawabku setelah meminum air putih, lalu aku berjalan menuju pintu untuk mengecek siapa yang bertamu.

Saat melihat dua orang di depanku, aku tersenyum. Mereka adalah tetangga baruku, yang beberapa menit lalu aku bicarakan.  "Ya ada apa?" tanyaku sopan.

The Badboy Next DoorWhere stories live. Discover now