Part 23

3.1K 199 16
                                        

Di kerajaan Astaran, malam ini Elisa sedang duduk di balkon kamarnya. Ia melamun menatap langit yang saat ini menghamburkan banyak bintang yang indah. Wajah Elisa yang cantik membuat gadis itu menjadi incaran para pria yang ingin mempersuntingnya. Tetapi, ia sudah jatuh ke dalam pesona Aldrich. Rasa cinta yang ia miliki sudah beralih menjadi obsesi, segala cara ia lakukan agar bisa bersanding dengan lelaki itu.

Dan usahanya berhasil. Enam bulan yang lalu saat pemilihan kandidat permaisuri, yang merupakan tradisi turun temurun. Aar sang Kaisar segera memiliki pendamping. Ia mengajukan dirinya dan melakukan banyak persyaratan. Bersaing dengan banyaknya putri raja dan kaisar, dari berbagai wilayah. Hingga akhirnya ia terpilih menjadi kandidat terpilih permaisuri. Namun, ia juga tahu, jika Aldrich tak mencintainya sama sekali. Sudah beberapa kali Elisa menjebaknya. Namun, lelaki itu seakan kebal dengan jebakannya.

Dan ia juga pernah menyusup ke dalam kamar Aldrich, dan menanggalkan seluruh bajunya. Membuat lelaki itu yang baru saja masuk kedalam kamarnya, hanya menatapnya datar. Seolah-olah dirinya tidak ada di sana. Padahal, bentuk tubuhnya sangat indah, tidak ada kecacatan dalam dirinya. Tetapi, kenapa Aldrich tidak tertarik dengan dirinya?

Tidak sesuai yang dia harapakan, Aldrich malah melemparkan belati kecil. Membuat buah dadanya tergesek sedikit.. Hal itu membuat Elisa segera memakai pakainya, dan berlalu pergi meninggalkan kamar Aldrich. Pria itu tidak banyak kata. Tetapi... langsung bertindak.

"Kau akan tunduk dan hancur di genggamanku, Aldrich," desis Elisa.Tangannya menggenggam gelas hingga terdengar bunyi retakan kaca, membuat telapak tangan gadis itu tergores dan mengeluarkan darah.

***

Sinar mentari menyinari bumi, membuat sang empu yang sedang asyik tertidur terbangun karena mendengar suara kicauan burung dan cahaya pagi yang masuk ke dalam melalui celah jendela.

"Hoammmm."

"Aku masih mengantuk." Mata indahnya enggan untuk terbuka. Lagipula,hari ini ia bekerja di waktu siang hari . Lebih baik ia melanjutkan tidurnya kembali. Namun, suatu hal membuat matanya terbuka lebar, ia mengingat bibinya akan ke kerajaan hari ini. Karena, ia mendapat kabar dari tangan kanan Kaisarnya.

Klek.

Aurora membuka jendela kamarnya, ia menghirup udara pagi yang masih segar. Rasanya ia tidak ingin mandi, karena cuaca sangat dingin.

"Aku sedang bermusuhan dengan air. Nanti aku akan berbaikan dengannya di siang hari," monolognya sendiri.

"Sudah terhitung satu minggu aku disini," Celetuknya menatap burung-burung yang sedang asyik bersenandung di atas pohon.

"Padahal aku disini dihukum, tetapi rasanya aku tidak mau pulang, "ujarnya. "Karena,aku merasa aman," lanjutnya sambil meraup wajahnya kasar.

"Aishhh, aku melupakan sesuatu." Gadis itu melangkahkan kakinya menuju sebuah meja. Ia membuka laci meja dan mengambil suatu buku mantra sihir terakhir, yang belum ia pelajari dari bibinya.

Bukunya lebih tebal dari yang sebelumnya. Halaman pertama ia sudah di suguhkan beberapa jurus yang sudah ia pahami. Lembar demi lembar ia membacanya, setengah jam kemudian ia sampai di halaman terakhir. Matanya tak asing dengan gambar itu, manusia berkepala ular.

"Medusa?" Batinnya menganga tak percaya, ternyata Medusa nyata.

"Jadi, aku akan mempelajari ilmu menyihir merubah sesuatu menjadi batu, seperti Medusa?"monolognya sendiri setelah membaca buku tersebut.

"Waoooww!" sahutnya takjub.

Ia melihat ada sebuah kertas kecil yang terselip di sampul buku. Di sana terdapat tulisan yang berupa peringatan, tangannya mengambil kertas tersebut dan membacanya.

I'm Aurora (End) Where stories live. Discover now