"Kita sampai," kata Samsara pada akhirnya. Mereka tiba di sebuah gundukan pasir besar, tetapi masih belum cukup besar bagi Talis untuk masuk ke dalam sana. Di sekitarnya tumbuh lamun-lamun pendek yang melambai-lambai mengikuti arus hangat.
Kali ini Tehere tidak perlu masuk ke dalam kediaman Marino seperti saat di rumah Poha, karena penyu itu tiba-tiba saja keluar dari sana seolah dia tahu kalau teman-teman lamanya sedang menunggu.
Kenyataannya dia tidak tahu. Marino keluar karena mendengar suara Samsara. Dia baru saja ingin menyambut 'saudara' penyu-nya itu sebelum menyadari kehadiran tiga ikan di depan rumahnya.
"Kalian?!" Mata kecil Marino sontak melebar, tetapi segera digantikan dengan senyuman yang lebar yang canggung. "H–Hei! Astaga. Kalian di sini. Selamat datang di Arus Penyu."
"Hai, Marino," sapa Tehere.
Lalu dia beralih sejenak pada Samsara, seolah tadi lupa pada 'saudara' penyu-nya tersebut. "Samsara. Ini ... uh ...."
"Teman-teman ikan yang dulu selalu kau ceritakan. Aku tahu," kata Samsara. Sadar kalau rahasia mereka tak lagi menjadi rahasia, Marino menyeringai pada ketiga ikan itu, seolah berkata 'maaf, tapi aku bisa jelaskan'.
"Eh ... ya. Talis, hiu abu-abu. Tehere, ikan remora, dan Poha, ikan buntal." Marino beralih lagi pada mereka bertiga. "Harus kukatakan kalian bertiga sudah banyak berubah. Kau semakin besar, Talis. Kau juga, Poha."
Sementara itu Talis tahu kalau Marino tidak banyak berubah. Bahkan sejak terakhir mereka bertemu, Marino masihlah penyu yang sama persis. Ukuran tubuhnya mungkin hanya tumbuh sebanyak beberapa senti saja, tetapi dia masih Marino dengan warna hijau yang sama, senyum yang sama, suara yang sama, masih anak yang sama. Mungkin karena nyatanya dia memang masih anak-anak.
"Baiklah, ikan-ikan. Aku harus pergi. Sampai jumpa lagi,saudaraku."
Lalu Samsara akhirnya pergi. Sirip Marino melambai dengan cepat, tetapi setelah dia cukup jauh, Marino berkata pada mereka. "Dia selalu memanggilku saudaranya, tapi itu tidak benar. Dia itu penyu hijau. Kau tahu penyu sepertinya lebih banyak naik ke atas sana untuk makan lamun."
Ketiga ikan itu lantas tertawa canggung, seolah dia baru tahu fakta tersebut.
"Jadi, apa yang membawa kalian para ikan akhirnya datang ke Arus Penyu? Tidak mungkin hanya untuk bertemu denganku, kan?" sambung Marino.
"Sebenarnya, ya. Kami ingin bertemu denganmu," kata Tehere.
"Sungguh? Wow. Aku benar-benar tersanjung. Jadi apa kesibukan kalian sekarang?"
"Bekerja," jawab Tehere.
"Hampir bekerja," jawab Talis.
"Tidak bekerja," jawab Poha. "Kau?"
"Apa itu bekerja? Aku bahkan belum dewasa. Umurku baru tiga tahun. Masih butuh bertahun-tahun lagi sebelum aku memutuskan apakah harus jadi Kaiki atau Khupu," ujar Marino.
"Penyu bisa jadi Khupu?" tanya Tehere takjub.
"Tentu saja bisa. Kami bisa berenang ke mana saja dengan mudah. Kebanyakan penyu Khupu berenang ke laut dalam. Kami penyu belimbing terutama bisa masuk ke kedalaman 1.000 meter. Apa kalian tahu kalau di dalam sana rasanya seperti ada seekor paus bungkuk menempel di kepala kalian? Tapi bagi kami penyu, tidak akan terasa apa-apa."
"Oke, cukup! Kau harus tahu tak ada yang suka saat kau bicara seperti itu!" ketus Poha tak tahan, tetapi itu juga memancing gelak tawa mereka. Seperti dulu, gumam Talis.
"Hei ... lihat itu," ujar Marino mengangkat siripnya ke atas. Ketiga ikan ikut mendongak, dan menyaksikan beberapa ekor penyu di atas sana berputar-putar, membentuk sebuah pola indah yang serasi. Mereka melakukan itu beberapa kali sebelum berenang menjauh dari pandangan mereka.
"Itu tarian penyu yang pernah kukatakan. Sebuah cara bagi kami untuk berkomunikasi dengan Roh Laut," jelas Marino.
"Itu benar-benar indah, Marino," kata Tehere takjub. "Namun, seperti yang kami bilang, kami tidak kemari untuk menikmati Arus Penyu atau melihat tarian harapan kalian."
"Kami ingin membahas sesuatu yang penting," sambung Talis. Lalu dia melanjutkan dengan membahas masalah Konihi, kemungkinan pemeriksaan silang, dan Anera. Senyum di wajah Marino benar-benar lenyap saat Talis selesai berbicara, dan itu membuat hiu tersebut jadi sedikit gugup.
