1.1

11.1K 898 11
                                    

Paginya aku terbangun dengan keadaan segar dan semangat, tidak tau kenapa tiba-tiba begini. Padahal ini hari Rabu, masih jauh dengan hari Sabtu. Aku mengulat di tempat tidur, seraya menyelimuti diriku kembali.

"Sky! Bangun nak!" teriak Mamah dari bawah.

Seusai menguap aku langsung men-charger handphoneku dan berjalan ke kamar mandi. Selesai dengan kegiatan bersih-bersih, aku mengambil seragamku dan mulai memakai lip balm dan parfum.

Setelah aku berada di lantai bawah, aroma roti bakar langsung menjadi pusat penciumanku. "Uh! Enak banget .."

Aku mendekat ke arah dapur, namun saat melihat ada Papah sedang duduk di meja makan, langkahku terhenti.

"Pagi, Skylin." sapanya.

"Pagi." balasku. "Sini," tawarnya.

Aku mendekat ke arahnya. "Nih saya bawain ini untuk kamu," ia memberikanku gantungan tas perry the platypus.

"Ya ampun! Lucu banget Perry," aku memainkannya seperti anak berumur 5 tahun. "Makasih Pah." kataku kikuk.

"Sama-sama, nak."

"Nih, makanannya sudah siap. Simpan dulu gadget dan segala barang yang gak dibutuhkan saat makan." perintah Mamah.

Papah terkekeh, "persis seperti dulu."

Mamah tersenyum pahit mendengarnya, juga aku.

>><<


Sampai di sekolah aku langsung menuju kelas, semua tatapan tertuju padaku. Semua pandangan ; mulai pandangan kesal sampai pandangan berbinar-binar melihatku.

Seseorang berdeham di belakangku, "ups maaf kalo buat lo kaget." katanya, aku menatapnya risih.

"Apasih!" gumamku seraya berjalan menuju bangku.

"Skyler! Mau denger puisi cinta yang lo buat?" tanya Emma, aku menoleh padanya.

"Gue gak pernah buat puisi cinta." tekanku.

"Yes, you did." ia menunjukkan selembar kertas warna merah.

Aku tertawa garing, "gue gak suka warna merah, kalo mau boong." aku menunjuk dahiku. "Pake akal."

"Apanya yang pake akal sih, sini mending lo ikut gue." ia menarikku kencang.

Aiden dan Jaden sedang membuang benda berwarna merah saat aku tiba di barisan loker --yang hampir memenuhi loker miliknya. "Tuh kelakuan lo!" teriak Emma.

"Gue?" tunjukku pada diri sendiri.

Aiden menatapku, "kalo lo tertarik sama gue bilang, Sky, jangan nyampah gini. Capek beresinnya."

"Gue enggak ngapa-ngapain. Gue baru dateng." aku kembali menatap Emma. "Ulah lo kan, ngaku!"

"Mending gue bacain biar lo inget kalo ini semua punya lo." ucapnya.

"Dua mata, dua telinga dan satu bibir. Itu yang kupunya untuk saat ini, mata kugunakan untuk menatapmu, lalu ada telinga untuk mendengar suara tawamu. Dan bibir, untuk mengatakan jika aku suka padamu. Namun, aku takut .. aku takut jika kamu tidak punya rasa yang sama. Sebut aku pengecut, karena memang--

"Lo-- apasih!" aku merebutnya paksa. Itu adalah surat yang aku tulis saat aku masih smp kelas 1, aku menulis itu karena aku merasa kehilangan. Bukan buat Aiden!

"Gak pernah denger kata privasi?" tanyaku, ia tertawa garing.

"Jadi lo suka Aiden?"

"Terserah lo mau ngomong apa. Yang jelas surat ini gak ada sangkut pautnya sama dia." aku menatap Aiden seolah mengatakan jika orang yang kumaksud adalah dirinya.