"Dengar, Marino. Ini mungkin agak mendadak, malah terlalu mendadak. Jadi kau tidak harus langsung sepakat dengan rencana tutup mulut kita. Kau hanya harus ikut kami dulu," tambah Tehere meyakinkan penyu itu.
"Ikut kemana?"
"Sebaiknya kita membahas ini bersama-sama. Kita sudah berempat, tetapi kau pasti tahu siapa yang belum ada," ujar Poha.
"Jadi kalian belum bertemu Rake? Kukira aku yang terakhir, mengingat aku satu-satunya penyu di antara kalian." Marino tak bisa menahan dirinya untuk terkikik.
"Dia benar. Kenapa tidak bertemu Rake saja lebih dahulu sebelum ke Arus Penyu? Rake akan sangat kecewa kita tidak mengajaknya ke tempat ini." Tatapan Talis langsung beralih pada Tehere dan Poha. Tehere berharap andai saja tubuhnya lebih besar dan dia bisa memukul Talis dengan siripnya yang keras.
"Dengar, Marino. Tidak ada salahnya berkumpul bersama-sama sekali lagi. Sudah lama, kan?" kata Tehere mengayunkan siripnya di hadapan wajah Marino.
Penyu itu tertawa sejenak. "Entahlah .... Kalian memang temanku, dan akan selalu begitu. Hanya kalian teman-teman ikan yang kumiliki, tetapi ... bagaimana, yah ...."
Kedua sirip Marino naik ke atas kepalanya, seolah ada sesuatu yang ingin dia katakan, tetapi tak mampu mengungkapkannya.
"Apa maksudnya bagaimana?" tanya Talis.
Marino mendesah. "Baiklah. Aku jujur saja. Kalian lihat apa yang Samsara katakan sebelum dia pergi? Di antara semua penyu, dia yang paling bodoh, kurasa. Kalau padanya saja aku tidak bisa menyimpan rahasia tentang pertemanan kita? Mengapa kau kira aku bisa melakukannya pada para mackerel?"
"Marino. Kita bisa—"
Penyu itu langsung mengangkat siripnya, menghentikan Tehere berbicara. "Dengarkan aku. Hari ketika aku melihat tubuh Anera terbelah menjadi dua masih melekat di ingatanku, dan kurasa akan terus di dalam kepalaku sampai aku berumur lima puluh tahun. Hal terakhir yang kubutuhkan adalah membahasnya bersama-sama dengan kalian, terutama Talis."
"Apa maksudnya itu?" kata Talis, merasa tersinggung dengan nada bicara Marino.
"Aku senang bertemu dengan kalian semua, tetapi kalau hanya ingin membahas kematian Anera, aku tidak ingin bergabung dengan, tapi cangkangku, rumahku, dan Arus Penyu akan selalu terbuka untuk kalian jika ingin membahas hal yang lain."
Talis tak bisa menutupi perasaan kecewa di dalam hatinya. Meski dia sudah ragu sejak awal, tetapi Talis sangat berharap Marino setidaknya akan merespon seperti Poha.
Dia langsung berenang jauh. Tehere dan Poha masih ada di tempatnya, menatap hiu dan penyu itu bergantian, sebelum akhirnya menyusul dan meninggalkan Marino tanpa salam perpisahan.
"Talis. Ayolah. Jangan langsung murung begitu," kata Tehere masih berusaha mencapai ujung kepala Talis.
"Lupakan saja, Tehere. Kalian berdua bisa pulang."
"Pulang? Tapi masih ada Rake."
"Sudah kubilang, lupakan saja. Kalian juga lupakan soal rencana berbohong pada mackerel itu. Ini tidak akan berhasil."
Tehere dan Poha saling bertatapan sejenak, tetapi Talis masih terus berenang pergi. Gelembung-gelembung udara lolos dari insangnya, kemudian dia berkata. "Kau masih temanku, Talis, dan akan selalu begitu. Aku akan melindungi namamu selamanya."
Namun, Talis dan mendengarkannya. Suara Tehere terlalu kecil untuk mencapai pendengarannya. Dia hanya terus berenang, meninggalkan Arus Penyu, dan kembali ke zona karnivora, bersama semua mimpi-mimpinya untuk menjadi Konihi.
Dia tahu memakan Anera adalah sebuah kesalahan besar. Dia tahu itu akan menghancurkan hidupnya suatu hari nanti. Dia tahu bahwa hanya dirinya sendiri yang akan menanggung semuanya meski teman-temannya yang lain juga ada di sana. Sekarang satu-satunya yang Talis harapkan adalah pemeriksaan silang itu tidak dilakukan.
Malah Talis mulai berharap dia bisa memulai hidup barunya di tempat yang lain saja.
YOU ARE READING
Apex et Appendix
Adventure(3rd Place In Daily Clover Marathon 2025) Yang mereka tahu, hiu adalah predator di lautan, tetapi yang tinggal di distrik Solaris lebih tahu kalau yang teratas adalah dari kalangan orca. Spesies yang kejam dan otoriter, tak segan menghabisi setiap i...
Chapter 4
Start from the beginning