>><<

Aku duduk di bangku kantin, tempat yang kemarin sempat dimiliki Aiden dan kawanannya. Aku memakan sandwich dan susu putih. Ini salah satu cara untuk mengembalikan moodku yang telah dirusakan oleh Emma sejak pagi tadi.

Karena hari ini hari Rabu, murid di Weringtown High School dibiarkan bebas melakukan apa saja. Dan guru tidak punya hak untuk memberi tugas pada siswa hari ini.

Handphoneku berdering menandakan telfon masuk, dengan segera aku mengangkatnya.

"Halo, Mah."

"Rumah sakit, Sky, sekarang." suara Papah muncul di sebrang.

"Kenapa .. Mamah kemana?"

"Rumah Sakit Sentosa Indonesia sekarang, Skylin!"

Mamah di rumah sakit? Kenapa?

Dengan segera aku kembali ke kelas untuk mengambil barang-barangku. Pandangan pertama kali yang kulihat adalah Aiden dan Emma --duduk di pojok, berdua dan terlihat seperti pasangan yang membutuhkan hasratnya masing-masing.

Dengan cepat aku memalingkan tatapanku dari mereka, sempat kulihat sinar mata Emma saat ia menemukanku melihat posisinya yang seperti itu.

"Mau kemana?" Jaden tiba-tiba muncul dari arah kantin.

"Umm, rumah sakit?" tanyaku tak yakin.

Dia terdiam sesaat, "mau ngapain .. gue anterin ya?" tawarnya. Aku menggeleng, "gue bawa sepeda, tapi makasi buat tawarannya."

  >><<

Aku tiba di rumah sakit dengan perasaan cemas. Melangkahkan kakiku dengan cepat saat memasuki rumah sakit. Kucoba untuk tenang, namun rasa khawatir lebih dominan memenuhi benakku. Saat menginjakkan kaki di tempat yang bertuliskan administrasi, aku melihat Papah disana.

Aku mendekat ke arahnya, dia diam di tempat namun melihatku seraya tersenyum. "Maafin Papah kalo bikin kamu kaget," aku mengangguk.

"Mamahmu shock .. setelah denger apa yang Papah katakan." jelasnya.

Aku menaikkan sebelah alisku, meminta penjelasan lebih.

"Saya .. maafin Papah." ucapnya.

Papah mengajakku untuk menunggu di depan ruang rawat inap Mamah. Lalu dengan angukkan, aku mengikutinya. Keadaannya sangat canggung, karena tidak ada yang membuka pembicaraan sejak kami memutuskan untuk duduk menunggu keluarnya dokter.

Terbukanya pintu ruangan Mamah membuatku terkesiap, aku langsung berdiri begitu juga dengan Papah. "Istri anda baik-baik saja. Semuanya aman, tidak ada yang perlu di khawatirkan. Lalu untuk hal yang lain, anda bisa bertanya pada saya, diruangan saya. Saya permisi."

Papah hanya menanggapinya dengan anggukan dan ucapan terimakasih, lalu  memasuki ruangan terlebih dahulu. Dengan ragu, aku memasuki ruangan tersebut. "Kok kamu udah pulang?" tanya Mamah.

Aku tersenyum menganggapinya.

"Saya yang nyuruh dia pulang lebih cepat." jelas Papah.

Mamah tersenyum padaku, senyuman yang mengartikan jika ia akan baik-baik saja.

===========

Attention :
Mungkin banyak diantara kalian bingung dengan cerita ini, so untuk lebih .. memudahkannya, aku edit setiap chapter dari cerita ini.
Dan kalo boleh jujur, itu susah. Plot twist everywhere. Those things are exactly playing around in my mind right now. Jadi maaf kalo aku update chapter selanjutnya dalam jangka waktu yang lama.

As usual, you can give your opinion and stuff, babe.

Guddy buddy, xx!!

The Badboy Next DoorWhere stories live. Discover now